Pengemis Misterius

163 views

Tidak ada yang tahu dari mana pengemis itu berasal. Setiap azan Isya, pengemis itu selalu duduk di samping masjid Baitul Muttaqin. Semua orang yang berangkat ke masjid untuk berjamaah pasti melihatnya. Pengemis itu berpakaian compang-camping dan bertopi anyaman bambu. Jenggotnya putih panjang menjuntai. Wajahnya putih bersih. Tangan kanannya memegang tongkat.

Bila salat Isya telah usai dan semua jemaah keluar, pengemis itu tetap duduk di situ sambil tangan kanannya memegang tongkat. Semua orang tidak ada yang heran padanya karena sudah menjadi kebiasaan. Awal kemunculannya di samping masjid itu, banyak jamaah yang mengusirnya, tetapi ia abai dan tidak menghiraukan.

Advertisements

Ketika baru dua malam di samping masjid, Wigono mengusirnya. Namun, ia diam saja, tidak menghiraukan ucapan Wigono yang bernada tinggi seperti marah. Dia justru tersenyum pada Wigono. Sebab itu Wigono mengatakan kepada para jamaah bahwa pengemis itu adalah orang gila. Pada akhirnya, semua jemaah salat Isya memaklumi pengemis itu untuk tetap di masjid.

Menjelang salat Subuh, pengemis itu berdiri dari duduk dan berjalan ke tempat wudhu. Setelah wudhu, ia memasuki masjid dan melaksanakan salat dua rakaat. Ia menunggu para jamaah datang dengan duduk bersila di pojok kiri paling belakang masjid. Setelah beberapa menit ia duduk, Mbah Kamuli datang dan mengumandangkan azan Subuh, lalu melantunkan pujian.

Pengemis itu lalu berdiri dan melaksanakan salat dua rakaat. Mbah Kamuli yang melantunkan pujian, diam-diam selalu memperhatikan gerak-gerik pengemis itu. Dia tahu, setelah Subuh, pengemis itu hilang entah kemana. Tidak ada yang mengetahui. Dan seperti itulah setiap hari yang telah berjalan sebulan di masjid Baitul Muttaqin. Maka sebab itu, Mbah Kamuli ingin tahu, ke mana si pengemis itu bersembunyi bila siang hari,dan dengan cepatnya bila azan Isya’ ia telah duduk di samping masjid Baitul Muttaqin.

Jika telah iqamat, pengemis itu maju dan salat berjamaah. Selama sebulan, ia selalu menjadi makmum Mbah Kamuli karena tidak ada jamaah lain yang hadir. Setelah salat, Mbah Kamuli memimpin wiridan sambil menghadap ke pengemis. Dan Mbah Kamuli terperanjat karena wajah pengemis itu bercahaya. Mbah Kamuli ketakukan dan menghentikan bacaan. Tetapi pengemis itu tiba-tiba tersenyum kepadanya bersamaan luruhnya cahaya silau di wajahnya.

“Sebenarnya sampean ini siapa, Mbah?” tanya Mbah Kamuli.

Si Pengemis menunjuk ke arah belakang Mbah Kamuli. Dengan cepat Mbah Kamuli melengokkan wajahnya ke arah yang ditunjuk pengemis. Ketika Mbah Kamuli melengok kembali, pengemis itu telah hilang dari hadapannya. Kali ini, Mbah Kamuli benar-benar ketakutan. Tanpa memberesi mikrofon dan mematikan lampu, ia bergegas pulang.

***

Pagi ketika membuka pintu rumah, Mbok Yatemah mendapati sebuah plastik hitam yang berisi beras. Mbok Yatemah tidak berani menanak beras itu. Ia meminta pendapat Wahono, suaminya, sebelum berangkat memulung sampah di tempat pembuangan sampah desa.

“Pak, tiba-tiba ada beras di depan rumah kita pagi tadi. Boleh aku menanaknya untuk kita makan hari ini?”

“Jangan sembarangan, Yat. Kalau itu pesugihan bagaimana?” jawab Wahono sambil mengambil sabit yang menggantung di anyaman bambu rumahnya.

Mbok Yatemah diam.

“Beli saja dulu. Besok kalau sudah kepepet baru pakai beras itu,” ucap Wahono lagi.

Mbok Yatemah pun membeli beras ke toko kelontong langganannya di sebelah rumah, sementara Wahono berangkat ke ladang sambil menaiki ontel.

Keesokan harinya, Mbok Yatemah mendapati plastik hitam yang sama di depan rumahnya. Ia lalu mengambilnya.

Pada hari ke empat setelah ia tidak punya uang untuk beli beras, dengan perasaan terpaksa ia menanak beras itu. Lama-lama terbiasa. Dan begitulah adanya: setiap hari Mbok Yatemah selalu mengambil beras itu di depan rumah dan menanaknya untuk makan setiap hari.

***

Begitu pula Mbok Martiyem, setiap pagi selalu mendapati plastik hitam berisi beras di depan rumahnya. Ia mengaku selama sebulan ini makan dengan beras itu. Ia menceritakan hal itu pada Muslimatin, tetangganya.

“Mbok Yatemah juga sepertimu, Mbok,” kata Muslimatin kepada Mbok Martiyem.

“Apa iya?”

“Iya. Dia cerita juga kepada saya.”

Muslimatin menyimpulkan bahwa yang diberi plastik hitam berisi beras adalah orang-orang miskin. Muslimatin penasaran, siapa yang memberi beras itu diam-diam? Pada akhirnya, ia memutuskan untuk berjaga malam.

Lewat tengah malam, Muslimatin, dari kaca jendela kamarnya yang mengarah ke rumah Mbok Martiyem, melihat sesosok orang menghampiri rumah Mbok Martiyem. Muslimatin menajamkan penglihatan. Orang itu membawa tongkat di tangan kanannya. Sampai di depan rumah Mbok Martiyem, orang itu meletakkan begitu saja plastik hitam lalu kembali dengan langkah mengendap-endap.

Tak jauh dari rumah Mbok Martiyem, orang itu tersungkur, terjatuh, dan tergeletak. Karena ketakutan, Mulslimatin membangunkan Wagino, suaminya.

“Mas…Masss!” ucapnya sambil gemetaran.

Wagino terperanjat dan terbangun.

“Ada apa, Dik?!”

“Anu, mmm.”

“Anu apa?!”

“Orang mati di depan rumah Mbok Martiyem.”

“Mbok Martiyem mati?!”

“Bukan, Mas,” jawab Muslimatin sembari membuka selambu yang menutupi jendela kamarnya. “Itu, lo.” Ia menunjuk ke arah orang tersebut.

Wagino ke kamar mandi. Muslimatin mengikutinya. Wagino membasuh mukanya di sana lalu bergegas menghampiri sosok lelaki tersebut. Musimatin mengikutinya dari belakang. Dan betapa kagetnya Wagino ketika melihat sosok lelaki itu adalah pengemis yang setiap azan Isya’ selalu duduk di samping masjid Baitul Muttaqin.

“kenapa, Mas?”

“Ini pengemis yang setiap hari duduk di samping masjid, Dik.”

Wagino lalu membawa jenazah pengemis itu menuju masjid Baitul Muttaqin dengan diikuti Muslimatin. Jenazah itu diletakkan di teras masjid begitu saja dan kemudian Wagino berlari menuju rumah Pak Majid yang biasa mengurus jenazah.

Pak Majid menuju masjid. Tanpa dimandikan dan disalatkan, ia menyuruh Wagino untuk mengubur jenazah pengemis itu begitu saja di belakang masjid. Wagino pun mengubur pengemis itu di belakang masjid tanpa sepengetahuan masyarakat.

***

Esok harinya, orang-orang yang biasa mendapati plastik hitam berisi beras itu tidak mendapatinya lagi. Mereka agaknya terlalu berharap pada pemberian pengemis itu. Termasuk juga Mbok Martiyem yang mengutang beras kepada Muslimatin karena tidak memiliki uang untuk membeli beras.

“Sudah tidak ada lagi beras di depan rumahmu, ya, Mbok?” tanya Muslimatin.

“Iya, sudah tidak ada lagi, Tin.” Raut wajah Mbok Martiyem terlihat sedih.

“Ndak usah utang, Mbok. Pakai saja berasnya.”

***

Fajar ketika Mbah Kamuli azan Subuh, tiba-tiba pengemis itu datang. Ia kaget karena tadi malam ketika jamaah Isya, pengemis itu tidak ada di masjid. Dan orang-orang sudah berspekulasi banyak tentangnya. Ada yang mengatakan bahwa ia telah mati, ada yang mengatakan kalau ia sudah berpindah masjid, dan lain sebagainya.

Mbah Kamuli melantunkan pujian. Dan seperti biasa, pengemis itu melaksanakan salat dua rakaat. Setelah iqamat, pengemis itu maju dan salat berjamaah dengan Mbah Kamuli. Ketika Mbah Kamuli memimpin wiridan, ia mencium aroma kembang melati. Sebab sangat tercium oleh hidungnya, Mbah Kamuli nencari penasaran. Ia kemudian mencari sumber bau melati tersebut yang ternyata dari belakang masjid.

Dan Mbah Kamuli terperangah sebab melihat gundukan tanah. Dihampirinya gundkan tanag itu. Sebuah makam. Tahu kau apa yang dilihat oleh Mbah Kamuli? Mbah Kamuli kagetnya bukan main, sebab nisan yang tertulis di makam itu adalah “Pengemis Misterius”.

ilustrasi: wartaexpress.com

Multi-Page

Tinggalkan Balasan