Ada ujar-ujar yang sering kita dengar: “Sejarah ditulis oleh pemenang”. Jika benar adanya, maka sejarah akan masif dengan kepentingan. Bangsa yang menang akan menuliskan citra baik untuk negaranya, berkebalikan dengan bangsa yang dikalahkannya, pasti akan dicitrakan seburuk-buruknya.
Sejarah lekat dengan masa lalu. Masa lalu Indonesia dalam konteks internasional adalah bangsa yang terjajah. Dimensi kesejarahan bangsa di dunia dimainkan oleh dua pihak, penjajah dan terjajah. Relasi penjajah terhadap terjajah lazim disebut dengan kolonialisme. Dalam kolonialisme, sistem subordinasi-dominasi menjadi fundamen atas kontruksi isme tersebut.
Penjajahan seringkali diidentikkan dengan bangsa-bangsa Eropa. Memang, secara etimologi, Kolonialisme berasal dari berasal dari kata Romawi “Colonia” yang diartikan sebagai “pemukiman” atau “tanah pertanian. Hal tersebut berdasar pada orang Romawi yang memulai invasi pada negeri-negeri lain. Dalam OED (Oxford English Dictionary) dideskripsikan sebagai “bangsa yang melakukan penundukan atas bangsa lain, tetapi juga mempertahankan atau terhubung dengan bangsa asal.”
Dengan itu, diketahui bersama, relasi Inggris dengan negara bekas jajahannya seperti Malaysia, Australia, India, masih terjalin dalam beberapa hal. Seperti, menyediakan beasiswa pendidikan bagi para siswa negara bekas jajahan yang berprestasi, kesamaan dalam hal ideologi negara, tersalurnya bantuan dari negara penjajah terhadap bangsa bekas jajahannya. Pun, Indonesia dengan Belanda yang sampai sekarang masih membuka beasiswa bagi mahasiswa yang berprestasi untuk dikirim belajar ke Belanda.
Jika ditelisik lebih dalam, relasi antara negara penjajah terhadap negara bekas jajahan tidaklah sesederhana itu. Penggiringan terhadap wacana kompleks masih terhubung yang pada akhirnya hanya menguntungkan negara penjajah (negara induk). Misalnya, produksi karet Indonesia yang diekspor ke Eropa, lalu diproduksi menjadi ban di Eropa, kemudian diperjualbelikan kembali di Indonesia. Ke arah mana pun manusia dan material itu didistribusikan, keuntungan-keuntungannya selalu mengalir kembali ke “negara induk” (Loomba, 2016: 5).
Mulanya, kolonial atau bangsa penjajah melabuhkan kapalnya dengan misi explore. Lantas, mengamati, meneliti, berkomunikasi, dan mendefinisikan segala jenis mahkluk hidup yang ada pada tanah tersebut. Berlabuhnya kapal Columbus di Benua Amerika yang disambut oleh native american dengan perlawanan, pemberontakan, pembunuhan, bahkan mencoba memakan para awak kapal Columbus. Perlawanan tersebut dicap oleh para pelancong sebagai perbuatan yang amoral, tidak beradab, bodoh, primitif, dan lain sebagainya. Rekayasa definisi terhadap objek jajahan terus disusun para pelancong. Bahkan, istilah native american pun juga diciptakan oleh para pelancong tersebut.
Kasus tersebut tidak hanya terjadi di bumi Amerika, melainkan juga terjadi di berbagai belahan dunia ketiga seperti Afrika, Asia, termasuk Indonesia. Semua kasus hampir mirip. Para penjajah melihat segala variabel jajahannya sebagai inferior. Dalam konteks manusia, subjek penjajah memotret terjajah untuk perlu diselamatkan dari kebodohan, perilaku primitif, mistik, biadab. Maka, proyek Kolonialisasi dilegitimasi menjadi proyek “Pemberadaban”. Sehingga, fakta penundukan berdalih pemberadaban terlihat sangat heroik.
Dalam sejarah kolonialisme sangat jelas bahwa ketimpangan terjadi di mana-mana. Bangsa terjajah dikeruk sumber dayanya, diperas rakyatnya, dimonopoli sistem ekonomi-sosial-politiknya, dihilangkan pengaruh budaya asalnya, dan lain sebagainya. Seakan subjek penjajah memiliki kontrol penuh atas subjek terjajah. Bangsa terjajah didefinisikan tanpa diberi kesempatan berbicara sepatah kata pun. Padanya, seringkali dengan relasi timpang colonizer (penjajah) dengan colonized (terjajah).
Poskolonialisme: Sebuah Gerakan Counter Epistemik
Berawal dari dimensi kesejarahan Kolonialisme yang timpang dan tidak berkeadilan memunculkan diskursus baru yang bertajuk “Poskolonialisme”. “Pos” dalam istilah ini bukan berarti suatu kelanjutan atau setelah dalam konteks waktu, melainkan lebih pada kritik atau ideologis. Jika “Pos” diartikan setelah, maka keberlangsungan kolonialisme sebagai wacana terus diafirmasi. “Kelanjutan” atau “setelah” lebih tepat menggunakan prefiks “Neo” ketimbang “Pos”.
Dalam hal epistemologi, poskolonialisme dianggap terlalu rumit, terlalu banyak jargon, buram dan jauh dari realitas keseharian. Hal itu diakibatkan karena poskolonialisme berangkat dari sifat interdisipliner inheren dalam studi tersebut. Objek kajiannya pun sangat luas, tidak berhenti pada naskah teoretik kesejarahan, melainkan juga pada naskah arsip kesejarahan, naskah medis, surat-surat, tradisi, riwayat perjalanan, bahasa, maupun teks kebudayaan.
Adapun, studi poskolonial berpacu dalam pengaruh-pengaruh atas proyek kolonial. Dengan dalih ketertindasan dan ketidakadilan yang dilakukan penjajah, studi poskolonial bersifat menggugat, mempertanyakan dan melawan apa yang diperbuat penjajah, dan kecenderungan negatif yang masih dirasakan sampai sekarang.
Dengan perkembangan atas studi Pascamodernisme, studi ini banyak dinakhodai para pemikir yang berasal dari dunia ketiga, alias bangsa terjajah. Dengan dasar penajajahan yang dirasakan secara langsung nan kelam oleh bangsa-bangsa dari dunia ketiga tersebut.
Wacana-wacana yang dibangun kolonial, yakni mendefiniskan Timur secara searah, tanpa memberikan kesempatan bagi timur untuk berbicara sama sekali. Seperti di Afrika yang dianggap rakyatnya masih dalam tahap “anak kecil” yang secara ekonomi, fisik maupun psikologis belum dewasa. Sebernarnya, kecenderungan tersebut tidak hanya dinisbatkan pada bangsa-bangsa di Afrika dan Asia, namun juga di negara-negara Eropa yang “terjajah” seperti Skotlandia, Irlandia, dan lain-lain.
Berbagai sistem ditanam oleh pihak Kolonial terhadap negara terjajah. Sistem pendidikan, budaya, ideologi, politik, ekonomi, dan lain-lain, namun sistem pendidikan-lah yang paling banyak dan dianggap paling efisien untuk menundukkan. Bagi Althusser, sistem pendidikan sebagai sarana penting dalam penanaman ideologi-ideologi kolonial. Lalu, ideologi tersebut didesain sedemikian rupa yang menjadikan bangsa terjajah tetap bergantung pada bangsa kolonial dalam hal apapun. Dengan kata lain, menjadikan bangsa terjajah sebagai negara satelit dan bangsa penjajah sebagai negara induk.
Poskolonialisme bukan hanya melihat dampak dari penguasaan kolonial, namun diartikan sebagai perlawanan terhadap dominasi kolonial dan warisan-warisannya yang tetap ada hingga saat ini (Mudji Sutrisno, 2004:11).
Tidaklah mungkin, Indonesia sebagai bangsa mengamini atas semua warisan yang digelontorkan secara penuh oleh Kolonial. Upaya perlawanan perlu dilakukan. Jika tidak, kita hanya menjadi bangsa penurut yang hanya didekte oleh asing.
Referensi
- Sutrisno, Mudji. 2004. Hermeneutika Poskolonial Soal Identitas. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
- Loomba, Ania. 2016. Kolonialisme/Pascakolonialisme. Yogyakarta: Narasi.