Pengetahuan Perempuan dan Spirit Berpikir Kritis dalam Islam

223 kali dibaca

Dalam fakta sejarah, perempuan sering kali dipinggirkan dan dianggap sebagai gender kelas dua. Sehingga akses terhadap berbagai hal perempuan seringkali mengalami keterbatasan. Hal tersebut bekerja secara sistemik melalui berbagai kerja pengetahuan seperti kebudayaan dan pendidikan serta didorong dengan stereotipe dan subordinasi.

Sebut saja fenomena perempuan sebagai properti pada zaman pra-Islam dan aturan di Inggris tahun 1805 yang masih melegalkan penjualan perempuan. Hal itu hanya merupakan segelintir fakta di panggung sejarah bahwa perempuan dipinggirkan (Nur Rofiah, 2020).

Advertisements

Ketidakberdayaan perempuan sangat kentara di sini. Di mana perempuan mengalami berbagai dampak negatif seperti ketidaksetaraan ekonomi, tingkat kesehatan yang rendah, bahkan partisipasi dalam kehidupan sosial dan politik yang (di)minim(kan).

Secara ideal, kemunduran dan kemajuan perempuan tentu akan sangat dipengaruhi dengan pengetahuan perempuan dan cara perempuan mengetahui. Kedua hal ini tidak dapat dipisahkan sehingga dalam konteks ini dianalogikan sebagai sepasang sepatu yang sempurna. Mary Belenky, Blythe, Nancy Goldberger Jill Tarule dari Ferris State University merancang suatu teori unik, yakni Women`s Ways of Knowledge yang menyoal tentang lima tingkatan cara perempuan mengetahui.

Pertama, diam (silent). Pada tingkatan ini, perempuan tidak menggunakan daya akalnya sama sekali. Perempuan bergantung pada subjek lain yang memberikan pengetahuan kepadanya. Pengetahuan yang diterima tidak hanya bersifat afirmatif namun juga negatif bahkan koersif. Pengetahuan yang diterima perempuan memiliki beragam wujud yang tak hanya verbal namun juga nonverbal bahkan dengan bentuk seperti bentakan, tendangan atau kekerasan. Tidak hanya sebagai a silent knower, melainkan perempuan juga sebagai silenced knower, atau orang yang dibungkam.

Kedua, pengetahuan terterima (received knowledge). Berbeda dengan tingkatan yang pertama, di tingkatan ini perempuan menyakini bahwa pengetahuan sebagai kebenaran semata. Berbagai upaya dilakukan perempuan walaupun tanpa mencari pembanding dengan sumber pengetahuan lainnya, perempuan secara total memercaya otoritas seperti media sosial, sekolah, kuliah, artikel, podcast, bahkan majelis taklim. Pengetahuan yang diterimanya pun diresapi dan disebarkan dengan cepat. Padahal dalam kandungan pengetahuan memuat unsur politis dan ideologis pemegang otoritas. Dengan itu, maka tak heran jika kini masih berkeliaran informasi palsu dan tak sedikit yang malah mendiskreditkan perempuan yang disebarkan oleh perempuan itu sendiri.

Halaman: First 1 2 3 Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan