Peniup Terompet

24 views

Tiap kali ditiup, yang keluar cuma suara yang itu melulu: lirih, serak, dingin. Tapi ia tak pernah berhenti meniup. Dan ia enggan berhenti berjalan. Ia masih saja meniup. Ia masih saja melangkah. Maka, tret-tret-tret…tet-tet… suara itu terus saja menjelajah, lirih dan lamban, dan hiruknya sudut-sudut kota itu sigap menelan.

Lelaki itu akhirnya memilih: waktu tak boleh ditunggu, ia harus dijemput dari masa lalu. Maka, ketika orang ramai bersiap menyobek lembar terakhir penanggalan dengan lekas, ayun langkahnya kian gegas, bersicepat menapak tilas. Dan ia akhirnya memilih: Singaraja, dan bukan Kuta, adalah tilas waktu yang masih membekas.

Advertisements

Kuta baginya cuma sebuah kerumunan. Di mana gedung-gedung yang dibangun berderet jangkung adalah tugu yang bisu. Di situ, semua orang berbicara, tapi tak pernah saling bertukar cerita. Pantainya memang masih seperti permadani, tapi yang menghampar tergelar hanyalah ilusi. Dengan dua kaki berpijak di atas hamparan ilusi, orang tak akan pernah benar-benar bersetia pada janji.

Maka ketika senja turun perlahan, ia telah berdiri di pinggir sebuah jalan. Inilah kota tua yang masih selalu menyimpan magmanya —seperti para penyairnya dengan berjuta mantra; seperti para penarinya dengan berjuta bunga; seperti tetabuhannya yang menggaungkan berjuta gema. Seperti gema yang bersahutan dari sudut-sudut kota yang menandai sebuah kurun yang datang membantun, mengurai kenangan lama yang berunggun.

Kemudian ia berjalan, mula-mula perlahan. Tangan kirinya mengempit sebuah terompet kertas yang ia pungut dari sisi sebuah comberan. Terompet itu gepeng entah karena terlindas roda atau terinjak kaki siapa. Terompet itu tak lagi tampak meriah. Warnanya ungu dan layu.

Ia mencoba meniupnya. Tret-teet-tet… nadanya lirih, serak, dingin. Tak apalah, dan ia tetap melangkah dengan hati bungah. Dengan terompet itu, ia ingin menjemput waktu dari masa lalu. Masa lalu yang masih tertinggal di sini, di kota tua yang masih menyimpan magmanya. Sebuah kota yang dulu, bertahun-tahun lampau, pernah mengenalkannya pada dunia. Sebuah kota yang dulu selalu mengajaknya bertukar cerita, yang selalu bercerita tentang siapa dirinya.

Ketika kota kian hiruk di setiap sudutnya, langkahnya mulai gegas. Lebih lekas menyusuri banyak jalan. Lebih banyak menapaki kenangan. Kemudian ia terus meniup ke segala arah. Tapi jeritan terompetnya terdengar kian lirih. Lirih ditelan hiruknya kota yang kian gemuruh. Kota yang gaduh menyambut impian baru yang datang bagai teluh. Dan ia teringat Yasunari Kawabata: waktu mengaliri hidup dengan cara yang sama, tapi manusia mengaliri waktu dengan cara berbeda. Dalam hati ia mengaduh. Terlalu banyak orang lupa pada jejak yang ditinggalkan waktu berlalu.

Kemudian ia meniup terompetnya lebih keras lagi. Tapi yang keluar memang cuma suara yang itu melulu: tret-tret-teeet… lirih, serak, dingin. Barangkali tak ada yang mendengar kecuali dirinya sendiri. Barangkali tak akan ada yang terbangun dari mimpi. Lalu ia menepi, menjauh dari pusat gaduh. Ketika hitungan hari berganti, ia melihat sekerumunan orang mengelilingi seunggun api yang menjulang tinggi. Mereka menari. Menggumam. Nyanyi.

Di Pantai Lovina, untuk terakhir kalinya ia meniup terompet kertas itu: tret-tret-tret…tet-tet …. Ia tak tahu, entah untuk kehidupan siapa. Entah untuk kehidupan yang mana. Toh waktu akan tetap mengaliri hidup dengan cara yang sama —meskipun penanggalan telah berganti tahun.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan