Penjual Es Krim dan Gadis Berkerudung Merah

650 kali dibaca

Tanyakan hatinya tatkala ia pergi dan datang kembali, adakah keindahannya dirundung celaan?

Dia lelaki muda penjual es krim. Entah dengan keberanian apa dia mengumpulkan uang untuk membeli cincin demi perempuan berkerudung merah muda yang masuk dalam hidupnya tanpa dinyana. Dia bertemu perempuan itu di taman lampion di bawah bukit. Seperti biasa setiap sore, lelaki itu menjual es krim di sana. Es krim itu buatan pabrik. Dia tak menjual es krim buatan sendiri sekalipun dia bisa membuatnya. Orang-orang lebih percaya pada lisensi makanan berplastik yang dengan mudah bisa dipalsukan di zaman ini. Aneh, pikirnya.

Advertisements

Untuk menambah penghasilan, dia menjual balon yang diikat pada gerobaknya. Sebenarnya, lelaki itu bisa bekerja apa saja. Cuma, di kota ini, mencari pekerjaan sulit. Berkali-kali dia melamar pekerjaan, tapi selalu ditolak sebab tak punya orang dalam. Sebab itu, dia berkeliling taman, membunyikan sound system mini yang melantunkan lagu kesukaan anak-anak. Taman itu tidak terlalu besar, tapi cukup ramai. Banyak pengunjung datang saban hari. Namun, tak satu pun perempuan yang dilihatnya membuat hatinya bergetar selain perempuan berkerudung merah muda yang dilihatnya sore itu.

Sehabis berkeliling, dia akan berhenti tak jauh dari bangku di bawah salah satu pohon di taman itu. Bangkunya berbentuk setengah lingkaran, melingkari pohon dengan bilah kayu terpaku dijadikan meja. Dia melihat perempuan itu di sana, duduk sendiri, menyeka air mata dengan punggung tangannya. Punggungnya berguncang tanpa suara. Senja memancar kehangatan. Orang-orang banyak mengabadikan momen di taman ini, kadang naik turun bukit untuk melihat warna kuning kemerahan menyelimuti cakrawala. Senja hari itu terganggu karena kehadiran perempuan itu.

Dia ingin menghampiri dan membawakannya es krim. Namun, dia urungkan niatnya. Mungkin perempuan itu butuh sendiri. Dia tak kehabisan akal. Dia berpindah tempat dan berhenti tepat di hadapan perempuan itu hingga jalan bata yang biasa dilalui orang naik-turun bukit terhadang. Orang-orang mengumpat, kesal. Perempuan itu menoleh. Tatapan mereka bertemu satu sama lain. Perempuan itu merasa terusik dan berlalu.

“Minggir. Kenapa menutup jalan. Mengganggu saja,” umpat pengunjung, dan dia menepi.

“Maaf,” katanya dengan tatapan tak beralih dari tempat perempuan itu duduk. Ada sesuatu yang tertinggal di sana. Sebuah map berwarna biru. Dia mengambilnya dan menyimpannya. Dia kembali ke gerobaknya sebab seorang anak kecil memanggilnya.

“Om, beli balon.”

Dia melayani anak kecil itu. Setelahnya, dia pulang lebih awal, tidak seperti biasanya. Sejak tatapannya saling beradu dengan tatapan perempuan yang tak dikenalnya itu, ada gemuruh yang tak dapat dia jelaskan di dadanya.

***

Di kontrakan, dia meletakkan es krim yang tak sepenuhnya laris hari itu ke dalam peti es. Dia membuka map berisi dokumen dan foto perempuan berdiri dalam dekapan seorang lelaki sambil menggendong bayi mungil. Foto itu nyaris sobek. Dia memiliki seorang gadis kecil dan hak asuhnya beralih sepenuhnya padanya.

“Surat cerai. Malang sekali perempuan itu,” ucapnya.

Dia membuat kopi, menyeruputnya pelan-pelan. Asap mengepul di udara. Hampa. Malam belum begitu larut, tapi dia merasa tak nyaman. Ada yang mengusik pikirannya; mata perempuan yang dilihatnya tadi sore. Dia menceritakan apa yang dialaminya pada Andi, temannya yang tinggal satu kontrakan bersamanya. Dia juga seorang penjual es krim.

“Janda. Namun, aku yakin, rambutnya tidak pirang karena dia berkerudung. Mau kau sikat perempuan itu?” ujar temannya sembari menatap foto. Lelaki itu merenggutnya dan terkekeh.

“Besok aku akan mengembalikannya.”

“Dari mana kau tahu kalau dia akan datang ke taman itu lagi? Kenal saja tidak?”

“Kurasa dia bakal kembali mencari surat ini,” balasnya. Percakapan mereka berakhir dan malam itu. Dia tak sabar menanti pagi.

Keesokan hari dan untuk beberapa bulan setelahnya, perempuan itu kerap mendatangi taman, sendiri. Terkadang dia datang bersama kawannya. Di tempat yang sama, dia duduk. Hari itu, dia mencari-cari sesuatu. Lelaki itu menjajakan es krim tak jauh darinya, menghampirinya dengan senyum semringah.

“Ini punyamu. Kemarin, kau meninggalkannya.”

Mata perempuan itu membesar, tapi dia dapat menyembunyikan suasana hatinya. Mula-mula dia canggung saat membuka map miliknya itu.

“Terima kasih,” katanya. Dan terjadi keheningan untuk beberapa jenak. Keterdiaman masing-masing pecah saat seorang anak kecil digandeng ibunya memanggil si lelaki. Dia mau beli balon dan es krim. Dia bergegas. Perempuan itu menatap dengan tatapan yang tak dapat dijelaskan. Perlahan, dia mendekat. Sejak hari itu, mereka berteman dan saling kenal satu sama lain. Kali ini, si lelaki punya alasan untuk datang lebih awal dan berlama-lama di taman.

Terkadang, perempuan itu membantunya. Dia bermain bersama anak kecil yang datang untuk membeli es krim atau balon. Dia juga membelikannya buat anak-anak yang bermain. Dia suka anak-anak. Melihatnya, si lelaki merasa terhibur tanpa alasan. Dia menepis jauh-jauh pertanyaan konyol yang hampir dilontarkannya, tentang dokumen yang dia temukan. Gara-gara kehadiran perempuan yang kini dikenalnya, es krim dan balon yang dijualnya  laris manis. Ini berkah, anggapnya.

Suatu sore, gerimis turun tak sampai menjelma hujan. Mereka berteduh di gazebo setelah si lelaki merentangkan payung besar untuk melindungi gerobak serta barang dagangannya.

“Menurutmu, mengapa Tuhan menciptakan manusia berpasang-pasangan?” kata perempuan itu sembari menjilat es krim. Meski gerimis turun, wajahnya tertimpa cahaya mega. Gerimis yang lewat saja, pikirnya.

“Karena Tuhan tahu, manusia tak dapat hidup sendiri.”

“Kalau begitu, mengapa terkadang manusia merasa hidup sendiri meski memiliki pasangan?”

Si lelaki menelan ludah. Jakunnya naik turun.

“Karena hanya orang yang tidak bahagia yang merasa hari-harinya selalu sama.”

Perempuan itu tertegun, mencerna kata-kata lelaki di sampingnya.

“Apa kau bahagia?” tanyanya, dan perempuan itu menatapnya, lekat. Lalu, wajahnya berpaling. Lesung pipit di pipinya menenggelamkannya. Dia membalas.

“Ya. Aku bahagia.”

Dia pun bangkit. Pandangannya memendar langit. Gerimis belum reda. Dia pergi dengan memayungkan tangannya ke kepala. Si lelaki hendak mencegat, tapi langkah perempuan itu gegas. Terkadang, dia  pulang melalui arah datangnya perempuan itu dan berharap bertemu dengannya di jalan, tapi dia selalu terkecoh. Perempuan itu tak dapat ditebak arah datang atau perginya, selalu bertolak belakang. Pernah suatu ketika, si lelaki mencari cara agar bisa pulang searah dengannya. Namun, dia terhalang gerobaknya sendiri. Lagi pula, perempuan itu berjalan terlalu cepat.

Entah sudah berapa bulan perempuan itu bersamanya dan mereka saling melengkapi kesepian masing-masing. Perempuan itu terhibur dengan anak-anak dan si lelaki senang berada di sampingnya. Dia berandai-andai. Seandainya dia bisa menjadi pasangan perempuan itu, mungkin dia tidak akan merasa kesepian. Dia pun bertekad mengumpulkan uang untuk membeli cincin buat perempuan itu.

Beberapa hari setelahnya, si lelaki bersemangat mencari uang, menabungnya, hingga dia kerja paro waktu sebagai pencuci piring di salah satu restoran mini tak jauh dari tempatnya tinggal. Tak dinyana, uang yang dikumpulkannya hampir cukup untuk membeli cincin yang dia bayangkan akan melingar di jari manis perempuan itu.

Namun, meski dia merasa perempuan itu juga jatuh hati padanya, hati ada kemungkinan selalu berubah dan untuk keberkian kalinya, dia sadar. Dia lupa cara membca tanda-tanda itu. Dia tak lagi melihat perempuan itu di taman penuh lampion di bawah bukit. Dia juga tidak mendapatinya duduk di tempat kesukaannya. Setelah berhasil mengumpulkan uang dan membeli cincin, akankah dia bisa meminangnya? Dia bertanya-tanya dalam hati. Namun, bukan itu persoalannya. Dia khawatir dirinya ditolak. Kenangannya bersama seorang perempuan di masa lalu, membuat nyalinya ciut sebentar saja. Namun, lelaki kita ini pantang menyerah. Dia meneguhkan hati dan berasumsi bahwa perempuan itu tidak tampak batang hidungnya mungkin gara-gara taman lampion ini kerap banjir setelah pemerintah membangun jalan baru menuju bukit dan menutup jalur irigasi hingga air hujan tumpah ruah, menggenangi taman lampion di bawahnya.

“Pemerintah kayak tidak ada kerjaan saja. Selalu buat proyek. Padahal, akses menuju bukit masih bagus,” Gumamnya, menganalisis sendiri. Atau jangan-jangan, perempuan itu sudah menemukan lelaki lain dan hidup bahagia seperti dongeng putri raja menemukan pangerannya? Ah, tidak. Dia membuang pikiran itu. Dia memasukkan cincin ke dalam saku celananya yang gombrong. Dia berjalan, mencari tempat baru untuk menjual es krim dan balon. Namun, tak ada tempat yang lebih baik selain taman itu. Dia bersikap seobjektif mungkin tanpa ada pengaruh seorang perempuan berkerudung merah muda pernah masuk dalam hidupnya.

Akhirnya, dia berkeliling menjajakan barang dagangannya. Dia mengitari kompleks berpagar tinggi menjulang di sepanjang jalan yang dilaluinya. Dia berharap akan bertemu dengan perempuan itu lagi. Sampai suatu hari, seorang perempuan membuka pagar, mamanggil-manggil penjual es krim yang tak lain adalah si lelaki itu. Mereka sama-sama terkejut, terlebih dirinya. Perempuan itu muncul tanpa disangka-sangka lalu hilang tiba-tiba, tanpa kabar. Dan kali ini, perempuan itu muncul kembali. Pipi mereka merona.

“Kamu tinggal di kompleks ini?” tanyanya sambil melayani permintaan perempuan itu. Dia membeli tiga es krim.

“Ya.”

Beberapa jenak, mereka terlihat canggung. Dia membuka dompet. Saat dia mau membayar, si lelaki hendak mengeluarkan cincin dari saku celananya, tapi tak jadi. Dia memiliki firasat tak nyaman. Mengapa perempuan itu membeli tiga es krim? Sejak kepergian perempuan itu, dia mulai belajar membaca tanda-tanda kedatangan dan kepergian perempuan itu dalam hidupnya.

“Tumben, kok beli tiga?” tanyanya.

“Ya. Ini untuk…” Belum sempat menyelesaikan kata-katanya, gadis kecil yang memiliki mata yang sama seperti matanya berlari ke arahnya dan meraih es krim dari genggamannya. Gadis kecil itu pasti bayi yang ada dalam foto yang dia temukan dulu, pikirnya. Namun, dia terbelalak saat gadis kecil itu berlari ke dalam rumah dan berhambur kepelukan seorang lelaki yang tak asing baginya. Lelaki itu pernah menjadi penjual es krim dan tinggal sekontrakan bersamanya. Lelaki yang dulu bilang mau cari kerjaan lain sebab menjadi penjual es krim amat melelahkan. Perempuan itu pun pamit. Dia teringat momen kepergian temannya itu.

“Aku mau cari kerjaan lain. Menjadi penjual es krim amat melelahkan. Kalau aku dapat pekerjaan layak, aku akan segera menikah.”

“Kenapa tidak menikah dengan perempuan kaya saja?” Mereka tertawa.

“Kau meledekku. Suatu hari, kau akan tahu, siapa yang bakal aku nikahi.”

“Perempuan kaya, biar kau juga kaya,” kelakar si lelaki dan mereka berpelukan . Andi, temannya itu, benar-benar pergi.

Penjual es krim itu melanjutkan perjalanannya. Kini, gemuruh kembali bertakhta di dalam hatinya. Dia membuang cincin yang dibelinya ke tong sampah. Belum jauh dia melangkah, dia kembali mengambil cincin itu. Dia ingat kerja kerasnya untuk mendapatkannya.

“Bisa aku jual kembali cincin ini untuk membangun usaha lainnya,” Gumamnya. Dia meneruskan perjalanan, menjaja es krim, membiarkan sound system mini melantunkan lagu kesukaan anak-anak, di sepanjang kompleks dan membiarkan hari-harinya berlalu seperti biasa.

Dan manakala kau tanyakan isi hatinya di suatu hari, ia hanya memberikan air mata sebagai jawaban.

Lubangsa, 05 Mei 2023.

Catatan:

  1. Penggalan puisi Ahmad Syauqi, Tanyakan Hatiku yang diterjemahkan M. Faizi, dimuat di sastraarab.com Penulis mengubah jadi tanyakan hatinya untuk kepentingan cerita.
  2. Dikutip dari Sang Alkemis, karya Paulo Ceulho.
Multi-Page

Tinggalkan Balasan