Pentingnya Membaca Sebelum Menulis

63 kali dibaca

Baca! Bacalah duniasantri sebelum menulis untuknya.

Bagi seorang penulis, membaca justru lebih penting daripada menulis itu sendiri. Harus lebih banyak yang dibaca ketimbang yang ditulis.

Advertisements

Contoh terdekat yang sering kita abaikan, misalnya, kenapa pada satu disertasi atau buku, kepustakaannya bisa terdiri dari ratusan atau bahkan ribuan judul buku atau artikel. Artinya, seorang penulis untuk bisa melahirkan satu disertasi atau buku, harus melalui proses pembacaan terhadap sangat banyak bacaan. Jauh lebih banyak kata-kata yang dibaca ketimbang yang ditulis. Tanpa itu, tak lahir buku-buku atau tulisan bermutu. Orang selalu belajar pada apa yang lalu.

Karena itu, sekali lagi, bagi seorang penulis sejati, membaca justru jauh lebih penting ketimbang menulis itu sendiri. Kenapa? Kita akan segera kehilangan atau kehabisan frasa atau kata-kata bahkan ketika kita baru memulai menulis. Sebab tak ada pustaka dalam memori kita. Sebab tak muncul gagasan-gagasan baru sebagai buah dari proses berpikir kita. Bagaimana bisa berpikir bila dalam memori otak tak tersimpan kepustakaan pengetahuan yang menuntun kita dalam menulis.

Terhadap gejala seperti ini, anak-anak Gen Z akan menyebutnya dengan istilah “kurang piknik” atau “pikniknya kurang jauh”. Analogi itu pas buat orang yang nafsu menulisnya jauh lebih besar dibandingkan dengan ketekunannya untuk membaca. Membaca segala bacaan.

Kita boleh saja memiliki ambisi atau nafsu besar untuk menulis, untuk menjadi penulis. Tapi, nafsu besar atau ambisi itu jangan sampai mengalahkan atau mengubur hasrat kita untuk membaca, mengeringkan dahaga kita akan pengetahuan. Jika kehabisan hasrat untuk membaca, kita tak akan sampai ke sana: menulis, menjadi penulis.

Hal-hal itu juga berlaku bagi penulis duniasantri. Berdasarkan pengalaman membersamai gerakan santri menulis di duniasantri lebih dari lima tahun, masih banyak dijumpai tipe yang nafsu menulisnya besar, tapi hasrat membacanya sekarat. Hal itu bisa dikenali dari cara para penulis tersebut mengirim naskah atau memilih tema atau kualitas tulisannya.

Misalnya, ujuk-ujuk ada penulis baru mengirimkan satu puisi, kemudian minta kepastian kapan sebiji puisinya tersebut dimuat. Alamak! Jika sebelumnya ia telah membacai puisi-puisi yang telah dirilis di duniasantri, tentu hal itu tak akan terjadi. Minimal penulis tersebut akan mengirimkan lebih dari tiga puisi agar redaksi punya pilihan dalam melakukan kurasi.

Contoh lain, penulis lain mengirimkan naskah untuk rubrik sosok. Padahal, sosok yang ditulisnya sudah pernah dimuat di duniasantri yamg ditulis oleh penulis lain. Artinya apa? Kemungkinan ia tak membaca tulisan-tulisan serupa yang ditulis penulis lain di duniasantri. Kerja menulisnya menjadi sia-sia lantaran ia tak membaca sebelumnya.

Ada banyak contoh-contoh seperti itu, yang semuanya terjadi akibat kemalasan membaca dari para penulis. Inginnya hanya menulis dan tulisannya dibaca orang lain tanpa ada resiprokasi dengan tekun membacai karya-karya penulis lain. Fenomena ini akan kurang menyehatkan untuk pengembangan gerakan literasi.

Seperti kita tahu, duniasantri dibangun untuk tujuan-tujuan tertentu, tentu dengan karakteristiknya sendiri. Karena itu, para penulisnya juga harus mengenali karakteristik penulisan di duniasantri, salah satunya bisa dengan membacai tulisan-tulisannya. Apalagi, bagaimana seharusnya menulis untuk duniasantri juga sudah disediakan panduannya secara memadai, bahkan termasuk daftar ejaan baku yang biasa digunakan di dunia jurnalistik. Setiap orang bisa membacanya di sini.

Mengingat pentingnya membaca sebelum menulis, para penulis duniasantri pun sudah seharusnya terus menggelorakan hasrat untuk membaca. Dengan begitu kita akan melahirkan karya tulis yang semakin bermutu.

Bagi penulis duniasantri, inilah “ayat” yang harus dijadikan dalil: Baca! Bacalah duniasantri sebelum menulis untuknya.

Ilustrasi: Lukisan S Sudjojono.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan