Membaca realitas belakangan ini, kemampuan literasi di negara kita dapat dikatakan mengalami kemerosotan.
Sebagai gambaran, UNESCO menyebut indeks minat baca masyarakat Indonesia hanya di angka 0,001. Artinya, dari 1,000 orang Indonesia, cuma 1 orang yang rajin membaca.
Statistik UNESCO (UIS) menyebutkan, tingkat literasi global pada orang dewasa di tahun 2021 adalah 86,3%. Sedangkan, kesepuluh negara yang disebutkan UNESCO memiliki tingkat literasi rata-rata 30% dan mayoritas berada di benua Afrika.
Masih menurut UIS, dari 208 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-100 dengan literasi 95,44%. Ternyata posisi Indonesia masih kalah dengan negara Asia Tenggara lainnya seperti Filipina 96,62% di posisi ke-88, Brunei urutan ke-86 dengan 96,66% dan Singapura urutan ke-84 dengan 96,77%
Tampaknya, serba instan yang disuguhkan dalam keseharian manusia modern, secara tidak langsung mampu menumbuhkan karakter ingin serba instan di segala aspek kehidupan mana pun. Tidak terkecuali dalam dunia literasi. Apa penyebabnya?
Fakto Medsos
Kehadiran media sosial di tengah masyarakat tidak hanya menyuguhkan dampak positif, namun juga mendatangkan dampak negatif kepada masyarakat apabila tidak dimanfaatkan secara bijak. Media sosial yang memberikan fitur-fitur video singkat mampu membentangkan kesempatan luas bagi penggunanya untuk membagikan informasi sepotong-sepotong. Tidak peduli informasi tersebut valid atau tidak, yang penting meraup banyak viewers dan viral.
Membuat gaduh, meresahkan khalayak, menjadi sangat mudah ditemui di zaman digital ini. Lagi-lagi tidak lain karena ulah informasi hoaks di media sosial. Namun siapa sangka, sebetulnya yang terbohongi adalah mereka-mereka yang tak memiliki kemampuan literasi. Sebab dalam dunia literasi, tidak hanya dituntut untuk membaca teks, namun juga konteks.
Menanggapi demikian, dapat dikatakan bahwa pemanfaatan media sosial yang kurang bijak, dapat memicu menurunnya kemampuan literasi dalam hal membaca. Mereka merasa telah mendapatkan informasi valid, informasi yang luas, hanya dari cuplikan singkat medsos yang entah benar atau tidak. Sehingga mereka merasa tidak perlu repot-repot membaca teks panjang dari sumber terpercaya seperti buku, koran, majalah, dan semacamnya. Inilah yang memicu minat baca menurun.
AI dan Krisis Literasi
Pada gilirannya, Artificial Intelligencse (AI) muncul di tengah kehidupan manusia setelah medsos eksis dengan meraup banyak pengguna. Ia bergerak di beberapa bidang, salah satunya adalah komunikasi teks seperti chatgpt, gemini, dan semacamnya.
Dalam hal ini ia fokus pada pemrosesan bahasa alami (Natural Language Processing atau NLP), yang dirancang untuk memahami, menghasilkan, dan berinteraksi dengan bahasa manusia dalam bentuk teks. Tidak perlu repot-repot mencari di Google, atau bahkan sumber literasi akurat, AI yang bergerak di bidang ini mampu memberikan jawaban atas setiap pertanyaan yang dilontarkan kepadanya.
Tapi, harus dicatat, alih-alih mempercepat pergerakan manusia, AI di tangan orang minim literasi justru dapat menjadi jebakan bagi mereka. Buku, koran, majalah, tidak lagi disentuh. Cukup dengan AI, informasi yang dibutuhkan telah disediakan dengan cepat dan praktis. Bukankah hal ini akan membahayakan generasi 5.0 jika tidak diarahkan dengan tepat? Jika generasi darurat membaca, pengetahuan sepotong-sepotong, bukankah menumbuhkan karakter yang mudah dipengaruhi?
Di dunia akademis, misalnya, para siswa bahkan mahasiswa belakangan ini telah akrab dengan teknologi AI. Tugas-tugas yang diberikan guru dan dosen pastilah bersinggungan erat dengan literasi. Namun dengan adanya AI, kemampuan literasi seolah-olah tergerus pelan-pelan. Mati pelan-pelan. Sekali lagi, jika tidak dimanfaatkan dengan bijak, AI akan menjerumuskan kita.
Sebagai misal, tugas menulis karya tulis dialihkan kepada AI. Bahkan tulis tangan pun, AI menyediakan. Sesi tanya jawab, juga diserahkan kepada AI. Lalu, kapan mereka berkesempatan membaca, memahami, dan menuangkan gagasan sendiri dalam tulisan?
Maka dalam hal ini, setidaknya terdapat dua komponen penting dalam literasi yang kerap kali dialihkerjakan oleh AI, yakni membaca dan menulis. Pengaruh medsos yang mendorong pengguna mendapatkan informasi dengan mudah dan cepat, kemudian ditambah pula kehadiran AI yang menawarkan pembacaan dan penciptaan teks-teks instan tanpa harus membaca. Peribahasanya, sudah jatuh, ditimpa tangga pula.
Menyikapi Kehadiran AI
Kemajuan teknologi sebetulnya bukanlah untuk menidurkan manusia, tapi untuk mempercepat pergerakan usaha manusia mencapai keberhasilan yang gemilang. Tinggal apa yang dipilih manusia di antara keduanya. Jika ia maju bersama teknologi, maka ia berhasil menjadi pengguna yang bijak. Jika ia mundur atas kemajuan teknologi, maka ia sedang digerakkan teknologi. Artinya, ia bukan pengguna yang bijak. Jadi, baik buruk dampak yang dituai tergantung penggunanya.
AI dalam bentuk komunikasi teks, penggunaan yang tepat sasaran ialah salah satunya sebagai sarana diskusi dalam menyusun suatu karya tulis. Meminta bantuan memetakan kerangka atau pokok-pokok bahasan, maupun masukan dari apa yang telah dibuat dalam suatu karya tulis tertentu. Bukan untuk menyusun teks keseluruhan. Inilah yang dinamakan mempercepat pergerakan manusia tepat sasaran.
Dalam bidang akademisi yang sering kali menjadikan AI disalahgunakan, pendidik sebaiknya mengarahkan dan membina bagaimana seharusnya AI difungsikan dengan baik. AI bukanlah suatu kemajuan teknologi yang dilarang, akan tetapi hendaknya difungsikan dengan bijak tanpa menebas kemampuan literasi dalam diri sendiri. Teknologi boleh maju, manusianya jangan mundur. Ikutlah maju bersama teknologi.
Solusi lain adalah dengan menerapkan AI detektor bagi beragam tugas-tugas karya tulis, yang mana kabar baiknya hal ini telah disediakan dalam platform Turnitin. Diketahuinya hal ini oleh pihak-pihak akademisi, baik para siswa, mahasiswa, ataupun peserta lomba kepenulisan, akan mendorong mereka untuk tidak memanfaatkan AI dalam menyusun teksnya. Pemanfaatan AI akan mereka alih fungsikan dengan benar dan bijak tanpa menggerus kemampuan literasi mereka.
Dengan demikian, kemajuan teknologi tidak melulu menuai dampak negatif bagi penggunanya. Seberapa mampu pengguna menggerakkan dengan bijak dan tepat sasaran, kemajuan teknologi membantunya meraih keberhasilan yang gemilang. Sebuah peradaban akan maju bersama orang-orang yang mau berjalan maju mengikutinya. Pilihannya ada dua, menggerakkan atau digerakkan kemajuan teknologi.
AI dkk adalah sarana untuk membantu manusia. Sama dengan media-media digital lainnya, jika tidak digunakan dengan bijak maka akan berdampak buruk terhadap penggunanya bahkan orang lain. Kalau menurut Mbk Fatia Salma F, “Penggunaan AI tergantung kepda penggunanya masing-masing; baik dan buruknya.”
Mantap. Tulisan yang sangat inspiratif. Salam….!!!