Angin paling jahanam adalah angin sakal, begitu petuah bapak pada Misraji. Kata-kata itu kerap bergentayangan di kepala Misraji tiap akan berlayar. Kata-kata itu serupa sauh yang melekat pada hati lelaki itu hingga bergidik. Kata-kata itu adalah petuah yang memang harus disampaikan bapak-bapak nelayan kepada anaknya.
Sudah lama sebuah tekad mengakar di hati Misraji. Ia ingin memiliki perahu itu utuh. Ia ingin berlayar tanpa bimbingan bapak lagi. Ia sudah cukup ulung menjadi nelayan. Namun, bapak acap kali mengubur niatan itu. Katanya, jadi nelayan tak segampang menjadi pelayan, pedagang, bahkan wali kota. Jadi nelayan butuh mata yang jeli untuk melihat mata angin. Jadi nelayan butuh wawasan yang luas untuk membaca sasmita bintang. Dan satu lagi, nelayan harus tahu, lautan adalah kuburan.
Bapak hanya mengizinkan Misraji untuk ikut berlayar, bukan mengambil alih perahu sepenuhnya. Ia hanya boleh memandang, membantu jika diperlukan, dan menjaring ikan bilamana bapak menyuruh. Di malam-malam ia dan bapak berlayar mencari ikan, bapak sering kali memberi arahan dan ilmu-ilmu baru perihal menjadi nelayan. Misraji hanya manggut-manggut, kendati ia sudah jenuh dengan ocehan bapak yang mengulang ocehan kemarin malam.
Dan tekad itu, kian hari semakin mengakar, bahkan menjelma benalu di hati Misraji. Bukan apa, Misraji hanya ingin bapak beristirahat, pensiun menjadi nelayan, dan biarkan ia mencari uang di laut untuk kebutuhan keluarga. Ia ingin menggantikan bapak mengambil alih perahu turun-temurun itu. Perahu itu adalah pusaka dalam keluarga Misraji. Perahu itu hanya berubah sekelumit. Bila dahulu perahu itu memakai dayung untuk berlayar, kini perahu itu memiliki mesin sebagai pengganti dayung.
Dahulu bapak juga dapat perahu itu dari kakek. Kakek dapat perahu itu dari bapak kakek. Bapak kakek pun begitu hingga seterusnya sampai tak tahu lagi siapa pemilik pertama perahu itu. Dan seharusnya, bapak pun memberikan perahu itu pada Misraji. Namun, bapak masih saja bilang, “Belum waktunya,” meski kumis Misraji telah menebal.
Hingga sampai pada malam itu, kepongahan Misraji telah mencapai ubun-ubun. Ia tak mau lagi menanggung beban gelisah. Ia tak mau lagi bersabar dan menunggu. Malam itu, bibirnya melontarkan sebuah pemberontakan. Ia harus mengambil alih perahu itu, harus dan harus. Sebab, ia telah beristri, dan istrinya kini sedang bunting. Jadi, mau tidak mau ia harus mencari uang sendiri, dan tak lagi mengemis uang sebagai bawahan bapak. Ia yakin, dengan mengambil alih perahu itu, ikan yang ia jaring akan lebih banyak.
“Baiklah bila maumu begitu,” tanggap bapak begitu lirih. Ia tak bisa berbuat apa-apa lagi, anaknya kini sudah sangat tegar dan kekar untuk kembali dihambat. Ia pun sadar, rambutnya telah beruban, tubuhnya juga sudah renta, memang sudah sepantasnya ia berikan perahu itu pada anaknya. “Tapi Ingat! Angin paling jahanam adalah angin sakal.”
Dan malam itu adalah awal Misraji mengarungi lautan seorang diri. Berbekal pengalaman yang ia dapat bersama bapak, Misraji tak lagi cemas akan beberapa rintangan, ia juga tak akan tersesat di tengah laut dengan gampang. Dan benar, ketika fajar menyingsing tangkapan Misraji lebih banyak daripada yang dihasilkan bapak.
Perihal tangkapan berlimpah bukan hanya sekali dua kali, bahkan boleh dikatakan Misraji mustahil mendapat ikan dengan jumlah sedikit. Ia benar-benar telah menjadi nelayan ulung. Banyak nelayan yang bangga bahkan iri pada kebolehan Misraji menjaring ikan. Misraji kerap bertelanjang dada dan membusungkan dada ketika pulang melaut. Ia akan tersenyum puas, apalagi tatkala melihat sang istri dan calon anak telah menunggu di pesisir pantai.
“Cepatlah Nak, kaukeluar dari perut ibumu. Agar kauturut melihat tangkapan berlimpah bapakmu ini,” ucap Misraji pada calon anak dalam kandungan yang berakhir dengan sebuah kecupan di perut dan kening sang istri.
Senyum pun tersungging di bibir sang istri. Namun, ada kecemasan di balik senyum itu. Perihal itu pun disadari oleh Misraji. Akan tetapi, ia tak ambil pusing pada senyuman itu. Ia menganggap perihal itu sudah biasa bagi seorang ibu yang sedang mengandung anak pertama.
Hingga datanglah di mana Misraji harus merekrut seseorang untuk membantu. Tangkapan Misraji kian hari semakin berlimpah saja, tak ada salahnya bila ia membawa Dulla untuk melaut. Dulla, temannya yang pengangguran itu, tentu sangat bahagia ditawari pekerjaan.
Mereka bagai bulan dan bintang, tak terpisahkan tiap malamnya. Dulla begitu setia mengikuti segala perintah Misraji. Begitu pun Misraji, memberi bagian Dulla dengan sepantasnya. Mereka tak pernah bercekcok, meski kadang Misraji memarahi Dulla sebab jala sesekali semrawut. Dulla menerima segala perintah dan bentakan Misraji.
Bila tengah malam telah datang, Dulla sudah tiba di perahu sebelum Misraji datang. Ia mempersiapkan segala kebutuhan untuk melaut. Misraji merasa beruntung memiliki sekutu seperti Dulla.
Mereka berlayar lebih ke tengah daripada nelayan lain. Mereka tak peduli ombak menerjang, angin menciptakan dingin, bahkan beberapa rintangan bagi nelayan. Ketika tempat sudah terlihat strategis, maka Dulla akan membentangkan jala, dan Misraji menarik jala yang telah berisi ikan-ikan terjerat dengan tangan kekarnya.
Risau pun semakin merayap ke lubuk jiwa sang istri, tatkala melihat tangkapan Misraji tak pernah sedikit, malah kian berlimpah ruah. Perihal tersebut seperti sebuah pertanda yang tak mengenakkan sang istri. Ia melihat punggung sang suami saat melaut, dan ia takut apabila nanti ia tak bisa lagi melihat sang suami kembali.
Namun, resah gelisah itu ia sembunyikan dalam senyuman. Ia senang melihat sang suami kembali dengan selamat. Namun, ketika melihat tangkapan berlimpah itu, ia seolah membayangkan sebuah kedatangan malapetaka. Dan senyum itu, tanpa ia ketahui, seketika menjadi tawar.
Datanglah malam yang tampak begitu kelam. Sang istri merasakan angin tenggara yang menyelusup ke celah bajunya, terasa amat sangat dingin. Dingin itu begitu kuat, hingga merayap ke dalam benak menciptakan kekhawatiran yang amat dahsyat bagi sang istri. Malam ini, ia tak mau sang suami pergi melaut.
“Mas,” hambat sang istri pada Misraji tatkala hendak menuju perahu. Ia menggenggam tangan Misraji sangat erat seperti ada yang hendak mengambil suaminya itu.
Aneh, kata Misraji dalam hati. Sang istri terlihat berbeda. Mata sang istri pun tampak lebih sayu. Namun, ia tak bisa berkata-kata. Ia hanya dapat menunggu sang istri melanjutkan kata-katanya.
“Perasaanku tak enak malam ini. Aku mohon, Mas. Jangan pergi untuk malam ini saja.”
Bukan menjawab, Misraji malah tertawa terpingkal-pingkal.
“Aku mohon, Mas.”
Mendengar permohonan sang istri yang begitu serius, tawa Misraji terhenti. Ia menghela napas dan mulai berkata, “Maaf istriku sayang. Barangkali perasaan tak enakmu disebabkan kandunganmu yang telah berumur sembilan bulan. Aku akan tetap melaut. Aku tak mau berleha-leha, sementara anak pertamaku akan segera lahir.”
Air mata menetes membasahi pipi sang istri, tatkala Misraji tetap dalam pendirian, melangkah dan terus melangkah menuju perahu. Ia hanya dapat berdoa untuk keselamatan sang suami. Hanya doa.
Di tepi laut, Dulla telah menunggu cukup lama. Tak seperti biasa, kawan seperahu itu datang dengan langkah sangat lambat. Ia melihat wajah Misraji begitu muram. Ia tak bisa menebak-nebak perihal apa yang telah terjadi. Yang bisa ia lakukan hanya bertanya, tentu dengan nada lirih sebab takut, “Kau kenapa, Kawan.”
“Sudahlah, mari berangkat. Jangan sampai ikan-ikan terlalu lama menunggu kita,” Misraji mencairkan suasana.
Meski begitu, gelisah tak pernah bisa disembunyikan, Dulla tahu ada yang terjadi pada kawannya, hanya saja ia memilih diam. Dulla mulai menghidupkan mesin dengan gamang, wajah muram tidak biasa Misraji telah membuat perasaanya menjadi tak enak. Ia tak tahu itu perasaan apa. Yang jelas, bulan berdarah di langit semakin tak mengenakkan perasaannya.
“Kawan,” ucap Dulla seketika.
“Apa?!” jawab Misraji ketus.
“Perasaanku lagi tak enak malam ini. Apalagi, bulan sedang terluka. Semua orang kan tahu, bulan itu adalah pertanda buruk. Apa sebaiknya kita pulang saja, ya?”
“Tidak!” jawab Misraji tegas. Tekadnya benar-benar tak tergoyahkan. “Lihatlah, kita belum menangkap ikan satu pun malam ini. Dan kauminta pulang?! Cih! Kau sama saja dengan istriku.”
Kata terakhir Misraji, membuat Dulla tahu perihal wajah muram kawannya itu. Ia jadi semakin takut, tubuhnya seketika gemetaran. Namun, ia tak bisa apa-apa. Misraji terlalu arogan, dan ia hanya bawahan. Ia pun menurut meski tubuhnya terasa kaku ketika Misraji ingin berpindah tempat.
Dan ada satu hal pun yang Dulla sadari, dari tadi ia tak melihat satu pun perahu nelayan lain. Perahu mereka sendiri di tengah laut. Dan mereka pun terpaksa bergidik, tatkala ombak tetiba bergemuruh sangat lantang. “Sudah kubilang! Seharusnya kita pulang dari tadi. Kau sangat egois, Misraji! Ah! Kalau begini aku pun bakal ikut kamu ke kuburan,” bentak Dulla untuk yang pertama kalinya.
Namun, Misraji tak menjawab. Ia membisu dan mematung. Ia terima segala bentakan dari bawahannya itu. Semua ini memang salahnya. Seharusnya ia dengarkan kata istri dan kawannya. Semua sudah terlambat, ia bergidik ngeri saat angin sakal menyerang. Ya, angin sakal angin paling jahanam seperti kata bapak. Angin sakal yang bergentayangan di kepalanya, kini dengan nyata ia rasakan. Seketika ia ingat istri dan calon anaknya yang akan segera lahir. Mungkinkah, pikirnya, ia dapat melihat anaknya lahir sementara perahu telah terombang-ambing.
***
Malam semakin larut, angin mendesir dan ombak memecah kesunyian. Seorang lelaki tampak bercengkerama dengan bapaknya. Ia menagih sebuah janji. Malam ini, ia sungguh akan menjadi seorang nelayan. Perahu turun-temurun, dari bapak, kakek, bapak kakek, hingga seterusnya, kini jatuh ke tangannya.
“Ingat! Angin paling jahanam adalah angin sakal, ombak paling besar adalah tekad, dan malaikat penyelamat adalah doa Ibu,” Misraji berpetuah pada anaknya.
Yogyakarta, 2021.