Beberapa waktu lalu, pidato Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nadiem Makarim dalam rangka memeringati Hari Guru 25 November ramai diperbincangkan. Nadiem dinilai menyampaikan pidato yang benar-benar mewakili perasaan para pendidik dalam menghadapi dinamika sistem pendidikan di negeri ini.
Dalam poin sambutan Nadiem, saya tertarik dengan kutipan kata “guru penggerak” yang Ia sampaikan. Tagar #gurupenggerak pun menjadi ramai diperbincangkan.
Sebelum Nadiem menggaungkan istilah “guru penggerak”, istilah ini sebenarnya lebih dulu sering disampaikan oleh aktifis pendidikan Indonesia di gerakan akar rumput. Mereka sadar ingin mendorong peran guru bukan hanya sebagai pengajar di dalam kelas, namun mengemban amanah sebagai penentu masa depan bangsa. Guru seyogianya mampu menjadi tonggak maju dan mundurnya generasi penerus bangsa.
“Perubahan tidak dapat dimulai dari atas. Semuanya berawal dan berakhir dari guru.” Begitulah sedikit cuplikan pidato Nadiem kala itu. Artinya, guru menjadi kata kunci dalam sebuah perubahan.
Hal yang disampaikan Nadiem sesungguhnya sejalan dengan konsep pendidikan yang diterapkan oleh Bapak Pendidikan Kita, Ki Hadjar Dewantara di Tamansiswa. Konsep tersebut tak lain adalah dengan menerapkan “Sistem Among”, “Tutwuri Handayani”, dan “Tringa”.
“Sistem Among” merupakan cara mendidik dengan konsep “mengemong”, memberi kebebasan anak bergerak menurut kemauannya, tetapi pamong/guru akan bertindak, kalau perlu dengan paksaan, apabila keinginan anak membahayakan keselamatannya.
Selanjutnya, “Tutwuri Handayani” berarti guru sebagai pemimpin mengikuti dari belakang, memberi kemerdekaan bergerak bagi yang dipimpinya, namun tetap mempengaruhi dengan daya kekuatan. Kalau perlu dengan paksaan dan kekerasan apabila kebebasan yang diberikan itu dipergunakan untuk menyeleweng dan akan membahayakan diri.
Yang terakhir, “Tringa” yang meliputi konsep mendidik dengan “ngerti, ngrasa, dan nglakoni”. Guru sebagai pamong harus mampu mengingatkan terhadap segala ajaran, bahwa cita-cita hidup yang dianut diperlukan pengertian, kesadaran, dan kesungguhan dalam pelaksanaannya.
Jika konsep-konsep tersebut dilaksanakan dengan baik oleh guru di Indonesia, maka pendidikan karakter siswa akan terus terpupuk dengan penuh “rasa” dan kepekaan. Sayangnya, kekerasan justru banyak lahir dari dunia pendidikan di Indonesia. Mulai dari perundungan, tawuran, hingga yang paling ekstrem adalah terorisme. Artinya, peran guru yang diharapkan bisa membentuk karakter siswa seperti yang dicita-citakan Ki Hadjar Dewantara masih belum bisa tercapai.
Pendidikan justru menjadi lahan bagi kelompok-kelompok ekstremis dalam menyebarkan ideologi mereka. Kelompok-kelompok itu sadar sepenuhnya bahwa pendidikan mampu menjadi media penting dalam membangun nilai dan membentuk ideologi tertentu yang mereka percaya. Tidak sedikit guru yang kemudian terlibat ikut menyebarkan paham-paham ekstremis.
Dilansir dari Media Indonesia, 21 Mei 2018, Penelitian Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (Lakip) antara Oktober 2010 dan Januari 2011 terhadap lebih dari 2.000 guru pendidikan agama Islam (PAI) dan siswa di wilayah Jabodetabek, misalnya, menunjukkan tingkat persetujuan terhadap pengeboman yang dilakukan pelaku tindak terorisme sebagai bentuk perlawanan terhadap Barat. Angkanya mencapai 7,5% di kalangan guru dan 14,2% di kalangan siswa.
Dalam konteks isu lokal seperti penyegelan atau perusakan tempat ibadah, tingkat persetujuan di kalangan guru mencapai angka 40,9%, sedangkan di kalangan siswa 52,9%. Data-data tersebut menunjukkan bahwa pendidikan masih menjadi lahan subur penyebaran paham ekstremis.
Dengan menilik data tersebut, sudah seharusnya sekolah mulai mengupayakan sistem pendidikan berbasis perdamaian. Guru harus dibekali dengan kemampuan menciptakan suasana yang memungkinkan siswa terus mengembangkan perilaku sosial dan karakter yang positif.
Tagar #gurupenggerak yang digaungkan oleh Nadiem selayaknya tak hanya berhenti sebagai tagar, namun juga dijiwai oleh para pendidik di Indonesia untuk menggerakkan anak didiknya tumbuh menjadi generasi berkarakter dan tentu saja mencintai perdamaian dan kebaikan.