Peran Jaringan Ulama Nusantara al-Jawi al-Makki Abad 17-20 M

191 kali dibaca

Perjalanan orang Nusantara mencari ilmu di Makkah, memunculkan hubungan ulama dalam jaringan antara Timur Tengah dan kepulauan Nusantara. Atau, kita bisa menyebutnya sebagai jaringan ulama al-Jawi al-Makki.

Jaringan ulama Nusantara ini mewarnai sejarah perkembangan Islam di Nusantara hingga tradisi keilmuan di Makkah.

Advertisements

Orang Nusantara Belajar di Makkah

Sebagaimana penjelasan Martin Van Bruinessen, dalam “Mencari Ilmu dan Pahala di Tanah Suci: Orang Nusantara Naik Haji,” tidak ada kepastian kapan dan siapa orang Nusantara pertama yang melakukan perjalanan haji ke Makkah. Namun, kita dapat memastikan kalau perjalanan Muslim Nusantara ke tanah suci sudah dilakukan sejak abad ke-17 M.

Motif belajar sudah mewarnai perjalanan beberapa Muslim Nusantara ke Makkah pada masa itu. Hal ini setidaknya nampak pada Syekh Yusuf al-Maqassari dan Abdurrauf as-Singkili. Dua ulama Nusantara abad ke-17 M, dari Makassar dan Singkil, yang belajar di Makkah.

Perjalanan orang Nusantara mencari Ilmu di Makkah terus berlanjut. Pada abad ke-19 M, ketika terusan Suez dibuka pada tahun 1869 dan sudah adanya kapal api, perjalanan itu semakin meningkat. Pada masa ini, saking banyaknya koloni Nusantara di Makkah, sampai ada Kampung al-Jawi di Haramain. Komunitas al-Jawi ini dikenal oleh orang-orang di Makkah kala itu sebagai ashhab al-jawiyyin (saudara kita orang Jawi).

Term al-Jawi bukan hanya merujuk pada Jawa, namun yang dimaksud adalah Nusantara secara umum. Oleh karena itu, Muslim Nusantara yang berasal dari Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, juga Patani dan daerah lain di Asia Tenggara adalah termasuk komunitas al-Jawi. Dari komunitas al-Jawi di Haramain ini muncul banyak ulama, sebab banyak dari mereka yang ke Makkah memang niat untuk mempelajari agama Islam.

Al-Jawi al-Makki Abad 17-18 M

Dalam buku Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Azyumardi Azra membagi jaringan ulama ini menjadi dua angkatan. Yaitu, angkatan abad ke-17 dan ke-18 M.

Satu peran jaringan ulama al-Jawi al-Makki pada masa ini adalah pembaruan Islam Nusantara. Corak pengamalan masyarakat yang masih sufistik-mistik menjadi bercorak neo-sufisme; tasawuf yang telah diperbarui, yang sebagaimana Azra, dilucuti dari ciri dan kandungan esktasi dan metafisikanya, dan digantikan dengan kandungan dari dalil-dalil ortodoksi Islam. Sederhananya, tasawuf yang tidak melupakan aspek syariat dan aktivisme keduniawian.

Nuruddin ar-Raniri, Abdur Rauf as-Singkili, dan Muhammad Yusuf al-Maqassari, adalah tiga ulama jaringan al-Jawi al-Makki pada abad ke-17 M.

Ar-Raniri (ulama asal Ranir, India, kiprahnya di Aceh menjadikannya bagian ulama Nusantara) mengajarkan urgensi syariat dalam praktik tasawuf. Untuk hal ini, ia menulis kitab yang berjudul al-Sirath al-Mustaqim. Selain itu, ar-Raniri juga mengajarkan kalam Asy’ariah. Jadi, ia mengajarkan tasawuf serta tidak mengabaikan syariat dan akidah kalam.

As-Singkili juga demikian. Ia adalah ulama pertama di Nusantara yang menulis fikih muamalah dalam kitab Mir’at al-Thullab. Ia mengajarkan masyarakat Muslim Nusantara, bahwa doktrin-doktrin hukum Islam tidak terbatas pada ibadah, tetapi mencakup seluruh aspek kehidupan sehari-hari.

Al-Maqassari merupakan seorang sufi, yang tasawufnya tidak menjauhkan diri dari keduniawian. Jika kebanyakan sufi mengasingkan diri dari dunia, al-Maqassari justru terlibat dalam aktivisme dunia. Pengalaman hidupnya menjelaskan hal ini. Ia dekat dengan bangsawan Kesultanan Banten, dan terlibat aktivisme perlawanan penjajahan VOC-Belanda.

Pada abad ke-18 M, dalam jaringan ulama al-Jawi al-Makki muncul Abdul Shamad al-Palimbani, Muhammad Arsyad al-Banjari, Abdul Wahab al-Bugisi, dan banyak lagi. Peran jaringan ulama angkatan ini, sebagaimana Azra, mereka tidak hanya mampu mempertahankan pembaruan Islam yang telah dirintis oleh generasi sebelumnya; ar-Raniri, as-Singkili, dan al-Maqassari, namun juga dapat meneruskan corak pembaruan itu kepada generasi sesudahnya.

Al-Jawi al-Makki Abad 19-20 M

Pada abad ke-19-20 M, sebagaimana penjelasan Amirul Ulum dalam al-Jawi al-Makki: Kiprah Ulama Nusantara di Haramain, Madrasah Shaulathiyah dan Dar al-Ulum menjadi tempat menuntut ilmu banyak pelajar dari komunitas al-Jawi, atau orang Nusantara di Haramain. Tradisi jaringan al-Jawi al-Makki terus berlanjut hingga masa ini.

Dan itu memunculkan banyak ulama dari komunitas al-Jawi. Beberapa di antara mereka ada Syekh Mahfud at-Tremasi, Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Syekh Yasin al-Fadani, dan masih banyak lagi. Ulum dalam bukunya menjelaskan 25 biografi ulama Nusantara yang punya kiprah di Haramain pada abad ke-19-20 M.

Mufti Ali dan Ade Jaya Suryani dalam laporan penelitian mereka, “Reports on Ongoing and Past Research Project Laboratorium Bantenologi’s Biographies of Ulama and Religious Leaders in Banten 1810-2000,” menyebutkan daftar 50 ulama Banten di Makkah. Di antara nama-nama itu, ada yang amat terkenal seperti Syekh Nawawi al-Bantani, dan ada ulama perempuan seperti Nyai Arnah Cimanuk.

Kita tidak tahu pasti berapa jumlah ulama Nusantara di Haramain pada masa ini, namun kita bisa memastikan jumlah mereka ada banyak. Jika pada dua abad sebelumnya, kiprah jaringan al-Jawi al-Makki mewarnai pembaruan Islam di Nusantara, maka pada dua abad ini kiprah jaringan ulama ini juga mewarnai transmisi keilmuan di Makkah.

Pada masa ini, orang Nusantara tidak hanya pergi belajar, namun juga ada yang mengajar di Makkah. Banyak ulama besar di Makkah yang berasal dari komunitas al-Jawi. Syekh Nawawi al-Bantani bahkan dijuluki sebagai sayyidu al-ulama al-Hijaz (penghulu para ulama di Hijaz). Ada lagi julukannya sebagai imam al-ulama al-Haramain (imamnya para ulama di Haramain).

Ada juga Syekh Mahfud at-Tremasi yang menjadi ulama besar di Makkah. Di antara keutamaannya adalah kealimannya dalam bidang hadis. Ia memiliki dua sanad hadis sampai ke Imam al-Bukhari, yaitu melalui sanad ilmu dari Syekh Abu Bakar Syatha dan Kiai Abdullah (ayahnya). Dan, masih banyak lagi ulama Nusantara lainnya yang punya kiprah di Makkah pada dua abad ini.

Tentu tidak semua talenta ulama Nusantara berkiprah di Makkah, ada yang memilih kembali ke Nusantara. Kiai Hasyim Asy’ari termasuk santri al-Jawi di Haramain yang memilih kembali. Ia menjadi kiainya para kiai (hadratussyaikh) di Jawa. Di antara peran Kiai Hasyim di Nusantara adalah merawat corak Islam Nusantara. Pembelaan Kiai Hasyim terhadap pengamalan Aswaja masyarakat Nusantara, yang mendapat kritik dari kelompok puritan, itu tergambar salah satunya melalui tulisannya berjudul Risalah Ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah.

Sampai di sini, pembacaan kiprah jaringan al-Jawi al-Makki telah menyajikan suatu sejarah kepada kita, bahwa ulama Nusantara ikut menjadi aktor penting dalam perkembangan Islam, baik dalam corak Islam di Nusantara bahkan dalam tradisi keilmuan di Makkah.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan