Peran Tionghoa dalam Penyebaran Islam di Indonesia

108 views

Pandemi global Covid-19, yang diduga virusnya bermula dari daerah Wuhan, China, ternyata memantik sentimen ras. China, atau Tiongkok, dianggap sebagai negara penyebar virus Corona. Bahkan, Presiden AS Donalp Trump sempat sinis dengan menyebut “Virus China”.  Akibatnya, akhir- akhir ini, warga etnis Tionghoa yang bermukim di sejumlah negara banyak yang menjadi korban rasisme.  Di Prancis, misalnya, perlakuan tidak mengenakkan ini dialami Cathy Tran, seorang perempuan Tionghoa di Kota Colmar. Saat itu, ketika berangkat kerja, Cathy Tran mendengar ada dua pria yang berteriak: “Awas. Ada perempuan China ke arah kita!”

Raisme terhadap etnis Tionghoa ini seolah mengingatkan kita pada kasus yang pernah terjadi di Indonesia beberapa waktu lalu. Pencalonan Basuki Thahja Poernama dalam Pemilihan Gubernur DKI Jakarta melawan Anies Baswedan dilihat sebagai hal yang salah,dan kemudian ditentang oleh kelompok-kelompok tertentu yang mengatasnamakan Islam dan muslim. Isu politik yang diusung memposisikan etnis Tionghoa sebagai musuh Islam. Padahal, jika kita teliti membaca sejarah yang ada, etnis Tionghoa memiliki peran besar dalam penyebaran agama Islam di Nusantara. Sayangnya, selama ini yang lebih dikenal sebagai penyebar Islam di Nusantara adalah orang-orang dari India dan Timur Tengah.

Advertisements

Padahal, catatan-catatan sejarah menyebutkan, pada sekitar abad ke-15, banyak imigran Tionghoa pemeluk Islam yang mendarat di wilayah Nusantara. Mereka sebagian besar berasal dari Guang Dong dan Fujian. Mereka akhirnya menetap di wilayah Indonesia. Untuk mencari nafkah, kebanyakan mereka terjun di bidang perdagangan, pertanian, dan pertukangan. Nah, pada periode inilah para imigran Tionghoa Muslim mulai menyebarkan ajaran agama Islam di daerah-daerah yang mereka tinggali. Beberapa daerah tujuan imigran Tionghoa Muslim di antaranya adalah Sambas, Lasem, Palembang, Banten, Jepara, Tuban, Gresik, dan Surabaya. Jejaknya masih ada hingga kini.

Dikutip dari buku Tionghoa dalam Pusaran Politik (2003) yang ditulis Benny G Setiono, jejak orang Tionghoa dalam penyebaran Islam baru terungkap pada 1928. Peristiwa itu bermula ketika tulisan-tulisan Tionghoa yang tersimpan di Kelenteng Sam Po Kong dirampas Residen Poortman. Kala itu, Residen Poortman merampas tiga gerobak berbagai catatan berbahasa Tionghoa yang menceritakan peran orang Tionghoa dalam menyebarkan agama Islam. Tidak hanya itu, tulisan-tulisan tersebut juga menyingkap rahasia akan peran orang-orang Tionghoa dalam membentuk kerajaan-kerajaan Islam di Jawa. Salah satunya Kerajaan Islam Demak, yang kelak menjadi cikal bakal Kerajaan Mataram.

Dalam bukunya, Benny juga menuliskan bahwa beberapa tokoh Walisongo juga mempunyai darah Tionghoa. Di antaranya adalah Sunan Ngampel yang bernama asli Bong Swi Hoo alias Raden Rachmat. Bong Swi Hoo disebut berasal dari Yunnan dan cucu penguasa tertinggi di Campa, Bong Tak Keng. Diperkirakan, Bong Swi Hoo datang ke Jawa tanpa istri pada tahun 1447. Ia kemudian menikah dengan Ni Gede Manila, anak perempuan Gan Eng Cu, seorang kapten Tionghoa yang berkedudukan di Tuban. Bong Swi Hoo dan Ni Gede Manila kemudian mempunyai seorang anak bernama Bong Ang yang kelak dikenal sebagai Sunan Bonang. Sunan Ngampel dan Sunan Bonang juga mempunyai keterkaitan dengan Jin Bun. Saat itu, ada seorang kapten Tionghoa Gan Si Cang memohon kepada Bupati Semarang Kin San untuk ikut menyelesaikan pembangunan Masjid Agung Demak. Atas persetujuan Jin Bun, Gan Si Cang pun akhirnya menyelesaikan pembangunan Masjid Agung Demak dibantu para tukang kayu dari galangan kapal di Semarang yang dipimpinnya. Tak ada sekat dan prasangka ras saat itu.

Sayangnya, setelah masuknya Imperealisme, pembauran etnis Tionghoa dengan muslim Nusantara mulai terganggu. Sebab, saat itu pemerintah kolonial Belanda menerapkan kebijakan politik adu domba (devide et impera). Tujuannya untuk membonsai potensi kekuatan bersatunya Tionghoa dan muslim yang bisa menjadi ancaman terhadap kekuasaan kaum penjajah. Maka, melalui politik devide et impera, penduduk Indonesia dibagi menjadi tiga golongan, yakni Eropa, Timur Asing (Tionghoa, India, Arab), dan pribumi atau inlanders. Kebetulan, yang inlanders ini mayoritas muslim. Kebijakan inilah yang kemudian merenggangkan relasi antara muslim pribumi, Tionghoa, ataupun Tionghoa muslim. Tidak hanya itu, pada abad ke-18 Belanda mengeluarkan peraturan yang melarang etnis Tionghoa masuk Islam dan melarang kaum pribumi menikah dengan etnis Tionghoa. Peraturan inilah yang semakin menjauhkan kelompok etnis Tionghoa dengan masyarakat pribumi.

Sayangnya, setelah era kolonial berakhir dan Indonesia merdeka, gap antara etnis Tionghoa dengan muslim pribumi tetap ada. Trennya bisa naik turun berkorelasi dengan dinamika politik nasional. Menanggapi hal ini, dengan tujuan untuk mempersatukan muslim Tionghoa dan muslim Indonesia, muslim Tionghoa dan etnis Tionghoa, serta etnis Tionghoa dengan pribumi Indonesia, seorang tokoh etnis Tionghoa, H Isa Idris, memprakasai pembentukan Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI). Organisasi ini terbentuk pada Tanggal 14 April 1961 di Jakarta. Namun, pada 1972 atas desakan Kejaksaan Agung yang menilai bahawa Islam adalah agama universal, sehingga tidak ada istilah Islam Tionghoa atau Islam lainnya, maka PITI berubah menjadi Pembina Iman Tauhid Islam. PITI kembali menjadi Persatuan Islam Tionghoa Indonesia setelah ditetapkan dalam rapat pimpinan organisasi pada Mei 2000.

Sampai saat ini, tidak ada data resmi mengenai jumlah muslim Tionghoa di Indonesia. PITI, sebagai organisasi yang menaungi kaum muslim Tionghoa, juga tidak pernah mendata berapa tepatnya jumlah muslim Tionghoa di Indonesia. Hal ini dilakukan guna menghindari adanya pengkotak-kotakan di masyarakat.

Sayang, meskipun hubungan Islam dan Tionghoa memiliki sejarah panjang yang erat antara satu dan yang lain, isu SARA pun tetap selalu ada dan digunakan untuk kepentingan tertentu yang membahayakan kehidupan sosial masyarakat Indonesia. Padahal, sudah seharusnya sinofobia semacam ini dihilangkan. Karena, sentimen anti-Tionghoa boleh jadi tak hanya merugikan dari sisi toleransi antaretnis di Indonesia, tetapi juga dari segi hubungan antara Indonesia-China sebagai negara Mainland.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan