Salah satu hal paling berbahaya di dunia ini adalah perempuan yang sedang memendam rasa cemburu. Insting dan intuisinya lebih tajam dari anjing pelacak, detektif profesional, bahkan lebih berbahaya dari agen FBI atau CIA sekalipun. Mereka juga mampu melakukan hal-hal nekat yang tidak pernah bisa dibayangkan!
Munculnya istilah “pelakor” yang marak di media sosial, sesungguhnya kerap membuat saya geram. Saya geram bukan karena sinisme saya terhadap “pelakor” tersebut, tapi lebih karena merasa harga diri saya sebagai perempuan ikut jatuh.
Istilah itu dikonstruksi sedemikian rupa sehingga menjatuhkan harga diri seorang perempuan. Fenomena munculnya istilah “pelakor” itu membuat saya merasa bahwa betapa perempuan tidak begitu pandai mengontrol emosi cemburunya di media sosial.
Mengapa perempuan harus menjatuhkan harga diri perempuan yang lain hanya karena faktor cemburu? Bagaimana mungkin kita menuntut hak untuk dihormati ketika kita tidak mampu menghormati diri sendiri?
Cemburu bagi saya adalah persoalan ketakutan. Takut tidak dianggap, takut tidak dipilih, takut diabaikan, takut disingkirkan, dan banyak ketakutan lainnya. Ketika Bu Dendy merasakan kecemburuan itu, hal yang sedang menguasai dirinya, salah satunya adalah perasaan takut kehilangan. Tentu Bu Dendy takut kehilangan cinta suaminya. Takut kehilangan perhatian suaminya.
Perempuan yang cemburu sering dikonotasikan sebagai perempuan yang kekanakan dan brutal. Perempuan yang tenang sekalipun, jika dihadapakan dengan perasaan cemburu, akan tersulut dan cenderung meledak-ledak, atau melakukan hal-hal di ambang batas kewarasan. Namun, ada hal yang perlu dipahami. Dalam konteks perempuan dan laki-laki yang sedang menjalani sebuah hubungan, atau katakanlah sebuah “keterikatan”, ada hal-hal yang memang harus dimengerti mengenai keadaan psikologis masing-masing dalam menghadapi kecemburuan.
Saya pernah berdiskusi dengan sahabat saya mengenai sebuah Jurnal Psikologi yang mengatakan bahwa faktor kecemburuan laki-laki dan perempuan memanglah berbeda. Teori psikologi evolusioner mengemukakan bahwa laki-laki dan perempuan akan berbeda secara psikologis dalam menilai tanda-tanda yang dapat menimbulkan kecemburuan (Symons, dalam Buss, Shackelford, & Bennett, 2002).
Perbedaan laki-laki dan perempuan dalam kecemburuan sudah dibuktikan berkali-kali oleh peneliti yang berbeda dalam penelitian yang memandang kecemburuan dari sisi psikologis, fisiologis, dan lintas budaya (Buss, Shackelford, & Bennett, 2002). Buss et al. (1992), Cramer et al. (2002), dan Fernandez dan Vera-Villarroe (2007) secara konsisten membuktikan bahwa laki-laki akan merasa lebih tertekan dengan adanya perselingkuhan seksual pasangan daripada perempuan, sedangkan perempuan akan merasa lebih tertekan dengan adanya perselingkuhan emosional pasangan daripada laki-laki.
Artinya, akan sangat mudah membuat perempuan cemburu daripada laki-laki. Kecemburuan emosional membuat seorang perempuan akan sangat khawatir ketika pasangannya memberikan perhatian pada orang lain, sedangkan bagi seorang laki-laki bisa saja hal tersebut adalah suatu kewajaran.
Di sisi lain, perempuan memang cenderung ekspresif dalam menghadapi sebuah kecemburuan. Laki-laki dengan gengsi dan sifatnya yang selalu merasa ingin terlihat dominan tentu tidak akan mau menunjukkan emosi cemburunya dengan vulgar. Beberapa bahkan terlihat sangat santai menghadapi hal tersebut.
Saya rasa, kecemburuan adalah faktor penting yang harus diperhatikan dalam manejemen emosi seorang perempuan untuk mempertahankan sebuah hubungan yang baik dan sehat. Jika Bu Dendy mampu mempermalukan Nyalla di depan publik, ada kisah lain yang lebih tragis dari itu. Pada buku kumpulan fiksi mini berjudul Cemburu Itu Peluru yang pernah saya beli beberapa tahun lalu, diceritakan bagaimana kecemburuan mampu menjadi motif terbesar dalam membunuh seseorang. Mengerikan bukan?
Kecemburuan Para Istri Nabi
Bukan hanya itu, kisah perempuan dan kecemburuan ini juga pernah dialami oleh istri-istri Nabi. Mengutip esai yang ditulis oleh “guru” saya, Aan Anshori, kecemburan pelik semacam ini juga tergambar dalam berbagai fragmen rumah tangga Nabi bersama para istrinya. Kisah ini terpotret dalam hadits, al-Quran, maupun sirah-biografi Nabi.
Bagi umat Islam, Nabi diyakini sebagai model ideal dalam semua hal, termasuk ketika mengatur keluarganya. Namun hidup satu biduk dengan banyak cinta sungguhlah tidak mudah. Perasaan cinta, kekhawatiran, kecemburuan, dan rivalitas selalu turut mewarnai dinamikanya.
Sebagai istri pertama yang dinikahi Nabi pasca wafatnya Khadija, Sawda binti Zam’ah pernah terekam menyerahkan “jatah gilirannya” kepada istri yang lain. Diduga kuat, Sawdah yang beranjak tua melakukan hal itu karena khawatir diceraikan Nabi, sebagaimana diceritakan Ibn Abbas dalam Jami’ al-Tirmidhi (Vol.5 Book 44, hadith 3040).
Perlu dicatat, sebelum berpoligami, Khadijah bisa dikatakan cinta mati Nabi. Bersama perempuan aristokrat ini, Nabi menghabiskan sebagian besar hidupnya secara monogami, sekitar 25 tahun, sampai Khadijah meninggal dunia pada 620 M. Ada cerita menarik sebagaimana diriwayatkan Ibn Saad dan Ibn Jarir al-Tabari menyangkut bagaimana dua orang ini meminta restu ayah Khadijah. Penuh liku-liku dan berstrategi.
Belakangan, kecintaan Nabi terhadap mendiang Khadijah tak pelak membuat Aisyah bint Abu Bakar cemburu berat. “Nggak pernah aku merasa secemburu kepada istri-istri Nabi kecuali kepada Khadijah,” katanya. Mendengar hal itu, Nabi menjawabnya, “Allah sendiri yang langsung merawat cinta Khadijah dalam hatiku.” Percakapan ini terekam dalam Sahih Muslim (Hadits Nomor 2435).
Perjalanan cinta Nabi bersama para istrinya berjalan penuh dinamika. Salah satunya ditandai dengan rivalitas antaristri. Yang paling mencolok adalah antara Aisyah binti Abu Bakar dan Zaynab binti Jahsy. Keduanya diketahui saling membanggakan diri sesuai dengan keutamaan yang mereka yakini bersifat ilahiah. Aisyah merasa dirinya adalah perempuan yang dipilih Allah melalui Jibril untuk mendampingi Nabi, sebagaimana yang tercatat dalam Sahih Bukhari (Volume 7, Buku 62, Nomor 15).
Selain itu, Aisyah juga merasa sangat spesial karena dialah satu-satunya istri yang mendampingi Nabi saat Jibril menyampaikan wahyu di tempat tidur. Keunggulan Aisyah pernah ditegaskan Nabi di hadapan Ummu Salamah.
“The superiority of ‘Aishah to other women is like the superiority of Tharid to other kinds of food,” kata Nabi dalam Hadits 3947 di kitab Sunan al-Nasai. Tharid adalah semacam sup kambing muda dicampur roti. Mungkin karena itu, Aisyah terlihat dominan di antara para istri. Ia tidak segan-segan mengungkapkan kecemburuannya di hadapan Nabi dan istri-istri lainnya.
Ummu Salamah pernah cerita, suatu ketika ia membawakan makanan untuk Nabi dan para sahabatnya. Saat Aisyah tahu, makanan itu langsung dibungkus kain dan dihancurkan dengan alat penumbuk.
“Eat your food, it is just the jealousy of your mother,” kata Nabi kepada sahabat menenangkan suasana. Nabi lantas memberikan masakan Aisyah ke Ummu Salamah dan sebaliknya (Al-Nasai, 3956).
Namun demikian, tidak ada rival istri setara di mata Aisyah kecuali Zaynab bint Jahsy. Perempuan berstatus janda ini, menurut Al-Qurtubi dan Ibn Saad, tidak hanya cantik, berkulit halus, dan ramping, namun juga pekerja keras dan temperamental seperti Aishah. Dia juga ahli menyamak kulit dan punya bisnis di bidang itu.
Dalam aspek campur tangan Tuhan atas perjodohannya dengan Nabi, Zaynab tidaklah kalah dengan Aisyah. “Kalau istri-istri lain diberikan oleh keluarga mereka kepada Nabi, Aku dinikahkan Allah langsung dari surga ketujuh,” kata Anas bin Malik sebagaimana terekam Sahih Bukhari 7420. Perkawinannya dengan Nabi memang menjadi satu-satunya perkawinan yang kabarnya menjadi sebab turunnya QS. 33:37.
Dengan kualifikasi seperti ini, agak sulit untuk tidak mengatakan Aisyah tidak cukup terintimidasi dengan kehadiran Zaynab. Aisyah secara jujur pernah berkata menyangkut sosok Zaynab, “She was somewhat my equal among the wives of the Prophet,“ sebagaimana dicatat dalam Al-Nasa’i 3946. Ibarat liga sepak bola Spanyol, keduanya adalah dua raksasa; Barcelona dan Real Madrid.
Suatu ketika, dengan beraninya, Zaynab mencari suaminya, Nabi, yang saat itu ada di rumah Aisyah. Begitu melihat Zaynab datang, Nabi menyodorkan tangannya, ingin menyongsong Zaynab. “Dia Zaynab binti Jahsy,” kata Aisyah memperingatkan Nabi. Nabi pun langsung menarik tangannya kembali. Entah terkait soal apa, namun Zaynab dan Aisyah langsung terlibat adu mulut dengan intonasi tinggi. Nabi hanya diam saja. Saat Abu Bakar lewat depan rumah Aisyah, ia berkata, “Nabi mari kita salat saja, (biar nanti saya) lempari debu mulut keduanya.” Abu Bakar begitu malu atas sikap putrinya terhadap Nabi, “Do you behave like this?” damprat Abu Bakar pada Aisyah.
Ini bukan adu mulut pertama antara Aisyah dan Zaynab. Pada kesempatan lain di mana para istri merasa Nabi terlalu mengistriemaskan Aisyah, mereka bersepakat meminta Fatimah, putri Nabi, untuk menyampaikan aspirasi mereka. Sayangnya, Fatimah gagal meyakinkan ayahnya.
Lalu mereka meminta Zaynab bint Jahsy bertemu Nabi, sebagai wakil mereka. Zaynab pun menemui Nabi, saat itu ada Aisyah di samping Nabi. Saat Zaynab menyampaikan aspirasi para istri, Aisyah merasa perempuan itu telah melewati batas. Karena tak kuat dipojokkan terus-menerus, Aisyah pun melakukan perlawanan. Cekcok sengit terjadi di hadapan Nabi. Cerita ini dituturkan sendiri oleh Aisyah.
Aisyah kabarnya juga sangat cemburu kepada Zaynab karena Nabi pernah berlama-lama mengunjungi rumah Zaynab. Ia dan Hafsa kemudian mengatur strategi untuk memprotes Nabi. Peristiwa ini dikenal dengan kasus maghafir, sebagaimana direkam Sahih Bukhari Vol.6/60/434, Al-Nasa’i 3795 dan Abu Dawud 3714.
Mengelola Emosi
Cerita perihal kecemburuan para istri Nabi tersebut tentu saja semakin memperkuat argumen saya bahwa perempuan yang cemburu adalah perempuan yang cukup berbahaya. Emosi perempuan yang memang cenderung lebih ekspresif dari laki-laki seringkali menimbulkan kekacauan, bahkan bisa juga memperkeruh konflik.
Kecemburuan pada perempuan tidak hanya terbatas pada posisinya dengan perempuan lain. Kecemburuan itu bisa saja tumbuh karena dia merasa tidak lebih diprioritaskan dari hal yang lain. Perempuan bisa saja cemburu pada aktivitas pasangannya bersama teman-temannya, bisa cemburu dengan PS atau game online, bisa cemburu dengan sepak bola atau futsal, cemburu dengan pekerjaan dan sebagainya. Menurut Jurnal Psikologi yang pernah saya baca, perempuan memang cenderung menuntut sebuah emosi kesetiaan sehingga dirinya selalu ingin menjadi sebuah prioritas.
Setiap perempuan tentu berbeda-beda mengatasi kecemburuan, namun saya tentu saja berharap, seorang laki-laki mampu menjaga perasaan perempuan dengan baik. Pun juga sebaliknya. Perempuan harus mampu menjaga harga dirinya. Tidak ada yang salah dengan perasaan cemburu, sebab cemburu adalah sesuatu yang manusiawi.
Perempuan yang hebat adalah dia yang mampu mengontrol perasaannya, memainkannya dengan rapi, dan mengalahkan egonya sendiri. Perempuan menjadi hebat bukan hanya karena keluasan menyampaikan isi pikiran, tetapi juga pada kekuatan menyimpan perasaan. Perempuan yang hebat tidak menjatuhkan sesama perempuan.