Perihal Ketakutan-ketakutan Semu

61 views

Kita buat kesepakatan. Sebelum Anda yang budiman membaca tulisan ini, bahwa yang tak memiliki ketakutan, maka bukan bagian dari kita. Bahkan sekelas Kanjeng Nabi Muhammad saja mempunyai ketakutan saat memikirkan bagaimana nasib umatnya kelak. Itu adalah hal yang alamiah, wajar, dan manusiawi. Bahwa kita memang hidup dibekali dengan hal itu. Dan masalah selanjutnya adalah apakah lingkungan kita, atau diri kita, memupuknya atau tidak. Sehingga ketakutan itu tumbuh menjadi besar dan menancap lebih dalam.

Setidaknya itu yang sekarang dialami penulis yang sedang memperjuangkan skripsinya. Dan, setelah hal ini selesaipun, belum bisa menjamin apakah ketakutan itu akan hilang. Mungkin beberapa pembaca yang bijak pernah, ataupun juga sedang, mengalaminya. Berarti kita senasib. Karena pasti akan banyak timbul pertanyaan yang lain, yang meski tak penting untuk dijawab, tapi nyatanya selalu dipertanyakan. Silakan Anda sendiri yang menyimpulkan pertanyaan itu.

Advertisements

Ketakutan-ketakutan itu dapat menjadi momok yang besar bagi hidup kita. Dan parahnya itu ditimbulkan oleh lingkungan sekitar. Dan bahkan orang-orang terdekat. Salah satunya adalah pertanyaan mengenai masa depan. Soal kerja, misalnya. Selalu ada stimulus yang akan masuk ke otak kita. Jika kerja kita dipandang rendah oleh orang lain, maka status sosial kita juga akan rendah. Maklum, zaman sekarang ini sudah biasa terjadi. Akibat dari sedikit banyaknya pemikiran yang masuk ke tradisi kita saat ini, orang yang berkecimpung di dunia sosiologi menyebutnya “relasi kuasa”.

Oke, seperti ini alurnya. Misalnya si A dan si B adalah sahabat yang lama tak bertemu. Si A kerja di sebuah kantor dan si B petani. Secara harfiah, bila sama-sama ditanya pekerjaan, maka yang lebih keren pasti si A. Kenapa? Karena sistem pemikiran mayoritas masyarakat kita memandang pegawai kantoran pasti lebih mapan dan lain sebagainya. Sejak kapan? Hal ini bermula dari sejarah bangsa kita yang terlalu lama dijajah Belanda.

Dulu, pegawai dinas adalah kaki tangan para meneer untuk urusan lokal. Mencatat laba, rugi, stok barang, dan banyak lagi. Di sisi lain, pertanian kita dimonopoli agar para petani hanya menjual hasil panen ke mereka, parahnya dengan harga murah. Secara tidak langsung, harga panen ambruk. Dan petani terseret ke jalan kemiskinan. Hal itu yang kian menambah pandangan bahwa petani adalah pekerjaan dengan hasil tak tentu. Berbeda dengan dinas.

Ketakutan-ketakutan yang berkenaan dengan masa depan layaknya jodoh dan rezeki membuat kita menjadi pribadi yang penuh dengan kekhawatiran. Alih-alih bekerja keras kita malah hanya memburu ekspektasi-ekspektasi yang orang sajikan kepada kita. Yang belum tentu juga membuat hidup kita bahagia. Dan itu sudah lebih cukup untuk memupuk ketakutan kita dengan baik.

Padahal, obat dari segala ketakutan itu sudah diramu dan disajikan oleh leluhur kita sendiri. Layaknya kalimat pasrah ing pandum, yang melambangkan kesyukuran. Atau sajak sugih tanpo bondo, digdoyo tanpo aji, yang terukir di nisan Sosrokartono, mendiang kakak dari Kartini yang disajikan menjadi tembang oleh Sujiwo Tejo. Yang melambangkan tidak ada ketakutan jika semua kita pasrahkan pada Tuhan. Atau pada literatur keislaman biasa kita sebut dengan ketauhidan Sufi atau yang lain. Tidak lebih dari pengingat. Bahwa kita adalah makhluk bertuhan. Lantas kenapa kita menyerahkan semuanya pada ketakutan.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan