1
Debu, retak-retak tanah yang membatu, menganga, membongkah. Lalu liat, licin, dan membecek. Itulah siklus waktu tanah kelahiranku, desaku. Adalah lelaki jadzab yang menjadi tanda pergantian waktu. Adalah lelaki jadzab yang menjadi jendela: gerangan apakah yang datang menjelang?
Bila ia bertelanjang badan, berkeliling menyusuri jalanan yang riuh oleh duga oleh rencana oleh harapan oleh kecemasan, orang-orang yakin matahari akan segera memanggang. Debu-debu menyelimuti tetumbuhan, retak-retak tanah membatu, menganga, membongkah. Alam pun meranggas. O, kemarau tiba! Lalu menghilang.
Bila lelaki itu berkopiah, dan ada baju yang membalut tubuhnya yang ringkih, melangkah perlahan mengitari jalanan yang riuh oleh keluh tubuh-tubuh yang basah oleh keringat, orang-orang yakin air akan segera memandikan bumi yang gerah. Lalu liat, licin, dan membecek. Dinding-dinding bergetar oleh retak-retak yang menggembur, tanah mengatup. O, penghujan datang! Lalu menghilang.
O, lelaki itu, siklus waktu. Ada yang terulang. Ada yang selalu datang. Ada yang selalu menghilang. Begitulah orang-orang selalu menunggu. Menunggu yang selalu terulang, yang selalu datang, yang selalu menghilang.
O, waktu, kau telah melahirkan aku.
2
Di sebuah terik yang melelahkan, seseorang bertanya, “Kau ini sebenarnya ingin menjadi apa?”
Ia bertanya, karena melihatku seperti angin, karena melihatku seperti air, karena melihatku seperti api, karena melihatku seperti debu. Tidak seperti batu. Tidak seperti gunung.
3
Saat itu usiaku mungkin baru enam atau tujuh tahun atau entahlah. Air sungai itu mengalir tenang, kecoklatan. Di atasnya ada sebuah titian bambu. Aku menitinya. Kadang berlompatan di atasnya, lalu terjun ke dalam air kali yang kecoklatan itu. Karena, bagi kanak-kanak, hidup adalah permainan.
Lalu, saat berjalan di atas titian itu, aku bertemu entah siapa. Dia mengulum senyum, dan aku menyambutnya. Entah didorong oleh apa, bibirku lalu terbuka, “Kaukah Tuhan itu?” Dia cuma tersenyum. Dan aku pun segera melupakannya, lalu kembali larut dalam kecipak air.
4
Ini surau, dulu, seperti rumahku. Entahlah kini, sebab aku cuma bisa merinduinya. Dulu, bila senja menjelang, aku tinggalkan pintu rumah menuju surau itu. Burung-burung yang beterbangan kembali ke peraduannya menjadi tanda waktu. Itu senja di cakrawala. Selalu ada asa, malam selalu memberikan kehangatan yang sama. Dan di balik terali jendela yang kusam, aku berteriak lantang, memanggil nama-nama keagungan. Inilah hidup: siapa memuji siapa, siapa mengagungkan siapa.
Ini surau, dulu, seperti rumahku. Entahlah kini, sebab apalagi yang bisa kurindui. Air tak lagi mengalir. Warna yang itu, dulu selalu. Kolam sisi surau itu kini kering bukan oleh datangnya kemarau, tapi oleh bumi yang lapar. Dan tak lagi memantulkan gaung panggilan ke banyak sudutnya. Dan tak lagi memberi ceria dalam kecipak airnya. Dan tak lagi menjadi tempat untuk bertelanjang bersama.
Ini surau, dulu, seperti rumahku. Aku tidur di lantainya, setiap malam, bertelanjang badan. Cuma pantat yang terlilit sarung. Cuma tengkuk yang terganjal kaki dampar, tempat aku mengeja alif-ba-ta… Tapi, lantai itu kini tak lagi kusam, memberi kehangatan. Lantai itu kini mengilap, bening seperti kristal yang memantulkan banyak gambar, banyak wajah, dan menelan gambar-gambar dan wajah-wajah itu dalam dingin, dalam diam. Dan, dampar-dampar itu, entah telah menjadi abu di tungku, entah lapuk oleh waktu, atau entahlah di mana, kini.
Ini surau, dulu, seperti rumahku. Ada gelak dalam banyak perbincangan sabda. Sudut-sudut ruang selalu riuh, sering gaduh. Lalu dengan batuk yang menggelegar, lelaki berjubah menyihir waktu. Datang kesenyapan penuh ketakziman. “Tuhanku akan marah, jika manusia tak beda dari binatang.”
Ini surau, dulu, seperti rumahku. Ada banyak canda dalam sujud, ketika banyak dahi menyentuh bumi, ketika dosa-dosa dipangku, ditimang, ditimbang. Lalu, di sebuah malam, lelaki berjubah itu memperpanjang bacaan-bacaannya, memperlambat peralihan gerakannya yang diikuti mereka yang berderet di baris belakangnya, dan baru mengusap wajah pada ujung malam. “Jangan lagi ada canda ketika menghadap Tuhan.”
5
Saat itu, entahlah berapa usiaku. Tapi aku mulai bisa tidur di sembarang waktu, di sembarang bangku. Aku keluar dari sesuatu yang selalu, segala yang rutin. Bibir pun segera pada mencibir. Ada kamar tetangga yang menjadi seperti rumahku. Ada bangku-bangku di bus yang menjadi seperti ranjangku. Ada gardu-gardu di perempatan jalan yang menjadi seperti dampar-dampar di surau itu. Tapi Ibu telah mengantarkan, telah melepaskan. “Pilihlah jalanmu sendiri. Sisanya adalah doa seorang ibu.”
Dan memang, selanjutnya hidup adalah soal memilih jalan.
6
Pada suatu malam aku menyusuri sebuah jalan. Gelap. Pekat. Lalu kosong, aku hilang dari kesadaranku oleh sebongkah batu. Di sana, orang-orang berteriak, berkerumun. Dia menginginkan perempuan yang diinngini pria lain, seseorang bergumam. Ah, sebuah kenakalan kanak-kanak.
Pada malam berikutnya, aku sudah berada di sebuah surau. Bukan yang dulu. Ada masjid, dan bilik-bilik kamar berderet. Tapi pada subuh pertama itu aku pergi menjemput hari, dan tidak kembali. Lelaki yang menjadi denyut nadi ruhani desa kami mencari, datang. “Kenapa kau tidak kembali?”
Ah, Tuhan tak tersembunyi di bilik-bilik itu. Tuhan tak tersembunyi pada lipatan-lipatan kitab suci itu. Aku masih pergi menjemput hari. Menjadi air, menjadi api, menjadi angin, menjadi debu— terulang, datang, menghilang…
Kembali, ada kamar tetangga yang menjadi seperti rumahku. Ada bangku-bangku di bus yang menjadi seperti ranjangku. Ada gardu-gardu di perempatan jalan yang menjadi seperti dampar-dampar di surau itu, dulu.
Lalu Ibu teperkur di sudut kamar pada setiap ujung malam. Saat para malaikat membuka kunci pintu langit-langit malam. Saat setiap ranjang basah oleh peluh kelelahan, keresahan. Wahai malaikat, bukalah pintu yang itu… Selalu, suara itu memecah malam.
7
Ya, malam yang beku akhirnya oleh waktu. Bukan cuma pintu yang itu. Beribu-ribu! Mungkin, ketika malam berhiaskan purnama, ada lebih banyak perempuan yang terjaga, dan bersimpuh di sudut-sudutnya. Ini dupa, ini doa, menggendong berlaksa asa ke ketinggian sana. Ah, langit itu menjadi teramat gaduh. Semua mendoa. Semua meminta.
Dan angin pun berhenti berdesir. Dan pohon-pohon berhenti melambai. Dan air yang bening seakan membeku. Mereka tak kuasa menatap pandang purnama.
“Kami malu. Kami ini cuma rindu.”
Angin, pepohonan, dan air pun tak kuasa mengirim pesannya.
Aku yang sudah mulai bisa tidur di segala waktu, di sembarang bangku, terjaga oleh sorot mata yang berkilauan. Dingin yang jauh dari beku. Hangat yang jauh dari uap. Entahlah, rasa apa itu.
“Kau tak membakar dupa, atau mengirim doa-doa. Langit akan segera membuka pintu-pintunya.”
“Ah, aku malu. Aku ini cuma rindu.”
Rindu memang tak butuh waktu. Rindu memang tak memerlukan tungku. Rindu memang datang tak melewati pintu. Tak.
8
Rindu itu yang selalu membawaku ke jalan itu. Menjadi angin, menjadi air, menjadi api, menjadi debu. Dan lelaki itu, sang siklus waktu, masih sering melintas di jalan itu. Tapi aku cuma melihat, bahwa tanda itu tak mengubah banyak.
“Kau tak perlu melihat tanda. Kau tak memerlukan isyarat. Kau, mencarilah apa yang ingin kau cari.”
“Ah, aku ini cuma rindu, dan malu tak kuasa menanggungkannya.”
Lelaki itu masih sering, dan kadang kami bertemu, di jalan itu. Berdebu. Selalu, akhirnya kami tak bertukar sapa, tak bertukar tanda, tak bertukar kata.
“Pergi. Pergilah, agar rasa itu terus terjaga; bahwa kita saling ada. Bahwa rindu harus makin menggebu.”
Rindu itu yang akhirnya membawaku ke lebih banyak jalan yang bercecabang. Menjadi angin, menjadi air, menjadi api, menjadi debu. Tersuruk-suruk di antara lapis-lapis waktu. Terlipat-lipat di antara bibir-bibir yang mencibir.
9
Dan waktu pun berlompatan mengejar entah. Tanda makin jauh dari eja. Banyak sabda yang terucap, tapi siapa lagi yang sudi mengeja, memberi makna. Tak pernah lagi digelar satu dua lembar tikar, lalu berpuluh-puluh takir dijejer melingkar. Dan di tengah perempatan jalan itu, bocah-bocah saling mengejar, menyelinap di antara pundak dan bahu para lelaki yang bersila termangu. Menunggu bau tanah basah, lenguh kerbau di antara pematang sawah yang gaduh.
Ya, waktu telah berlompatan mengejar entah. Tak ada lagi eja pada setiap tanda. Dan aku kian tersuruk-suruk di antara lapis-lapis waktu yang terus berlompatan mengejar entah. Dan kian terlipat di antara bibir-bibir yang terus mencibir. Bibir-bibir yang jauh dari eja. Bibir-bibir yang selalu mengirimkan uap pada gumpalan mendung yang bergelayut. Bibir-bibir yang selalu meludahkan maki ke dalam berpuluh-puluh baki. Entahlah, pada bibir siapa ada eja, keluar mantra, menyemburkan makna. Entahlah, pada bibir siapa lagi orang-orang menitipkan asa, agar dupa-dupa atau doa-doa menggendongnya ke ketinggian sana.
Jalan itu sepi. Tapi aku ini cuma merindu.
“Pergi. Pergilah, agar rasa itu terus terjaga; bahwa kita saling ada. Bahwa rindu harus makin menggebu.”
Suara itu, selalu, memecah waktu yang beku.
10
Waktu pun terus berlompatan mengejar entah. Dan aku telah jauh atau pergi dari itu, desa yang menunggu. Di sana, entahlah, adakah yang menjadi angin, menjadi air, menjadi api, menjadi debu. Karena, di antara waktu yang terus berlompatan mengejar entah, yang sering tinggal adalah menunggu. Menunggu dalam doa, dengan dupa, dengan mantra. Sementara di setiap ujung senja, bocah-bocah terus berlompatan, menanduk-nanduk maki dalam berpuluh-puluh baki. Dan langit menjadi teramat gaduh. Dan tak ada lagi terdengar desir suara lembut yang teduh membasuh dari pojok sana.
“Aku malu, aku ini cuma rindu.”
O, suara itu, ke manakah angin membawanya berlalu.
Dan bukan cuma di ketinggian lazuardi. Pun di kerak-kerak tanah yang retak orang menyurukkan doa, membakar dupa, dan terus menyemburkan mantra yang menelan hampir semua suara malam. Ah, bumi bergetar oleh beribu-ribu tangan yang menggenggam mimpi, menabur berlaksa asa. Gaduh dan riuh. Orang-orang berebut baris paling depan menjumpa Tuhan. Setiap diri berkacak, menengadah: inilah aku, hamba-Mu, hendak menuju— tapi tanpa rindu yang menggodam.
Orang-orang mengira, rumah Tuhan ada di ketinggian sana, pada lazuardi itu. Tinggi. Tinggi sekali. Di sanalah singgasana Tuhan. Yang waktu pun tak mampu menjangkau. Yang cahaya pun tak kuasa memeluknya. Yang air pun tak bisa membasuhnya. Yang api pun takkan membakarnya. Lalu mereka sibuk membikinnya tangga: kitab suci yang bertumpuk-tumpuk itu. Setiap kita mendakinya, menuju ke ketinggian sana. Dan di sanalah tempat menukar asa, menggadaikan mimpi. Tapi orang tak tahu di ketinggian sana cuma ada hampa, karena setiap tanda dieja dengan asa, isyarat dibaca dengan hasrat, rindu dirasai dengan nafsu.
11
Ya, suara itu selalu menggodam hatiku yang beku di antara lompatan waktu yang mengejar entah. Dan puncak? Di manakah itu? Di ketinggian sana? Pada lazuardi itu? Ayo, ayo, angkat rasamu, junjung jiwamu, tinggi menjulang, di ketinggian sana, pada lazuardi itu. Kau akan mengecil, dan terus mengecil, dan berhenti pada ketiadaan: lalu kau ada pada cuma cahaya. Ayo, ayo, angkat rasamu, junjung jiwamu, terpejam menjulang pada lazuardi itu. Kau akan merasa ringan, dan terus meringan terbang, dan berhenti pada ketiadaan: lalu kau ada pada cuma hampa. O, ada pada cuma cahaya dan hampa!
Entah setelah berapa lama, kemudian malam-malamku adalah bergelut dalam perjalanan menuju puncak itu: menuju ketiadaan lalu ada pada cuma cahaya; menuju ketiadaan lalu ada pada cuma hampa.
12
Pada waktu yang tak pernah berhenti berputar, aku terus mengikuti, bermandi peluh, untuk tak berhenti cuma pada tanya. Di situ aku cuma sebuah titik, dan mungkin menjadi bagian, dari beribu-ribu yang berkumpul. Pada setiap malam, pada setiap purnama, atau pada malam-malam yang telah ditentukan, mereka mencari jalan, mereka menapaki undakan, mereka menuju puncak.
Inilah jalannya: ada beribu-ribu butir tasbih yang terus diputar dan berputar; dah-dahi berjejer rapi menembus bumi; berpasang-berpasang tangan berimpitan hendak memeluk langit; berpasang-pasang mata seperti mata air yang hendak menggenangi ladang gersang; ada sekian ratapan bersahutan yang membubung berdesakan; ada lolong yang saling bersahutan; dan tubuh-tubuh yang berpeluh terus berputar-putar, terus bergoyang-goyang. Bergetar. Menggelepar.
Puncak! Di manakah puncak?!
Tapi aku cuma sebuah titik, dan mungkin hanya bagian, dari beribu-ribu yang berkumpul itu. Dan aku terus mengikuti, bermandi peluh, untuk tak berhenti pada sesuatu yang akan membeku dalam arus waktu.
13
Ada lelaki sebagai orang yang disucikan. Begitulah namanya. Ia menjadi juru mudi dari beribu-ribu yang berkumpul itu. Dan aku cuma sebuah titik di dalamnya. Ia mengajak mengeja waktu. Ia mengajak mengecap rindu. Ia mengajak memaknai cinta. Ia mengajak bertanya: kenapa kita ada?
Yang beribu-ribu itu datang dari segala penjuru. Dari pojok kerinduan. Dari relung kemiskinan. Dari kerak-kerak kemaksiatan. Dari tumpukan dusta. Dari impitan nista. Dan dari mimpi-mimpi yang belum sempat tergadai. Dan lelaki itu selalu menyihir waktu yang membeku: magi yang selalu mengundang harapan. Dan yang beribu-ribu itu terus menengadah: bintang-gemintang masih bertaburan pada ketinggian lazuardi itu. Tapi aku cuma sebuah titik, yang terbungkuk-bungkuk karena malu tak kuasa memanggul rindu.
Dan lelaki itu masih saja mengajak mengeja waktu.
Jangan ada yang beku dalam arus perputaran waktu, katanya. Maka, ketika dewi malam menyelimuti setiap jiwa yang terkulai di atas ranjang, ia berdiri tegak di tengah hamparan bintang-gemintang, lalu berjalan mengelilingi bilik-bilik yang berderet melingkar.
“Jaga. Jaga. Jagalah dari tidurmu. Qum!”
Malam adalah saat terbukanya pintu langit. Beribu-ribu malaikat membuka kunci-kunci langit yang berlapis-lapis itu. Dan selalu, lelaki itu memimpin sepasukan yang terus merindu. Dan selalu, lelaki itu terus memukul-mukulkan tongkatnya, mengibas-ngibaskan jubahnya —agar jalan semakin lapang, agar jarak semakin dekat, agar waktu semakin singkat.
Dan lelaki itu masih saja mengajak mengecap rindu.
Jangan ada yang beku dalam arus perputaran waktu, katanya. Maka, ketika dewi malam menyelimuti setiap jiwa yang terkulai di atas ranjang, ia berdiri tegak di tengah hamparan bintang-gemintang, lalu berjalan mengelilingi bilik-bilik yang berderet melingkar.
“Jaga. Jaga. Jagalah dari tidurmu. Qum!”
Dan aku tergeriap. Beberapa panci beterbangan, menggedor-gedor pintu bilik-bilik kamar yang berderet-deret itu.
“Usir mimpi-mimpimu itu, yang menjadi kabut, yang menyelimuti mata hati!”
Dan lelaki itu masih saja mengajak memaknai cinta.
Hidup itu mengatasi kebekuan dalam arus perputaran waktu, katanya. Maka, ia pun menjadi lautan, yang airnya mengayun segala yang ingin hidup dan hendak mati, yang ombaknya memacu gairah, yang gelombangnya memompa gelora, yang anginnya memberikan daya, yang dari pantainya mata memeluk kaki langit. Dan pada laut itu, air jauh dari beku.
Dan lelaki itu masih saja mengajak bertanya: kenapa kita ada?
Waktu tak boleh pernah membeku, katanya. Maka, hitunglah detak jantungmu. Ciumlah aroma darahmu yang terus bergerak mengalirkan rasa rindu. Bukan cuma bintang-bintang, bukan cuma rembulan, bukan cuma matahari— deru angin pun akan membasuh wajahmu, mengiringi gerak nadimu.
Ya, tapi aku cuma sebuah titik dari beribu-ribu yang berkumpul itu, yang tertatih-tatih karena tak kuasa memanggul rindu.
14
Maka aku lari dari yang selalu, segala yang rutin. Pori-poriku tak lagi merasakan semilirnya angin dari kibasan jubah lelaki itu. Mataku tak lagi melihat tongkat di tangan lelaki itu, yang selalu menunjuk menghitung bintang-bintang di tengah malam. Aku bukan lagi sebuah titik di tengah ribuan butir tasbih yang terus berputar, beribu-ribu tubuh yang terus bergoyang dan bergoyang, berpeluh-peluh, bergetar, menggelepar.
Maka aku keluar dari yang selalu, segala yang rutin. Aku bukan lagi sebuah titik saat lelaki itu masih saja mengajak mengeja waktu, mengajak mengecap rindu, mengajak memaknai cinta, dan mengajak bertanya: kenapa kita ada? —lalu mengibaskan jubah, terbang melayang menuju puncak: menuju ketiadaan lalu ada pada cuma cahaya; menuju ketiadaan lalu ada pada cuma hampa.
Maka aku berpaling dari yang selalu, segala yang rutin. Karena aku selalu gamang untuk sampai pada puncak, untuk menukar rindu yang selalu menggodam waktu agar tidak membeku dengan bertemu. Karena aku tak mengeja tanda dengan asa, membaca isyarat dengan hasrat, merasai rindu dengan nafsu. Karena, kata orang, puncak itu dingin dan beku.
Kembali aku tersuruk-suruk di antara lapis-lapis waktu, terlipat-lipat di antara bibir-bibir yang mencibir— menjadi angin, menjadi air, menjadi api, menjadi debu.
15
Seperti air, seperti api, seperti angin, seperti debu: aku datang dari yang jauh, dan akan terus merindu pada yang jauh…