Ibu membuatku risih. Aku baru memakai ponselku dan dia terus menanyakan apa ada pesan masuk untuknya?
Aku baru balik dari pesantren untuk liburan Ramadan. Selama aku ada di pesantren, HP ini dipegang Ibu. Dia memakainya untuk nonton video di Youtube atau menghubungi temannya sesama TKW di Malaysia yang masih ada di sana. Wajar saja setiap kali aku memakai HP ini dia selalu berpesan agar memberitahunya jika ada pesan masuk untuknya.
Kebetulan, sewaktu aku memakainya pertama kali, ada banyak pesan dan panggilan yang tak kujawab di whatsapp. Aku memberitahunya. Ketika dia mengambil alih, dia bisa bicara di telepon hampir tiga jam dan membuatku jenuh menunggunya. Aku beralih pada buku, tetapi pikiranku melayang pada HP itu, pada teman-teman yang berencana mengadakan rapat organisasi secara daring, baksos, bukber, dan beberapa kegiatan lainnya. Aku berdehem, memberi kode pada ibuku dan mondar-mandir dihadapannya. Namun, hasilnya nihil. Dia malah mengangkat tangannya, memberi isyarat agar aku menjauh.
Dia bicara sampai kepentingannya selesai. Aku menangkap beberapa pembicaraan itu. Menguping. Aku menemukan beberapa ide untuk tulisanku. Dari beberapa percakapan yang kudengar, semuanya berkisah tentang bank, hutang, pegadaian, dan perceraian. Ibu jadi tempat curahan masalah teman-temannya dan dia bersimpati secara berlebihan. Aku tak dapat berbuat apa-apa ketika dia bilang kalau HP-ku akan dibawanya pergi ke rumah temannya untuk suatu urusan.
“Ibu bawa dulu HP ini, sebentar.” ujarnya setengah berteriak sambil memakai kerudung terburu-buru dan aku mendengus kesal.
Aku tak habis pikir. Kenapa Ibu sampai segitunya sama orang lain. Aku tidak menjamin orang-orang akan berbuat sebagaimana yang dia lakukan pada mereka. Mereka hanya ada jika butuh. Dia mau saja jadi perantara apa pun, semisal meminjam uang ke bank atas namanya, mendamaikan anak dan orang tua yang bertengkar bahkan dia rela jadi mata-mata suami orang. Demi apa coba? Aku tak tahu. Tak paham dengan pola pikirnya. Ayah tak tahu hal itu dan aku lebih memilih bungkam. Khawatir keluarga ini akan ditimpa bencana jika dia kuberitahu.
Meski begitu, dia tetaplah ibuku. Aku harus menuruti segala perintah dan kemauannya sekalipun aku harus menunggu lama dengan emosi yang coba kutahan seperti yang kualami sekarang sambil menunggu kedatangannya. Aku merungut. Tiga puluh menit berlalu, satu jam, satu jam setengah hingga dua jam, dia tak kunjung datang. Aku pun memilih pergi ke rumah teman sepesantren denganku daripada menunggu Ibu yang tak jelas kapan kembali pulang.
***
Aku baru bisa mengaplikasikan HP dengan tenang ketika jarum jam berdiri di angka sembilan malam. Dia harus tidur pada jam segitu karena jam dua dini hari nanti, dia akan menanak nasi untuk sahur. Itu pun, dia tetap meninggalkan pesan.
“Kalau ada teman Ibu bernama Isna nelepon atau kirim pesan lewat WA, bangunin Ibu.” pesannya.
Aku mengangguk.
“Dan jangan matikan datanya!”
“Kenapa?”
“Siapa tahu dia nelepon lewat WA dan seringnya memang begitu.”
“Kenapa tidak telepon balik saja?”
“Jangan. Kasihan dia. Dia capek kerja seharian. Biar dia sendiri yang nelepon.”
Aku mengiyakan. Itu urusan Ibu. Meski aku tidak akan membangunkannya kalau Isna benar-benar nelepon atau mengirim pesan. Aku yang akan memberitahu padanya kalau Ibu lagi tidur dan tidak bisa diganggu. Isna adalah Tetangga kami. Rumahnya berjarak lima rumah dari rumah kami. Kabarnya, dia merantau ke negeri jiran belum lama ini atas sokongan Ibu. Ibu memantapkan hatinya kalau dia masih tinggal di sini, bisa jadi rumahnya akan dijual dan anak-anaknya akan terlantar. Suaminya sudah lama meninggalkannya dengan membebani hutang miliknya pada Isna yang malang itu. Namun, keberangkatannya itu ilegal sebab dia tidak punya uang melalui jalur resmi. Aku jadi penasaran bagaimana percakapan antara mereka.
Aku mengetik nama Isna di pencarian pada aplikasi whatsapp yang terbuka. Ada banyak rekaman suara di dalamnya. Aku memutarnya dan menyimak secara seksama.
Iya, Is, anakmu sekarang diasuh oleh Bik Marye. Dia senang. Kadang aku belikan dia es krim.
Itu rekaman suara ibu. Pada bagian ini, aku paham. Bik Marye, bibinya Isa itu sedikit pelit. Karenanya, dia menitipkan uang kiriman tambahan kepada Ibu untuk uang jajan anaknya tanpa siapa pun mengetahuinya termasuk bibinya sendiri. Ibu hanya membantu menjaganya dari jauh, membelikan anaknya Isa es krim dan jajanan lainnya sembunyi-sembunyi. Aku kembali memutar rekaman selanjutnya.
Iya, Yu, makasih. Jangan sampai anak saya kekurangan jajan. Dia tidak punya siapa-siapa lagi di sana. Bibinya sendiri, satu-satunya keluarga yang ada malah kayak gitu sifatnya. Pelit. Aku tak tahu pada siapa lagi meminta untuk menjaganya kecuali padamu. Lalu terdengar isakan. Ibu membalas.
Ya, tenang saja. Kau jangan khawatir. Aku juga mengawasi anakmu dari jauh. Kemarin, aku membelikannya es krim dua kotak dan biskuit cokelat. Aku memintanya makan di rumah. Tak ada yang tahu. Aku memanggilnya saat dia bermain. Ngomong-ngomong, bagaimana keadaanmu di sana.
Aku terus menyimaknya. Namun, ada jeda selama dua menit. Pesan suara balasan dari Isna masuk setelahnya dengan suara mendayu-dayu dan sedikit berbisik sebagaimana suara rekaman sebelumnya.
Di sini masih belum aman, Yu. Aku dan beberapa orang lainnya masih sembunyi di hutan saat ini. Polisi menggeledah rumah susun. Aku beserta yang lainnya, juga ada orang India berhasil selamat kecuali Punadin dan menantunya. Mereka tertangkap dan kami masih belum tahu bagaimana kabarnya.
Balasan ibuku dramatis. Suaranya menanjak, kaget.
Apanya? Punadin dan menantunya itu tertangkap? Bagaimana bisa?
Jadi begini, Yu. Patroli polisi itu berlangsung di awal Isya. Kami mendapat kabar dadakan waktu Magrib kalau akan ada penggeledahan. Kami segera kabur tanpa persiapan apa pun sedangkan mereka ada di lantai tiga melaksanakan salat Isya. Kami dapat kabar itu dari Mbak Rita.
Siapa Mbak Rita?
Orang melayu bersuami satpam di sini. Dia baik. Kalau ada penggeledahan, suaminya akan memberi tahu. Tapi entah mengapa malam itu dia kecolongan.
Kamu berapa hari sembunyi di situ?
Sudah hampir dua hari.
Apa yang kamu makan, Is?
Entahlah. Selama dua hari ini, kami belum makan apa-apa.
Lalu Ibu membalas dengan isakan pula.
Ya. Hati-hati di sana. Awas ular dan binatang buas. Aku pun belum bisa menerima kabar ini apalagi kabar Punadin yang tertangkap. Aku hawatir dia dipukul.
Semoga saja tidak, Yu. Kita doakan bersama.
Doa selalu kupanjatkan, Is. Sepanjang waktu. tekannya.
Aku ingat siapa Punadin itu. Dia suami Bik Ramlah. Kabarnya, dia berangkat bersama menantunya serombongan dengan Isna dari desa ini. Aku tak tahu, mengapa Ibu begitu terenyuh dan bersimpati berlebihan. Aku melanjutkan rekaman suara berikutnya, masih rekaman suara Ibu.
Lalu, apa Sappak datang membantunya?
Sappak adalah perantau terlama dari desa ini. Dia bertahun-tahun ada di negeri jiran. Ibu bilang kalau sejak aku belum lahir, dia sudah merantau dan sekarang umurku delapan belas tahun sudah. Dia tidak berkeluarga tapi punya seorang Ibu yang renta dan berharap anak satu-satunya itu berhenti mengiriminya uang. Dia mau anaknya yang datang.
Saya kurang tahu hal itu, Yu. Belum ada kabar. Namun, harapan pasti ada. Bukankah setiap orang yang kena tangkap pasti bebas jika dia yang mengurusnya?
Betul. Aku khawatir saja dia disiksa, dipukuli.
Rekaman beralih pada hal lain, tentang bank, hutang suami Isna dan macam-macam. Aku tidak menyimaknya hingga selesai, terlalu banyak. Aku menyudahinya dan beralih pada kegiatan bermedia sosialku sendiri.
***
Suatu hari, pada pertengahan bulan Ramadan, entah mengapa, aku memberitahu Ibu bahwa ada pesan suara dari Isna. Spontan. Aku garuk-garuk kepala sendiri.
“Ibu bawa dulu HP ini.” katanya dan berbicara via whatsapp kembali.
Aku merutuk dalam hati. Dia bilang ke Ayah mau pergi ke rumah Ruyani, tetangga beda enam rumah dari rumah kami. Ruyani adalah teman baik Ibu, pernah terlilit hutang juga dan pernah merantau ke negeri jiran bersamanya. Setengah jam kemudian, dia balik dan memberikan HP itu padaku dan pergi memasak untuk buka puasa.
Aku membuka whatsapp. Di bagian paling atas ada nama Isnaa2—karena nomor Isna ganti-ganti. Banyak orang mencarinya. Ibu menamainya berdasar kemudahannya sendiri—dengan dua notifikasi masuk. Aku memencetnya. Terdengar suara Isna mendayu.
Ya, Yu. Hapus saja biar aman.
Ya, ya.
Hanya itu. Bagiku, pesan suara itu mencurigakan. Isna bilang seperti itu namun dia membalas dua bilah pesan Ibu sebelumnya yang telah dihapus. Aku penasaran. Aku berselancar di internet mencari tahu bagaimana caranya memulihkan pesan suara yang telah dihapus. Hanya butuh lima belas menit, aku bisa memulihkan semua percakapan mereka dalam bentuk pesan suara.
Aku menyimaknya satu-satu dan paham kalau Isna dan yang lainnya sudah kembali ke rumah susun. Mereka membahas apa yang terjadi di sana. Namun, dadaku bergolak ketika percakapan mereka menyinggung Punadin dan menantunya.
Punadin bagaimana, Is? Apakah dia sudah bebas?
Ya, Yu. Cuma, Sappak minta uang ganti tebusan.
Uang apa?
Isna menjelaskan panjang lebar. Aku tidak begitu paham dengan istilahnya. Intinya, setelah melalui beberapa proses yang rumit, Punadin dan menantunya dapat dibebaskan oleh Sappak dengan biaya yang tidak sedikit.
Berapa itu, Is?
Empat ribu ringgit. Dia kelimpungan mencari pinjaman di dini.
Biar saya yang cari saja di sini. Asalkan dia selamat dan bebas dari polisi.
Yu, apa kamu tidak takut pada suamimu?
Mau bagaimana lagi, Is. Asal kau jaga mulut, dia tidak akan tahu apa-apa. Selain kau tak ada yang tahu. Lagi pula, Punadin tidak suka lagi pada Bik Ramlah. Dia lebih memilihku.
Mendengarnya, aku terpaku. Tidak percaya. Aku tidak melanjutkan menyimak pesan suara setelahnya. Apakah Ibu selingkuh?
Lubangsa, 10 Ramadan 1444 H/01 April 2023.