Apapun alasannya, prasangka bahwa pesantren sebagai sarang teroris telah mengemuka dan menjadi perbincangan di halayak. Hal itu dikarenakan adanya kasus terorisme yang melibatkan jebolan atau lulusan dari sebuah pesantren. Meskipun, hal ini merupakan kasuistis, dan realitas pesantren adalah aspek lain yang tidak simetris, namun kewaspadaan terhadap isu-isu radikal di lingkungan pesantren harus tetap dijaga.
Wajah Pesantren di Balik Isu Terorisme adalah sebuah buku yang ditulis oleh Pusat Data dan Analisa Tempo, menggambarkan kondisi pesantren saat ini yang diliputi oleh isu-isu tak sedap. Beberapa pelaku teror yang ditasbihkan sebagai lulusan dari sebuah pesantren menjadi identitas tak terperi atas kasus-kasus kekerasan. Buku ini mencoba menelusuri realitas pesantren yang hakikatnya tidak ada kaitannya dengan tindakan terorisme.
Pada judul “Tenang”, buku ini mencoba mengawali dengan sebuah gerakan diam-diam. Sekian lama jauh dari sorotan, ketenangan pondok pesantren tiba-tiba terusik. Tak banyak orang yang kenal nama Tohir atau Masrizal, tapi pria yang ditangkap polisi adalah kartu kesekian dari mata rantai pelaku aksi terorisme. Tohir belakangan diketahui sebagai alumni Pondok Pesantren Ngruki, Jawa Tengah (hal. 12). Sebuah ketenangan yang dirasuki oleh kegemparan karena menyangkut masalah terorisme.
Pesantren telah melakukan dakwah dalam perjalanan yang cukup panjang. Di dalam rentetan perjalanan dakwah tersebut tidak sekalipun pesantren dikaitkan dengan tindak radikalisme dan kekerasan. Itu disebabkan karena Islam itu sendiri adalah kedamaian, agama damai. Maka kemudian Masdar F. Mas’udi, direktur Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat, mengatakan, “Pesantren tenang-tenang saja, dan kita tak perlu menjelas-jelaskan diri,” (hal. 13) demikian menurut Masdar dalam sebuah kesempatan.
Buku dengan tebal 92 halaman ini mencoba mendeskripsikan pesantren di antara isu terorisme dan radikalisme. Wajah pesantren pada hakikatnya memiliki ragam warna kekhasan. Tetapi, secara umum buku ini menegaskan bahwa pesantren mengajarkan konsep dasar kedamaian dan jauh dari etika kriminal. Jika kemudian muncul stereotip terorisme, redilakisme, dan ekstrimisme, hal itu dipicu oleh segelintir dari mereka yang berlaku kekerasan dan mengaku lulusan pesantren.