Pesantren dan Isu Terorisme

129 views

Apapun alasannya, prasangka bahwa pesantren sebagai sarang teroris telah mengemuka dan menjadi perbincangan di halayak. Hal itu dikarenakan adanya kasus terorisme yang melibatkan jebolan atau lulusan dari sebuah pesantren. Meskipun, hal ini merupakan kasuistis, dan realitas pesantren adalah aspek lain yang tidak simetris, namun kewaspadaan terhadap isu-isu radikal di lingkungan pesantren harus tetap dijaga.

Wajah Pesantren di Balik Isu Terorisme adalah sebuah buku yang ditulis oleh Pusat Data dan Analisa Tempo, menggambarkan kondisi pesantren saat ini yang diliputi oleh isu-isu tak sedap. Beberapa pelaku teror yang ditasbihkan sebagai lulusan dari sebuah pesantren menjadi identitas tak terperi atas kasus-kasus kekerasan. Buku ini mencoba menelusuri realitas pesantren yang hakikatnya tidak ada kaitannya dengan tindakan terorisme.

Advertisements

Pada judul “Tenang”, buku ini mencoba mengawali dengan sebuah gerakan diam-diam. Sekian lama jauh dari sorotan, ketenangan pondok pesantren tiba-tiba terusik. Tak banyak orang yang kenal nama Tohir atau Masrizal, tapi pria yang ditangkap polisi adalah kartu kesekian dari mata rantai pelaku aksi terorisme. Tohir belakangan diketahui sebagai alumni Pondok Pesantren Ngruki, Jawa Tengah (hal. 12). Sebuah ketenangan yang dirasuki oleh kegemparan karena menyangkut masalah terorisme.

Pesantren telah melakukan dakwah dalam perjalanan yang cukup panjang. Di dalam rentetan perjalanan dakwah tersebut tidak sekalipun pesantren dikaitkan dengan tindak radikalisme dan kekerasan. Itu disebabkan karena Islam itu sendiri adalah kedamaian, agama damai. Maka kemudian Masdar F. Mas’udi, direktur Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat, mengatakan, “Pesantren tenang-tenang saja, dan kita tak perlu menjelas-jelaskan diri,” (hal. 13) demikian menurut Masdar dalam sebuah kesempatan.

Buku dengan tebal 92 halaman ini mencoba mendeskripsikan pesantren di antara isu terorisme dan radikalisme. Wajah pesantren pada hakikatnya memiliki ragam warna kekhasan. Tetapi, secara umum buku ini menegaskan bahwa pesantren mengajarkan konsep dasar kedamaian dan jauh dari etika kriminal. Jika kemudian muncul stereotip terorisme, redilakisme, dan ekstrimisme, hal itu dipicu oleh segelintir dari mereka yang berlaku kekerasan dan mengaku lulusan pesantren.

Pondok Pesantren Al-Mukmin, Ngruki, menjadi salah satu pesantren yang kerap dicap sebagai “biang kerok” lahirnya teroris. Pesantren yang didirikan oleh Abu Bakar Ba’asyir bersama Abdullah Sungkar, tahun 1972 ini dianggap sebagai bagian dari aksi beberapa teror yang terjadi (hal. 51). Abu Bakar Ba’asyir dituduh terlibat dari beberapa serangkaian aksi kekerasan meskipun tidak dapat dibuktikan. Tentu saja hal itu melahirkan polemik dan seteru yang tak berujung dari pihak yang pro dan kontra.

Buku ini membeberkan fakta bahwa hakikat kurikulum pesantren adalah rahmatan lil’alamin. Tidak ada pesantren manapun yang mendorong santri untuk melakukan tindakan refresif, agresif, apalagi menjadi teroris. Jika kemudian muncul segelintir orang yang kebetulan jebolan dari sebuah pondok pesantren, hal itu tidak serta merta dijadikan dasar untuk mendeskriditkan pesantren sebagai tempat mencetak teroris. Adalah sangat personal ketika ada yang menerjemahkan suatu jihad dengan jalan melakukan teror. Dan hal tersebut tidak dibenarkan di dalam Islam. Karena Islam itu sendiri adalah agama damai, dibawa dengan dakwah yang penuh dengan etika sosial.

Buku ini sangat pantas dibaca dan dipahami oleh kita, khususnya santri dan para pemerhati pesantren. Ada banyak fakta dan realita yang mesti kita waspadai sehubungan dengan teror, teroris, dan realitas pesantren. Buku yang ditulis oleh tim analisa dari Tempo, sebuah platform pemberitaan yang sudah sangat kridibel, dibuktikan dengan berbagai pemberitaan krusial yang dapat dipertanggung-jawabkan.

Sebagai tim paparazzi, pewarta Tempo dengan pengalaman pemberitaan yang cukup panjang, eksplorasi ilmiah berita yang disuguhkan sangat kridibel. Tanggung jawab sumber informasi serta kevalidan nara sumber tidak dapat diragukan lagi.

Jadi, buku ini benar-benar menyajikan fakta dan realita, termasuk di dalamnya adalah analisis ilmiah terhadap eksistensi pesantren di tengah isu terorisme. Ada judul “Bantuan dari Mr. Bush” (hal. 61) dan statement dari Duta Besar AS, Ralph L. Boyce, (hal. 71) yang membuat kita bertanya-tanya. Ada apa? Penasaran kan? Mari kita baca!

“Pilih Pesantren Moderat atau Militan?” (hal. 51-61) adalah salah satu topik judul dalam buku ini yang sedikit provokatif. Karena ada kecenderungan bahwa pesantren di Indonesia ada dua “wajah”, moderat dan militan. Akan tetapi jika ditelusuri melalui rangkaian interpretasi di dalam naskah ini, tidak ada wajah pesantren yang militan. Karena setiap lembaga tertua di Indonesia ini mengajarkan konsep keislaman yang sesuai dengan Al-Quran dan Sunah. Jika kemudian muncul seseorang berasal dari suatu pondok pesantren dengan sikap dan jiwa militan, hal tersebut merupakan karakter pribadi yang tidak didapat dari kurikulum pesantren.

Pesantren dan isu terorisme mungkin tidak secepat waktu akan berakhir. Akan terus muncul kasus-kasus yang dapat melegitimasi eksistensi pesantren sebagai sarang teroris, pencetak generasi militan, dan melahirkan sosok-sosok radikal.

Seperti diungkapkan oleh Mukhlisin di duniasantri.co, bahwa ada ratusan pondok pesantren yang menurut BNPT terpapar atau terafiliasi dengan kelompok berpaham radikal, ekstremis, dan terorisme. Dalam catatan BNPT, ada 11 pondok pesantren terafiliasi Jamaah Anshorut Khilafah (JAK), 68 pondok pesantren terafiliasi jaringan kelompok terorisme Jamaah Islamiyah (JI) yang terkait dengan Al-Qaeda, dan 119 pondok pesantren terafiliasi Jamaah Ansharut Daulah (JAD) atau simpatisan ISIS.

Meskipun data di atas masih diperdebatkan, akan tetapi menjadi sinyal bagi kita, santri dan pemerhati pesantren untuk lebih mawas dan berhati-hati terhadap tindak radikal yang mengatasnamakan pesantren. Karena bukan tidak mungkin ada pihak-pihak tertentu yang ingin membenturkan pesantren dengan pemerintah atau bahkan masyarakat karena alasan tertentu.

Akhirnya, selamat membaca buku yang sangat inspiratif ini. Di dalamnya dibahas terkait dengan pesantren dan isu kekinian terkait dengan terorisme. Kita harus menyikapi dengan bijak agar ke depan pesantren tidak dijadikan alibi sebagai lembaga radikal. Jika pun benar-benar ada teroris yang alumni pesantren, namun hal itu bukan berarti pesantren melegalkan tindak kekerasan, karena dakwah Islam sudah jelas: bil hikmah, mau’idzah hasanah, dan mujadalah ahsan. Wallahu A’lam!

Data Buku:

Judul : Wajah Pesantren di Balik Isu Terorisme
Penulis : Pusat Data dan Analisa Tempo
Layout : Zulfikar E
Penerbit : Tempo Publishing
ISBN : —
Tahun Terbit : 2021

Multi-Page

Tinggalkan Balasan