Salah satu persoalan yang sulit dipecahkan dan dijelaskan hari ini adalah kesehatan mental. Sulit dipecahkan musabab maujud yang menjadi bahan bakar kesehatan mental tidak bisa diberantas. Sulit dijelaskan karena persoalan ini tidak nampak sebagaimana penyakiti lain, semisal luka bakar dan sejenisnya. Kalaupun dijelaskan, bukan tidak mungkin sebagian orang akan menganggap ini bukan penyakit.
Beruntungnya, pembahasan kesehatan mental hari ini sudah tidak asing lagi. Puluhan tahun lalu, kesehatan mental mungkin dicitrakan buruk sebagai orang gila. Hari ini pembahasan akan problem ini sedikit bergeser dan memantik fokus banyak orang. Tidak hanya dari kalangan yang terdidik dari hasil studi bertahun-tahun psikologi. Orang-orang yang bahkan tidak mempunyai kepakaran di situ turut serta membicarakan.
Belakangan sedang ramai berita kematian seorang dokter karena mengalami perundungan. Darinya saya menyimpulkan bahwa salah satu entitas determinan dalam persoalan ini adalah lingkungan. Mulai dari lingkungan masyarakat, sekolah, bahkan dalam keluarga sendiri sekalipun. Tidak hanya lingkungan yang nyata dan bisa diraba, lingkungan yang sering kita sebut sebagai maya (media sosial) juga turut menyumbang.
Di titik ini saya berkesimpulan bahwa kita sedang dihajar dari banyak arah. Tidak berlebihan manakala banyak orang yang merasa mentalnya terganggu hingga harus menjalani perawatan tertentu. Di saat begini, memori saya tertarik kembali menuju pesantren, di mana orang-orang berjarak dengan media sosial. Secara sederhana, saya sebut santri relatif lebih aman dari gangguan gawai dan media sosial yang kerap mengusik mental.
Ambiguitas Dunia Pesantren
Namun, terlalu berlebihan manakala mengatakan bahwa pesantren menjadi tempat paling aman. Secara kuantitatif tidak sedikit kejadian-kejadian di pesantren yang juga menghancurkan mental santri. Senioritas yang sudah langgeng selama puluhan tahun, misalnya, adalah realitas yang tidak bisa lupakan. Santri baru yang kerap mendapat intimidasi dari santri lama juga bukan kejadian langka di pesantren.
Kendati demikian, asa menjadikan pesantren sebagai solusi bagi kesehatan mental terbuka. Batas demarkasi antara pesantren dan media sosial serta gawai menjadi poin plus pada persoalan ini. Sadar atau tidak, gawai dan media sosial yang kita konsumsi menjadi salah satu penyokong terbesar problem kesehatan mental. Perasaan minder kerap kita alami ketika menggunakan media sosial serta banyak melihat pencapain orang.
Ini merupakan lanskap yang tidak akan pernah ditemukan di pesantren. Paling mentok hanya menemukan teman kelas yang kerap mendapat nilai bagus. Itu pun tidak setiap hari, maksimalnya setahun duakali. Artinya, dalam hal ini kans pesantren untuk menjaga mental para santri sedikit lebih lebar. Persoalannya hanya terletak bagaimana kultur dan lingkungan pesantren nantinya.
Di titik ini saya kira santri di pesantren menghadapi ambiguitas. Di satu sisi memang benar bahwa mereka tidak bermain media sosial secara rutin, namun kultur di dalam pesantren juga tidak seideal itu. Kendati begitu, di titik ini pula saya optimis dengan posisi pesantren, setidaknya mereka hanya perlu memperbaiki kulturnya.
Pesantren sebagai Solusi?
Bandingkan dengan dunia luar pesantren, kendati kulturnya sudah baik, namun mereka tidak terisolasi dari media sosial. Sehingga, probabilitas gangguan mental juga masih terbuka. Sederhananya, kalau di dunia luar kita harus memperbaiki dua entitas (maya dan nyata) di pesantren kita hanya satu (nyata) musabab memang tidak ada dunia maya. Inilah poin plus yang saya kemukakan di atas. Meskipun, saya tidak menolak bahwa susah untuk merubah kultur pesantren yang melekat puluhan tahun.
Namun, seminim-minimnya kementakan pesantren untuk mengupayakan kesehatan mental lebih besar. Apalagi, kita tahu bahwa teritori pesantren sangat terbatas dan sangat mungkin untuk dipantau. Ditambah adanya otoritas yang memang berwenang untuk mengatur jalannya pesantren secara kontinu. Ketakutan saya adalah pengurus atau bahkan kiai sendiri tidak punya kesadaran akan hal ini. Kalau sudah begini realitanya, baik dunia luar dan pesantren sama susahnya untuk mengatasi persoalan mental.
Sebagai konklusi, saya tidak bisa secara penuh mengatakan bahwa pesantren bisa mengatasi persoalan ini. Secara ideasional, mestinya pesantren mampu dengan cepat dan tangkas menghadapi persoalan mental (utamanya di kalangan santri).
Infrastruktur pesantren, seperti otoritas dan karisma kiai serta peraturannya mestinya lebih dari sekadar cukup untuk memuluskan misi. Pertanyaan terakhir saya adalah apakah pesantren sudah punya kesadaran akan hal ini? Wallahu A’lam.