Sembari membasuh wajah dengan khidmatnya, para santri yang sedang wudhu menuju musala untuk sembahyang berjamaah. Mereka juga melantunkan doa-doa agar dijauhkan dari wabah yang sampai detik ini masih menyelimuti kita. Baik di dunia nyata maupun dunia sosmed dan beranda-berandanya.
Siang itu, Pondok Pesantren Baitul Karim Gondanglegi, Malang, Jawa Timur sedang mengadakan munajat bersama. Tak hanya para santri dan alumni pesantren, acara ini juga diikuti oleh masyarakat sekitar. Doa bersama ini dipimpin langsung oleh Romo Kiai Haji Achmad Fachrurrazi Karim. Tujuannya jelas, ngalem dan minta tolong kepada Allah. Membangun hubungan horizontal dan vertikal.
Kondisi sosial hari ini memang tidak lepas dari ragam permasalahan yang hulunya adalah pandemic Covid-19. Di mana berbagai sektor penunjang kehidupan seakan-akan lumpuh geraknya.
Di sekitar Baitul Karim, misalnya, ada sebuah koperasi (KUD) yang benar-benar dikelola oleh masyarakat sebagai bentuk lumbung pangan. Namun, karena kondisi pandemi seperti saat ini, beberapa program dan prosesnya seperti melemah. Walaupun tidak benar-benar lumpuh.
Akhirnya, masyarakat berbondong-bondong untuk membuat gerakan “Uang Syukur”, yang mana dari kembalian hasil belanja atau beli rokok, lalu dititipkan di lumbung pangan tersebut. Pusat kontrolnya adalah pesantren. Mengapa? Karena setiap seminggu sekali di masa pandemi ini, berbondong-bondong masyarakat dan santri untuk berkumpul bersama dan membaca Burdah.
Tepat pada acara tersebut, mereka menyetorkan “Uang Syukur” kepada pengelola KUD. Hal ini cukup membawa dampak positif. Karena, akhirnya, masyarakat terbantu. Misalnya, bisa membeli beras dengan harga yang sangat murah. Pun, boleh utang tanpa ada tenggat pengembaliannya jika memang benar-benar tidak memiliki uang untuk membeli— bahkan dilebihi sedikit oleh pengelola.
Artinya apa? Peran pesantren ketika berbaur dengan masyarakat dampaknya sangat luar biasa. Di satu sisi pesantren sebagai penggerak, di sisi lain masyarakat pun pada hakikatnya adalah penggerak juga. Cuma objek sosial hari ini jelas, yaitu masyarakat. Sedangkan pesantren adalah mobilisatornya.
Siang itu, Kiai Fachrurrazi Karim berpesan kepada masyarakat, “Jangan takut-takut dengan wabah, tapi jangan terlalu berani juga. Belajar mengontrol diri, belajar usaha dan pasrah, lalu kita bareng-bareng berdoa kepada-Nya.”
Pesan itu diterima dengan khidmat, bahkan masyarakat yang erat dengan masalah uborampe atau semacam nasi kuning dengan berbagai lauk di tampah, ternyata tidak ditentang oleh Kiai. Justru, Kiai memberikan masukan, kalau bisa di hari ke-41 nanti buat tumpeng yang besar. Lalu membaca Fatihah untuk Syeikh Subakir yang disebutnya numbali tanah Nusantara.
Artinya, untuk mendekati masyarakat dan berbaur dengan masyarakat, sebagai warga pesantren seharusnya tidak menutup diri dengan tradisi yang ada di lingkungan masyarakat, selagi tidak menyalahi ibadah mahdloh.
Hal ini menjadi salah satu bentuk dakwah pesantren Baitul Karim, agar setiap elemen masyarakat, golongan apa pun, atau organisasi apa pun bisa masuk dan berbaur dengan satu tujuan, yaitu kemaslahatan umat.
Apakah tidak ditentang? Tentu banyak yang pro dan kontra. Begitulah kehidupan. Tetapi perlu kita anggap biasa-biasa saja. Karena puncaknya adalah keindahan dan cinta. Semakin didekati dengan cinta, maka langkah dan goalnya adalah keindahan.
“Gusti Allah itu suka keindahan. Jadi jangan dibuat kondisi hari ini menjadi suram oleh ragam berita dan ketakutan-ketakutan. Buatlah menjadi proses yang indah, karena semakin legawa dan pasrah kepada Tuhan yang dibarengi dengan usaha yang maksimal, maka cinta-Nya akan membuat keindahan dalam kehidupan kita,” demikian pesan Kiai Ahmad Fahrurrozi sebelum menutup doa bersama.
Dari sini saya melihat, bahwa pesantren adalah bagian dari kehidupan sosial, subjeknya adalah masyarakat, lembaganya adalah kehidupan, sehingga perlu kiranya antara pesantren dan masyarakat bersinergi dengan baik. Tidak mementingkan dan menonjolkan ego masing-masing.
Karena yang jelas adalah proses kemanusiaan. Wabah adalah proses untuk menyatukan kemanusiaan itu sendiri. Jadi jangan sampai menciderai kemanusiaan itu. Semoga wabah segera mereda dan kita selalu dalam lindungan Allah SWT.
Mantab, semoga bermanfaat untuk masyarakat.
Amin yarabbal alamin,
Pesantren dan masyarakat memang bagaikan dua sisi mata uang, saling memberikan ketergantungan (kemanfaatan) antara satu dengan lainnya. Jika terjadi kontra antara pesantren dengan masyarakat, bisa dipastikan eksistensi pesantren tersebut akan menuai problematika sosial.
Betul kang, karena melalui sejarah panjang perjuangan dan lahirnya peradaban di Nusantara ini tidak lepas dari kerjasama kyai-kyai Islam dengan masyarakat luas, artinya ada peran pesantren juga. Dan hal itu sampai hari ini masih bisa dilacak kesejarahannya, dari 1905.
Itu yang langsung bersinggungan dengan kepentingan orang banyak, sedang perjalanan pesantren dan masyarakat yang majemuk ini tentu sejak atau bahkan sebelum wali Sanga datang ke nusantara.
Masya Allah…Pesantren yg peduli terhadap masyarakat.
Kalau dalam istilah Jawa “Nunggak Semi” harapannya adalah tumbuh lagi semangat sosial yang diwariskan para wali di masa lalu, berbaur dengan masyarakat.