Pesantren dikenal dengan ragam istilah di berbagai wilayah di Nusantara. Rangkang adalah istilah pesantren di Aceh, Di Sumatera Barat dikenal dengan surau, di Padang Panjang dikenal dengan tawalib, dan di Jawa dikenal dengan pesastrian, pesatrian, pecantrikan, santren, pesantren, dan akhirnya dikenal dengan Pondok Pesantren.
Pesantren adalah lembaga pendidikan tradisional tertua yang ada di Nusantara. Sebagai lembaga pendidikan, menurut Dawam Raharjo, pesantren tidak hanya sebagai penyedia kebutuhan pendidikan, tetapi juga sebagai penyiaran agama Islam (M. Dawam Raharjo, 1985: VII). Sehingga, tidak hanya ruang keberagamaan yang menjadi ruang utama pesantren, pun demikian ruang gerak sosial juga menjadi fokus pendidikan pesantren.
Pada dasarnya pendidikan adalah proses pengawalan penumbuhkembangan potensi yang ada di dalam peserta didik. Menurut L Murbandono, pendidikan adalah tindakan kemasyarakatan yang hanya dimungkingkan dengan menembus jaringan hubungan-hubungan kemanusiaan (L Murbandono H.S. 2006: 2). Dengan kata lain, pendidikan memiliki muara hubungan kemanusiaan yang lekat.
Pesantren adalah lembaga pendidikan yang memiliki muara gerakan sosial di dalamnya. Dari konteks fikih bisa kita temui dalam aspek wakaf, waris, muamalat, dan hablun min an-nas lainnya. Artinya, aspek syariah juga memiliki keberpihakan terhadap keberagaman pola pikir, dalam hal ini ialah kemanusiaan.
Gus Dur pernah menyinggun bahwa yang terpenting adalah kemanusiaan. Hal ini diperkuat dengan asumsi bahwa, jika ada haq al adami yang belum terpenuhi, maka sampai di akhirat pun tetap menjadi sebuah tanggung jawab yang harus dipenuhi.
Hal ini menunjukkan bahwa pesantren adalah ruang pendidikan yang multidimensional. Ia menempatkan kemanusiaan di atas segala kepentingan. Sebagai lembaga yang memiliki makna keaslian keindonesiaan (indigenous), meminjam istilah Cak Nur, pendidikan pesantren adalah pendidikan yang tidak terjajah, memiliki kemerdekaannya sendiri, dengan tujuan untuk masa depan bangsa yang lebih berkepribadian (Nurkholis Majid, 1997: 2). Dengan demikian, pesantren memiliki kepekaan dan keberpihakan terhadap perkembangan kehidupan masyarakat.
Era modern menempatkan pesantren pada ruang kedua setelah lembaga pendidikan formal dengan segala keunggulan yang ditonjolkan. Tidak jarang pendidikan formal menempatkan diri pada ajang kompetitif administratif. Tentu tidak bisa disangkal, di samping mutu yang sudah ditentukan, juga peran tenaga administrasi dan tenaga pendidik saling bertaut-kaitan.
Pendidikan pesantren di era modern justu menemukan kembali fondasi awal berdirinya pesantren sebagai lembaga pendidikan yang menyiapkan sumber daya manusia yang peka dan memiliki keberpihakan. Peka terhadapan perkembangan dan keberpihakan terhadap siapa pun yang membutuhkan uluran tangan. Jiwa kepemimpinan dan relevansi atas perkembangan zaman tentu tidak meninggalkan kepesantrenannya. Walaupun demikian, bukan berarti citra pesantren dapat begitu saja ditampakkan.
Citra pesantren tidak bisa serta merta dapat dicomot begitu saja. Jiwa kepesantrenan adalah jiwa yang memiliki sikap keluhuran. Luhur dalam bersikap berarti berpihak terhadap yang lemah. Lemah dalam artian mereka yang membutuhkan dan berhak atas segala kepentingan; maqashid assyari’ah. Setiap manusia memiliki hak untuk berkeyakinan, berhak pula atas pendidikan, berkeluarga, bekerja, bernegara, dan sebagainya. Hal ini mencerminkan interpretasi atas wa I’tasimu bihablillahi jami’a.
Tidak sedikit lembaga pendidikan formal yang mencitrakan dirinya dengan nilai-nilai pesantren, di luar marketingnya. Hal ini juga menandakan bahwa pesantren masih berada di hati masyarakat luas. Kehidupan yang di dalamnya berkelindan ragam orientasi dan espektasi tentu akan menjumpai titik di mana ia membutuhkan pijakan yang kuat. Pengetahuan, dalam hal ini pendidikan, menjadi aspek penting untuk menumbuhsuburkan pengetahuan tersebut. Sedangkan, gerak sosial adalah gerakan yang tidak hanya meliputi ragam kepentingan manusia secara esensi, tetapi juga substansi.
Al insan ‘aduwun ma jahilahu, manusia menjadi musuh dari apa yang tidak diketahuinya. Artinya, pengetahuan menjadi sangat penting dalam kehidupan. Keluhuran menjadi penunjang atas pengetahuan yang diterapkan di dalam kehidupan. Sikap yang tampak adalah keberpihakan. Masyarakat adalah ruang gerak yang fluktuatif, juga beragam. Sehingga pesantren menjadi pendekatan yang efektif atas penyebaran pengetahuan agar menjadi pijakan bagi peserta didik untuk menapaki kehidupannya.
Pesantren mengajarkan dan melatih para santri begitu rupa agar muncul sikap fundamental di dalam dirinya. Tujuan utamanya adalah memberikan kesadaran atas fondasi yang harus dimiliki oleh setiap manusia; baik berketuhanan, bernegara, maupun berkemanusiaan. Dengan begitu, pesantren dapat menempati ruang-ruang sosial dengan segala perubahan dan perkembangannya.
Oleh sebab itu, pesantren dan gerakan sosial adalah wadah yang saling mengisi satu dengan yang lainnya. Hal ini tergambar dari bagaimana pesantren memposisikan diri pada ruang pendidikan tradisional yang menjaga kultur budaya bangsa; menjaga keutuhan bangsa, menghargai ragam budaya dan perbedaan, dan berpihak pada yang lemah dan tertindas.