Pesantren, Sastra, dan Kurikulum

330 kali dibaca

Akhir-akhir ini viral di berbagai media pemberitaan terkait dengan sastra masuk kurikulum. Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) meluncurkan “Sastra Masuk Kurikulum”, (20/5/2024). Sastra menjadi poin penting dalam membangun karakter bangsa. Karena dengan sastra, seseorang dapat mengembangkan karakter (etika?) individu dalam kehidupan bermasyarakat. Berbangsa dan bernegara. Berkeadaban dalam keabadian.

Pesantren yang merupakan metode pendidikan tertua di Indonesia tidak dapat terlepas dari sastra. Di dalam kurikulum pesantren, secara eksplisit (realitas keseharian), sastra menjadi bagian yang tidak terabaikan. Menjadi kesatuan lelaku, melebur dalam kebiasaan dan keseharian yang selalu berkelindan. Maka pesantren sedari awal telah berkecimpung dengan dunia sastra.

Advertisements

Kurikulum adalah perangkat mata pelajaran dan program pendidikan yang diberikan oleh suatu lembaga penyelenggara pendidikan yang berisi rancangan pelajaran yang akan diberikan kepada peserta didik dalam satu periode jenjang pendidikan. Kurikulum Pesantren adalah acuan program pendidikan yang dirancang untuk mencapai tujuan tertentu. Karena pesantren merupakan lembaga keagamaan (baca: Islam), maka acuan kurikulum yang dirancang harus berasaskan keislaman.

Sastra Masuk Kurikulum

Sebagaimana disinggung di atas, bahwa Kemendikbudristek akan memasukkan sastra ke dalam kurikulum. Program ini merupakan turunan dari Kurikulum Merdeka. Dalam perjalanannya, sastra merupakan bagian vital dalam membangun karakter peserta didik. Karena di dalam sastra terdapat fiksi ilmiah untuk membangun peradaban kehidupan masyarakat. Dialektika realistis sastra terus harus digalakkan demi kemajuan bangsa dan negara.

Menurut rencana, sastra akan diaplikasikan pada lembaga pendidikan yang sudah menerapkan Kurikulum Merdeka. Pada tahun ajaran yang akan datang, program ini akan menjadi bagian kebaruan dalam aktivitas nilai-nilai kurikulum. Akankah program ini menjadi prioritas dan berdampak positif?

Kita harus mengapresiasi program ini. Karena rencana kesastraan merupakan terobosan yang akan menjadi solusi. Harapannya, bahwa program sastra masuk kurikulum menjadi salah satu cara dalam membangun karakter bangsa. Kecenderungan reaktif (positif) terhadap sebuah program merupakan langkah awal yang cukup memberikan inspirasi.

Ada banyak karya sastra yang lahir dari pergumulan kreatif maestro sastra. Sastrawan-sastrawan ini melahirkan sebuah karya sastra, mulai dari puisi, cerpen, hingga novel. Sebut saja Hamka, HB Jassin, Pramudya Ananta Toer, Ahmad Thohari, Ashadi Siregar, Chairil Anwar, Seno Gumera Ajidarma, Iwan Simatupang, dan sebagainya. Iwan Maddasari, sastrawan yang juga menjadi tim kurator sastra masuk kurikulum mengatakan bahwa sastra yang direncanakan sesuai dengan tingkatannya.

Karya sastra mengenalkan entitas keadaban bagi peserta didik. Nilai-nilai sastra digali melalui khazanah kekayaan bangsa yang bagi peserta didik merupakan jalan menuju keabadian. Pesona sastra memantik karakter keadaban bagi pembacanya. Pesona yang tak hanya melulu kesan estetis dari sebuah teks sastra, melainkan juga memuat dimensi ontologis ihwal narasi hakikat hidup anak manusia.

Dalam konteks itulah, maka karya sastra mengenalkan hakikat kehidupan di alam realitas. Teks ini didasarkan pada nilai literal dengan muatan-muatan ragam dimensi hidup. Maka resivitas karya sastra dalam kurikulum merupakan sesuatu yang semestinya. Menautkan teks sastra dalam nilai-nilai tujuan sebuah lembaga pendidikan. Puncaknya adalah anak bangsa (peserta didik) diajak untuk menggali dimensi positif dari sebuah nilai-nilai karya sastra.

Realitas hidup penuh dengan beragam diminsi: nestapa, komedi, paradoks, hingga suasana kegembiraan dalam hidup dan kehidupan. Konstruksi sosial kehidupan, semestinya, tidak lepas dari sastra. Karena sastra itu sendiri merupakan pengejawantahan dari ideologi keindahan dan kebaikan. Maka, diharapkan, Sastra Masuk Kurikulum menjadi jawaban atas paradoksial kehidupan yang melanda anak-anak bangsa.

Sastra masuk kurikulum adalah salah satu terobosan pemerintah agar terjadi proses logika yang berkeadilan. Meskipun sejak awal sastra sudah sering kita dengar di Kegiatan Belajar Mengajar (KBM, terutama dalam pelajaran Bahasa Indonesia), namun hal ini masih berupa parsial. Sementara saat ini menjadi bagian yang tersublimasi dalam karangka kurikulum. Semoga program ini mampu menjawab tantangan zaman.

Sastra dan Pesantren

Di dalam lembaga pesantren sastra menjadi bagian yang tidak terpisahkan. Tidak sedikit alumni pesantren yang kemudian menjadi pelaku sastra. Sebut saja KH Mustofa Bisri, atau yang akrab disapa Gus Mus. Dalam suatu kesempatan pada acara Pidato Kebudayaan pada Muktamar Sastra di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Situbondo, (18/12/2018), Gus Mus mengatakan, “Sastra itu makanan orang pesantren. Itu yang membedakan orang pesantren dan bukan,” demikian ujar Gus Mus di antara pidato yang disampaikan.

KH Hasyim Asy’ari, pendiri NU, juga merupakan sastrawan yang lahir dari pesantren. KH Abdul Hamid Pasuruan, KH D Zawawi Imron, Emha Ainun Nadjib, Ahmad Tohari, Abdul Hadi WM, dan Acep Zamzam Noor. Dan masih banyak lagi dari ulama salaf yang berkecimpung di dalam dunia sastra. Hal ini menasbihkan bahwa sastra merupakan entitas keadaban yang tidak lepas dari peradaban kepesantrenan.

Kurikulum Pesantren dibangun di atas kontruksi kesastraan. Jika sastra dimaknai sebagai keindahan, maka setiap nilai-nilai kepesantrenan adalah sastra. Maka sejak awal sastra telah berkelindan dan menjadi bagian mendasar dalam tahapan edukasi kepesantrenan. Tidak dapat dipungkiri, dan tak mudah diabaikan, bahwa sastra pesantren merupakan ekspresi pondok yang berkeabadian.

Al-Quran sebagai dasar Islam yang tidak lepas dari akademik pesantren, lahir untuk menjawab tantangan sastra. Di zaman praislam, sastra merupakan bagian dari keseharian orang-orang Arab. Maka jika kemudian turun ayat-ayat Al-Quran, hal itu merupakan jawaban atas paradoksial sastra di masa lalu. Dan puncaknya, tidak ada teks sastra yang mampu menandingi entitas literasi Al-Quran.

“Jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang apa (Al-Qur’an) yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Nabi Muhammad), buatlah satu surah yang semisal dengannya dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.” (QS. Al-Baqarah: 23)

Menyambut Pendidikan Sastra

Mungkin, tidak semua individu setuju dengan program Sastra Masuk Kurikulum. Dengan berbagai alasan. Dengan ragam pemahaman. Dengan dasar-dasar pemahaman yang tidak seragam. Tetapi, melihat nilai-nilai sastra yang berkeadaban, bukan tidak mungkin program ini berdampak positif bagi peserta didik.

Dasar pokok sastra yang merupakan sublim dari nilai-nilai peradaban, menjadi alasan kuat untuk menjemput program ini menjadi bagian dari kurikulum. Apresiasi yang paling tinggi harus kita lakukan dengan semangat membangun nilai-nilai luhur peradaban. Karena hakikat ikhtiar adalah validitas norma logika untuk melahirkan dekonstruksi karakter anak bangsa. Sehingga, harapannya dengan program ini kita bersemangat untuk inovasi peradaban.

Menyambut sastra dalam kurikulum menjadi paradigma merekonstruksi karakter peserta didik. Karena dengan nilai-nilai sastra yang telah dibangun oleh maestro sastra (sastrawan), melahirkan folosofi kehidupan yang kausalitas. Sebuah dialektika sebab akitab, dari nilai sastra menjadi karakter (baca: etika) bangsa yang berkeadilan.

Program Sastra Masuk Kurikulum merupakan bagian dari ikhtiar. Tidak ada yang bisa menjamin sebuah kesuksesan, karena sesuatu di masa depan adalah sebuah harapan. Kepastian masa depan hanya milik Allah SWT, sebagai zat yang mengetahui hal-hal yang telah lalu dan hal-hal di masa yang akan datang. Wallahu A’lam! 

Multi-Page

Tinggalkan Balasan