Di Indonesia terdapat dikhotomi antara pendidikan pesantren dan pendidikan umum. Pesantren yang dimaksud di sini adalah lembaga tertua tempat menimba ilmu agama Islam yang di dalamnya terdapat unsur kiai, santri, dan kitab kuning.
Saya tidak akan berpanjang lebar karena akan jadi membosankan. Pembaca di sini tentu sudah sangat paham. Sementara, pendidikan umum adalah sekolah-sekolah resmi yang selama ini kita kenal mulai dari jenjang dasar, menengah, sampai tinggi.
Kedua sistem pendidikan ini berjalan sendiri-sendiri. Jika pesantren dikenal sebagai tempat belajar agama yang bertujuan mencetak ulama-ulama Islam yang mumpuni, maka pendidikan umum merupakan tempat belajar ilmu-ilmu umum sekuler (sebetulnya ada juga pelajaran agama Islam, tapi tidak terintegrasi) yang tujuannya untuk mencetak insan-insan terpelajar dalam bidang-bidang keduniaan. Dikhotominya terletak dalam dua hal: yang satu mengurusi akhirat; yang satunya lagi mengurusi dunia.
Tentu ini dapat diperdebatkan, tetapi rasanya semua setuju bahwa di masyarakat kita berkembang pandangan, jika ingin menjadi ulama yang dapat membimbing masyarakat ke surga, belajarnya ya di pesantren. Sementara, jika ingin bekerja dan meningkatkan karier, belajarnya harus di sekolah umum. Saya sendiri tidak setuju dengan dikhotomi macam ini, tetapi karena ini hanya pengantar, mari kita cukupkan saja sampai di sini. Kita sepakati saja bahwa ada dikhotomi di antara kedua lembaga tersebut.
Santri “Dua Kaki”
Saya di sini akan berbagi pengalaman kebahasaan yang saya alami dan amati sebagai yang pernah mondok di pesantren sejak SMP sampai SMA di satu pesantren yang sama, yaitu Pesantren Darul Ulum Petirhilir, Baregbeg, Ciamis, atau sering disebut “Pesantren Petir” saja. Kebetulan pesantren tempat saya mondok tersebut adalah murni tradisional, sehingga hanya mempelajari kitab kuning. Di sisi lain, saya juga menempuh pendidikan di sekolah umum yang berada di luar pesantren. Istilahnya belajar “dua kaki”. Satu kaki berpijak di pesantren, satu lagi di sekolah umum. Keduanya benar-benar terpisah dan tidak ada hubungan.
Di pondok, santri yang sekolah seperti saya dijuluki sebagai “OSIS”. Tentu pembaca sudah paham alasannya. Benar, itu karena kami sebagaimana anak sekolahan lainnya, memakai seragam yang di sakunya ada tulisan “OSIS”. Padahal apa hubungannya? Tidak semua anak sekolahan ikut organisasi OSIS. Jadi apa alasan logo OSIS nempel di semua seragam anak sekolahan? Ini merupakan misteri yang tidak perlu dipecahkan di sini karena tidak penting sama sekali.
“Santri OSIS” seperti kami dibedakan dengan santri takhashshush atau yang murni mondok saja. Perbedaannya adalah santri takhashshush belajar siang-malam, sedangkan kami hanya belajar malam hari, mulai bakda maghrib sampai setelah salat subuh. Kami yang “santri OSIS” memang dimaklumi jika siang tidak dapat mengaji karena harus sekolah. Tetapi sebagai pengganti, kami biasanya mengikuti sorogan-sorogan kitab dengan santri yang lebih senior.
Sebagai “santri OSIS”, saya beruntung dapat merasakan dua dunia yang berbeda baik secara kurikulum maupun budaya yang mencakup juga bahasa di dalamnya. Ada perbedaan dalam budaya berbahasa di pesantren dan sekolah umum. Di dunia pesantren Sunda, bahasa pengantar yang digunakan adalah bahasa Sunda. Sementara itu di sekolah umum bahasa pengantar yang digunakan adalah bahasa Indonesia. Meski begitu, bahasa Sunda tetap digunakan sebagai bahasa pergaulan di luar pelajaran.
Saya menyaksikan bahwa bahasa Sunda yang digunakan di pesantren adalah beragam mulai dari bahasa Sunda tingkatan kasar, loma (bahasa pergaulan biasa), maupun bahasa halus (bahasa tingkat tinggi). Bahasa kasar digunakan antara sesama santri yang sudah sangat akrab. Kemudian bahasa loma digunakan antarsantri secara umum. Sementara itu, bahasa halus digunakan untuk berkomunikasi dengan ajengan (kiai) dan dewan pengajar beserta keluarga mereka, serta dengan santri senior. Bahasa Sunda halus juga digunakan dalam forum resmi santri dan pesantren seperti dalam musyawarah, pidato, dan acara-acara peringatan.
Sementara di sekolah umum, saya hanya dapat menceritakan bahasa Sunda dalam lingkup pergaulan di luar pelajaran dan di luar acara-acara resmi sekolah. Bahasa Sunda yang digunakan di sekolah umum juga beragam mulai dari bahasa kasar, loma, sampai halus. Mirip seperti di pesantren, bahasa kasar digunakan untuk mereka yang sudah sangat dekat. Sementara bahasa loma digunakan untuk pergaulan antarsiswa secara umum. Demikian juga dengan bahasa halus, digunakan untuk berbicara dengan senior maupun dengan guru-guru.
Sekilas tidak ada yang berbeda kecuali penggunaannya di pesantren yang lebih luas dibandingkan dengan di sekolah umum. Kedua lembaga sama-sama menggunakan ketiga tingkatan bahasa Sunda. Sebetulnya, di pesantren bahasa Sunda lebih berkembang dan juga sangat bervariasi. Bahasa Sunda di pesantren lebih kaya dari sisi kosa kata. Selain itu bahasa Sunda tingkat tinggi di pesantren dapat dikatakan sebagai bahasa Sunda “sangat” halus.
Sementara itu, di sekolah umum saya membedakan ketika saya di MTs dan SMA. Ketika MTS, sekolah saya terletak di desa sehingga siswa-siswanya pun rata-rata dari desa juga. Sementara sewaktu SMA, sekolah saya berada di kota dan lingkupnya kabupaten sehingga siswanya pun lebih heterogen. Ada yang dari desa, ada juga yang dari kota.
Di MTs dan SMA penggunaan bahasa Sunda juga mengikuti tingkatan bahasa. Hanya, di SMA saya melihat fenomena bahasa “ganjil” dari beberapa orang yang mencampuradukkan bahasa Sunda dengan bahasa Indonesia. Mereka kesulitan untuk berekspresi penuh dalam bahasa Sunda. Sebetulnya di setiap sekolah di Jawa Barat ada pelajaran bahasa Sunda, tetapi dari pengamatan saya, banyak yang mengalami kesulitan dalam pelajaran tersebut, terutama kalau sudah membahas penggunaan tingkatan bahasa.
Pesantren Memperkaya Bahasa
Ini berbeda dengan pesantren yang sudah terbiasa dengan tingkatan bahasa karena mereka menerapkannya secara ketat, terutama jika berhadapan dengan ajengan (kiai) dan dewan guru. Ini merupakan implementasi dari konsep penghormatan kepada ahli ilmu yang diajarkan di kitab kuning. Ajengan merupakan tokoh yang sangat dihormati lebih dari pada sosok guru di sekolah. Sosok ajengan ini juga dihormati oleh masyarakat sekitar bahkan sampai ke luar batas wilayahnya. Ajengan merupakan tokoh kharismatik. Ini jelas berbeda dengan guru-guru yang cakupannya lebih terbatas di sekolah tempat ia mengajar dan paling luas mencakup juga lingkungan tempat tinggalnya.
Kemudian, pesantren didatangi oleh santri-santri dari berbagai daerah sehingga terjadi proses pertukaran kosa kata bahasa Sunda dari berbagai wewengkon atau dialek. Ini memperkaya bahasa Sunda di pesantren. Selain itu mereka yang nyantri di pesantren banyak pula yang telah nyantri di pesantren lainnya karena pesantren adalah lembaga yang kajiannya berdasarkan kekhususan dalam bidang ilmu tertentu. Dengan demikian, banyak santri yang sebelumnya mondok di pesantren pikih atau pesantren alat (mempelajari ilmu bahasa Arab) misalnya, mereka datang ke pesantren tempat saya mondok untuk mengkaji ilmu ushul fiqh. Dengan demikian, santri-santri juga membawa budaya bahasa dari pesantren sebelumnya. Hal ini membuat bahasa Sunda yang dipraktikkan di pesantren lebih kaya dan beragam.
Selanjutnya bahasa Sunda juga dijadikan sebagai bahasa pengantar dalam proses belajar-mengajar di pesantren, serta bahasa standar dalam acara-acara resmi sehingga bahasa Sunda berkembang lebih luas mencakup ragam komunikasi dengan khalayak ramai (public speaking), terutama dalam berpidato. Dari aspek bahasa, santri jelas memiliki keterampilan bahasa Sunda yang di atas rata-rata, sehingga ketika kembali ke masyarakatnya masing-masing, mereka memiliki citra yang baik di masyarakat sebagai orang yang memiliki penguasaan bahasa Sunda yang bagus.
Tentu perlu diingat bahwa bahasa Sunda yang dibicarakan di sini adalah yang berlaku di daerah Priangan. Bahasa Sunda di wilayah ini tidak terlepas dari pengaruh Mataram sehingga awal-awalnya banyak dipraktikkan secara ketat oleh keluarga menak (Ningrat, dalam bahasa Jawa). Menak merupakan kaum bangsawan yang sangat dekat dengan Mataram dan kemudian dengan Belanda. Mereka adalah orang-orang yang mendapatkan kesempatan luas untuk mengecap bangku sekolah di masa kolonial. Tetapi kaum Menak ini di masa sekarang tidak terlihat lagi pengaruhnya.
Akhirnya, kembali lagi ke latar belakang budaya masyarakat setempat. Di Sunda sendiri ada perbedaan antara masyarakat Priangan yang mengenal hierarki kebahasaan dengan masyarakat Banten yang tidak mengenalnya. Bahasa Sunda Banten sering dicap sebagai bahasa Sunda kasar, sehingga banyak dari orang Sunda Banten yang merasa minder jika bertemu dengan orang Priangan.
Sebetulnya tidak perlu ada stigma seperti itu. Orang Banten juga perlu bangga dengan bahasanya. Bolehlah di sini saya meminjam ungkapan senior saya bahwa “Bahasa Sunda Priangan merupakan bahasa Sunda yang reformatif, sedangkan bahasa sunda Banten merupakan bahasa Sunda yang original”. Dalam penghormatan dengan kiai, masyarakat Banten tentu memiliki kekhasan sendiri.
Kesimpulannya, pesantren memiliki peranan yang besar dalam melestarikan dan mengembangkan bahasa Sunda. Tradisi penghormatan kepada ajengan atau kiai menjadi alasan yang menjaga bahasa Sunda tetap utuh. Selain itu, pesantren yang didatangi oleh santri dari berbagai daerah dan latar belakang juga menjadi tempat untuk pertukaran bahasa sehingga semakin memperkaya bahasa Sunda. Hal lainnya yang mendorong berkembangnya bahasa Sunda di pesantren adalah digunakannya bahasa Sunda sebagai bahasa resmi baik dalam pembelajaran maupun dalam acara-acara resmi.
Terakhir, tulisan ini bukan bermaksud hendak memunculkan sentimen kedaerahan, tetapi ingin menyadarkan bahwa heterogenitas bahasa daerah adalah salah satu yang membentuk keindonesiaan. Jika ingin memperkuat bangsa, maka penting juga untuk meneguhkan bahasa daerah. Meskipun, kita menggunakan bahasa daerah masing-masing, tetapi kita masih menjunjung satu bahasa nasional, Bahasa Indonesia.
Wallahu a’lam
Depok, 29 Juni 2020 M/8 Dzul Qo`idah 1441 H.