Kepulan asap menyela di antara lubang-lubang ventilasi pawon (dapur umum) siang itu. Kepulannya membuat perih mata dan sesak di dada. Aroma bumbu seperti saling bertabrakan, saling sikut di antara rongga hidung. Nada-nada erotisme bertalu tak henti-hentinya dari dalam perut yang tengah keroncongan sambil sesekali berseru sambil terus terlarut dalam suasana memasak.
Dua orang santri yang tengah hanyut dalam aktivitas perdapuran itu tak henti-hentinya membolak-balik tempe dan lele yang sedang digoreng. Seorang di antaranya yang bernama Fatih sesekali menarik napas panjang, dan kembali menundukkan kepala sambil meniupkan udara pada lubang kecil di sudut tungku. Tungku yang terbuat dari bata itu untuk sekadar membesarkan api yang kian mengecil.
Di sela-sela tugas piket memasak itu, mereka dengan ciamiknya sesekali dengan sigap mengecap-ngecap, bahkan memakan sedikit demi sedikit lauk yang seharusnya akan dimakan mayoran bersama santri-santri yang lainnya. Dengan terkekeh dalam gelak tawa yang sok polos, mereka saling tuduh dan saling ancam untuk saling tutup mulut atas perbuatan itu. Ini merupakan trik licik mencuil lauk yang sering dilakukan oleh siapa saja yang sedang kebagian masak saat mondok di pesantren.
Salah seorang santri senior kemudian datang dengan membawa nampan yang nantinya akan digunakan untuk mayoran alias pesta makan siang. Dengan mimik wajah agak berwibawa, santri senior itu menyuruh dua orang santri tadi, Fatih dan Adi, untuk segera mendinginkan nasi dari panci yang masih mengepul ke dalam nampan dengan nada tinggi.
“Cepat, dinginkan nasinya, terus bawa ke dalam sama lauknya. Sudah ditunggu sama yang lain di kamar,” katanya dengan lagak bak sebagai senior sambil menaruh meninggalkan mereka berdua.
“Siap, kang, habis ini kita bawa ke kamar,” jawab santri yang bernama Adi, yang dengan sigap dan cekatan langsung menuangkan nasi yang masih mengepul karena panas dari dalam panci.
“Itu tempe, lele goreng, sama sambalnya ditaruh di tengah nasinya Fat,” kata Adi yang sedang mengipas-ngipas nasi yang masih mengepul dengan tutup panic, yang langsung diiyakan oleh Fatih.
Setelah semua sudah lengkap tersaji di dalam nampan, mereka langsung mematikan api di tungku kayu tadi dengan segebyoran air lalu bergegas menuju ke kamar.
Dengan secepat mungkin kaki mereka melangkah menuju kekamar sambil tertatih-tatih, bukan karena terburu-buru, melainkan karena beban nampan yang ukurannya lumayan besar dengan full kapasitas. Itu membuat tubuh kurus mereka terseok-seok.
Di dalam kamar rupanya kawan-kawan mereka sudah menanti dengan wajah gelisah karena sudah lapar. Dengan belagak agak membentak, salah seorang dari mereka berkata, “Lama banget sih masaknya. Sudah ditunggu dari tadi kok, huuuh!”
“Maaf, kang, tadi masih ngipasi nasi dulu, soalnya masih panas banget,” kata Adi sambil meletakkan nampan di tengah ruang kamar itu.
Salah seorang dari mereka kemudian mengomando dengan lantang untuk segera membentuk formsi mengelilingi nampan tadi. Agar semua mendapat tempat untuk makan, mereka memiringkan badan dengan satu kaki di depan dan kaki satunya dijadikan alas kebelakang, seperti sedang duduk tahiyat. Tanpa basa-basi dan banyak bicara karena sudah lapar, mereka mulai melahap hidangan ala kadarnya siang itu dengan bringas dan membabi buta, dan nyaris tak ada jeda untuk sekadar mengunyah makanan tadi.
“Uuuh, lelenya asin banget ini bro, kebanyakan ngasih garam kamu itu,” salah satu dari mereka memprotes.
“Banyak omong, tinggal makan aja pakai protes segala kau,” saut salah seorang santri senior.
“Iya, kang, memang sengaja saya kasih garam agak banyak biar lelenya dimakan sedikit-dikit he-he-he,” saut Adi memberi klarifikasi sambil terkekeh, dan kemudian direspons oleh Kang Abit dengan menepuk punggung Adi. Seketika suasana mencair dengan tawa terbahak-bahak.
Setelah merasa kenyang, satu per satu para santri undur diri dari formasi tadi, hingga tersisa lima orang. Saat itu, nasinya yang bisa dibilang masih cukup banyak, sedangkan lauknya yang hanya tersisa tiga potong tempe dan kepala lele goreng tadi.
Mau tak mau, karena di pondok mereka dididik untuk selalu menghabiskan makanan sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah, mereka tetap dengan lahap menghabiskannya dengan agak menggerutu.
“Asem, yang lain makan lebih banyak lauknya daripada nasinya, hiiih,” ujar Kang Raihan geram.
“Sudah, kang, sudah, memang begitu anak-anak ngakalinnya. Kalau sampan ngga kuat ngabisin tak usah diterusin kang,” ujar Fatih mencoba menenangkan.
Tak ada pilihan lagi, karena sama-sama sudah kenyang dan sesuatu yang berlebihan itu tidak diperbolehkan oleh ajaran Islam, akhirnya mereka berinisiatif untuk membungkus makanan tersisa, untuk dimakan sore nanti.
Tak kehabisan akal, Adi akhirnya mencari kantung plastik bekas di kamar untuk membungkus sisa makan siang itu. “Namanya juga santri, harus menerima apa adanya di pondok. Kalau urusan makanan, selagi bisa dibungkus ya dibungkus saja buat nanti daripada dibuang,” ujar Adi sedikit bijak.
Fatih hanya mengangguk-ngangguk mengiyakan kata-kata Adi sambil memasukkan nasi ke dalam kantung plastik.
Kang Raihan pun menasihati mereka agar lain kali, jika sedang kebagian piket masak, agar tidak memasak nasi terlalu banyak. Selain untuk menghemat beras, juga meminimalkan kemubadziran jika seumpama nasi tidak habis.
Tak lama kemudian azan ashar berkumandang dari corong masjid, dan para santri bergegas menuju masjid untuk salat ashar berjamaah. Kemudian, mereka mengikuti kegiatan rutin pengajian kitab kuning oleh pak kiai.