Suara pecahan piring itu membuyarkan lamunanku. Aku segera ke dapur menuju sumber suara itu. Ternyata ibu sedang mencuci setumpuk piring setelah ada banyak pembeli di warung kami. Aku segera membantu ibu membereskan semua pekerjaan yang ada di dapur. Maklum, hanya aku, adik perempuanku, dan ibu saja yang ada di rumah ini.
Ayahku sudah lima tahun lalu meninggalkan kami. Lebih tepatnya ayah wafat setelah menderita serangan jantung yang tanpa kami tahu sebelumnya. Ayah yang selalu terlihat sehat-sehat saja kala itu tiba-tiba merasa dadanya sakit sehingga meminta diantarkan ke rumah sakit. Setelah itu, tak ada cerita lagi tentang ayah. Ayah meninggalkan kami begitu cepat sehingga memaksa ibu menjadi orangtua tunggal bagi aku dan seorang adik perempuanku.
Sepeninggal ayah, ibu menjadi satu-satunya tulang punggung bagi keluarga kami. Untungnya, ibu adalah seseorang yang berjiwa tangguh. Ibu kami adalah seorang wanita yang luar biasa. Ibu bekerja keras demi kami, anak-anaknya, supaya bisa memperoleh pendidikan yang lebih baik. Ibu membuka warung makan di depan rumah kami. Memang tak seberapa besar warung milik ibuku, tetapi pembelinya lumayan banyak. Harus aku akui, masakan ibuku memang luar biasa enak. Tak heran banyak pelanggan dari berbagai kalangan yang silih berganti mampir ke warung kami. Mulai dari para karyawan pabrik yang tak jauh dari rumah kami sampai anak-anak kos yang ada di sekitar rumah kami.
Sedangkan aku, aku adalah anak pertama dari dua bersaudara. Saat ini aku masih berkuliah di salah satu universitas negeri di kotaku. Dan alhamdulillah sejak memasuki bangku kuliah sampai semester empat ini, aku mendapatkan beasiswa. Jadi tak terlalu berat juga beban ibuku untuk menyekolahkan aku. Meskipun begitu, di sela-sela waktu kuliah aku tetap membantu ibuku untuk melayani para pembeli di warung makan kami. Jika adikku sedang tak sibuk, adikku ini juga membantu ibuku di warung. Adik perempuanku ini masih bersekolah di salah satu madrasah negeri di kota kami. Sejak ditinggal ayah, rasa kebersamaan kami memang erat.
“Assalamualaikum…” tiba-tiba ada suara di luar sana, di ruang tamu.
“Waalaikumsalam,” jawabku.
Ternyata Pakde Karso yang datang. Pakde Karso adalah kakak dari almarhum ayah. Beliau juga sering membantu kami karena rumahnya juga tak jauh dari rumah kami. Anak-anak Pakde Karso juga sesesakali bertandang ke rumah kami. Kami pun juga terkadang sering pergi bermain dengan mereka. Di desa memang rasa kekerabatan antarkeluarga masih sangat terasa. Ketika ayah wafat pun, saudara-saudara ayah juga langsung berdatangan ke rumah kami. Tak terkecuali Pakde Karso. Membantu segala macam kebutuhan waktu ayah kami wafat.
“Ini ada sedikit rezeki,” kata Pakde sambil menyerahkan dua kotak nasi.
“Wah, dalam rangka apa ini Pakde,” kataku.
“Dalam rangka syukurannya Dani karena diterima bekerja di BUMN,” kata Pakde.
“Alhamdulillah, akhirnya Dani sudah bekerja,” sahut ibuku.
Dan begitulah hubungan antara kami dengan saudara-saudara ayah yang lain. Kami merasa tidak sendirian karena selama ini banyak orang-orang di sekeliling kami yang selalu membantu kami.
“Oiya, saya dengar sawahmu terkena pembebasan lahan ya,” kata ibuku kepada Pakde.
“Iya, dan banyak sawah-sawah yang lain yang juga terkena imbasnya,” jelas Pakde.
Di daerah kami memang sedang santer diberitakan bahwa akan ada proyek pembangunan jalan tol sehingga banyak sawah warga yang terkena pembebasan lahan. Memang hal itu akan berdampak negatif sekaligus berdampak positif bagi warga sekitar sini. Dampak negatifnya, mereka akan kehilangan sebagian mata pencaharian karena sebagian besar warga sekitar sini bekerja di sawah. Dampak positifnya, sawah tersebut dibeli dengan harga yang tinggi, bisa-bisa dua kali lipat atau bahkan tiga kali lipat dari harga pada umumnya sehingga bisa untung banyak.
Tetapi kalau bagi Pakde Karso tentu hal ini bukan menjadi masalah. Beliau sendiri sudah bekerja sebagai PNS di kota ini. Selain itu, sawah beliau juga banyak. Dengan dibelinya sawah beliau itu, apalagi dengan harga berlipat-lipat akan semakin menambah daftar investasi kekayaan Pakde Karso.
“Ya sudah, saya pamit pulang dulu,” kata Pakde Karso.
“Iya, iya,” jawab ibu.
Kami pun segera melanjutkan pekerjaan kami masing-masing. Seperti biasa, hari-hari ibu selalu dimulai sangat pagi, pagi buta bahkan. Bagaimana tidak, ibu harus berangkat ke pasar dulu untuk membeli bahan-bahan yang akan dimasak pada pukul tiga dini hari. Setelah sampai di rumah, ibu langsung memasaknya karena setiap pagi akan ada orang-orang yang akan membeli sarapan di warung ibu. Setiap pagi aku juga selalu menemani ibu untuk membantu memasak. Maklum, ibu tak mau mencari karyawan demi bisa meraup untung banyak. Jadi, aku dan adikkulah yang siap sedia sebagai karyawan ibu. Hanya itu yang sementara ini bisa kusumbangkan kepada ibu.
Beberapa hari kemudian, terdengar kabar bahwa semua sawah yang terkena dampak pembebasan lahan telah berhasil dibeli oleh pihak developer. Namun, ada satu yang masih bermasalah, yaitu sawah Pakde Karso. Kabarnya, sawah tersebut masih dalam sengketa. Belum ada surat-surat lengkap. Wah, bagaimana mungkin, dulu waktu Pakde Karso membeli sawah itu tanpa surat-surat lengkap? Apalagi Pakde Karso juga orang terpelajar, pasti beliau lebih berhati-hati dalam pembelian sejumlah aset besar. Tapi kenyataannya, seperti sekarang ini, ibu yang mendengar kabar ini juga merasa heran.
Suatu malam, ada Pak Lurah setempat yang mendatangi rumah kami. “Tumben ini Pak Lurah ke rumah saya, pasti ada sesuatu yang penting yang ingin Bapak bicarakan,” kata ibu kepada Pak Lurah.
“Iya, ada hal penting yang akan saya bicarakan kepada ibu,” kata Pak Lurah. “Jadi, begini Bu. Bu Aminah pasti sudah mendengar berita tentang terhambatnya pembelian sawah Pak Karso beberapa waktu ini. Itu karena sawah Pak Karso belum bersertifikat dan dalam catatan desa, nama pemilik sawah tersebut adalah atas nama Bapak Karno, almarhum suami ibu sendiri,” Pak Lurah melanjutkan.
Sontak ibu langsung kaget mendengar hal itu. Dulu memang almarhum ayah pernah memiliki beberapa petak sawah, tetapi kami yakin, sawah itu sudah dijual, salah satunya kepada Pakde Karso.
Kami juga yakin jual-beli yang terjadi antara ayah dengan Pakde Karso sudah melalui jalur yang benar. Tak mungkin Pakde Karso akan berbuat curang kepada keluarga kami.
“Dan sawah itu tidak bisa terjual karena tidak ada akta jual-beli. Sedangkan akta jual-beli hanya bisa ditandatangani oleh Ibu Aminah selaku istri dari almarhum Bapak Karno,” jelas Pak Lurah. Kalau sawah tersebut belum ada surat jual-belinya, berarti Pak Karso telah mengambil sawah itu tanpa sepengetahuan Bapak Karno?”
Bagaimana mungkin Pakde Karso berbuat seperti itu?? Ahh … rasanya tak mungkin. Toh, selama ini Pakde Karso juga tidak pernah berbuat buruk pada keluarga kami. Selama ini yang sering membantu kami adalah keluarga Pakde Karso, ya walaupun dari keluarga yang lain juga membantu.
“Kalau sawah itu masih atas nama almarhum Bapak Karno, berarti yang berhak menerima uang hasil penjualan sawahnya adalah keluarga Ibu Aminah sendiri, bukan Pak Karso,” lagi-lagi Pak Lurah memberi penjelasan panjang lebar. “Dan ibu bisa membawa kasus ini ke pengadilan karena ibu pasti akan memenangkan kasus ini. Mengapa saya yakin ibu menang? Karena sudah jelas bahwa Pak Karso tidak bisa menunjukkan akta jual-beli. Yang kedua, sawah tersebut sudah jelas masih atas nama Bapak Karno, suami ibu yang almarhum itu.”
Mendengar hal itu ibu sangat bingung. Tidak tahu apa yang harus dilakukan. Di satu sisi, kalau memang benar sawah itu masih menjadi hak kami, kami akan sangat senang. Di sisi lain, apa mungkin ibu akan memperkarakan kasus ini sampai ke pengadilan, apalagi memperkarakan kasus yang pelakunya masih ada hubungan saudara dengan kami. Rasanya ibu tidak akan setega itu.
“Baiklah Pak Lurah. Beri kami waktu berpikir dahulu dalam beberapa hari ini. Saya akan membicarkan dulu dengan anak-anak saya. Setelah itu akan saya beri kabar lagi,” jawab ibu.
“Memang sebaiknya begitu, bu. Saya tunggu kabar selanjutnya,” kata Pak Lurah.
“Kalau seandainya masih bisa diselesaikan secara kekeluargaan, saya akan menempuh jalur kekeluargaan dulu Pak. Saya juga belum mengonfirmasi mengenai kebenaran kepemilikan sawah itu. Jadi, saya akan menemui Pak Karso dulu untuk menanyakan kebenarannya,” jelas ibu dengan hati-hati.
Setelah itu, esoknya ibu langsung menemui Pak Pakde Karso di rumahnya untuk menanyakan perihal sawah tersebut. Pakde Karso beserta istrinya juga ikut menemui ibu. Setelah berbicara panjang lebar, di akhir pembicaraan Pakde Karso menjelaskan bahwa memang dulu almarhum ayah masih mempunyai warisan dari orang tua berupa sepetak sawah dengan ukuran 2800 meter persegi. Dan surat itu, oleh orang tua ayah langsung diatasnamakan ayah sendiri, yaitu Karno. Tetapi Pakde Karso tidak memberikan surat tanah itu sampai sekarang karena dulu Pakde Karso pernah meminjam surat-surat itu untuk digadaikan.
Setelah surat itu keluar dari pegadaian, Pakde Karso seolah ingin memilikinya karena menganggap Bu Aminah pasti tidak tahu akan hal ini. Dan ternyata, menyimpan sesuatu yang buruk akhirnya akan tetap terbongkar juga. Pak Lurahlah yang memberi tahu semua ini.
Pak Karso dan istrinya benar-benar meminta maaf atas kejadian ini. Pak Karso meminta ibu supaya tidak membawa kasus ini ke ranah hukum demi menjaga nama baik Pak Karso sendiri. Dalam hati ibu sebenarnya juga benar-benar tidak menyangka akan perbuatan Pak Karso. Selama ini Pakde Karsolah yang membantu keluarga kami. Tetapi, di balik itu ternyata Pakde Karso tega berbuat seperti itu. Ibu yang mempunyai hati lembut, juga tidak tega akan memperkarakan kasus ini ke pengadilan. Apalagi setelah Pakde Karso dan istrinya benar-benar memohon maaf kepada ibu.
Pakde Karso pun akhirnya menyerahkan semua surat-surat sawah yang menjadi milik kami. Akhirnya, sawah itu pun berhasil terjual dan kami sangat bahagia karena masalah ini akhirnya dapat diselesaikan dengan baik-baik. Hasil penjualan sawah itu ibu gunakan untuk memperbaiki warung ibu yang sudah sekian tahun tidak ada perbaikan. Ibu juga menyimpan untuk tabungan karena sebentar lagi adikku akan melanjutkan perguruan tinggi. Begitulah jika kita mau bersabar dalam menjalani kehidupan ini. Akan ada rezeki tak terduga jika kita tetap berada di jalan-Nya.