Buah ranum itu seranum bibirmu yang sempat kunikmati. Aku menyebutnya buah kenangan. Sebab, buah itu adalah buah dari pohon yang aku tanam bersamamu. Acapkali aku menitikkan air mata di gigitan pertama buah itu. Saat aku memakannya, satu per satu kenangan bersamamu tumbuh dalam batinku.
Entah sejak kapan buah itu tampak sangat istimewa bagiku. Aku geram apabila ada orang yang menyinggung buah itu adalah buah biasa yang sering dijumpai. Biasanya, aku akan meracau hingga kalap, bilamana ada orang yang menjelek-jelekkan buah itu. Seolah-olah aku akan melindungi buah itu, sebagai pengganti aku yang tak becus melindungimu.
Tak sembarang orang boleh memetik buah-buah dari pohon itu. Hanya aku dan putri kita yang boleh memetik dan memakannya. Pernah suatu ketika, ada beberapa anak kecil memiliki niatan untuk mencuri buah-buah itu di pekarangan rumah kita. Saat mereka mulai beraksi, melempar batu ke ke arah buah-buah itu, atau bersikeras memanjat pohonnya, aku datang dengan raut wajah seram dan geram. Aku membentak anak-anak itu. Bahkan aku memukul mereka dengan sapu lidi. Mereka pun jera datang. Namun mereka mengadu pada orang tuanya.
Alhasil, beberapa orang tua mendatangi rumah kita. Mereka menghardikku dengan kata-kata panas, tapi aku tak peduli. Aku balik memarahi mereka dan menyuruh mereka agar mendidik anak-anaknya dengan benar. Mereka seperti kalah dalam halnya pembelaan, sebab anak-anak mereka memang mencoba mencuri buah kita.
Aku tak hiraukan mereka, walau mereka akan membenciku. Aku akan hidup berdua bersama putri kita, dan mereka kuanggap seperti anjing yang sekali-kali menggonggong.
Di kursi panjang bawah pohon yang mengademkan, aku dan putri kita duduk menikmati angin sepoi siang hari. Buah kupetik satu. Aku memandang buah itu sejenak. Aku seperti melihat wajahmu yang tersenyum simpul. Gigitan pertama, aku kembali mengenang. Ingatanku tentangmu sontak bergentayangan di dalam kepalaku.
Sebegitu bodohkah aku? Yang mempertaruhkanmu ke orang lain. Andai waktu bisa kuulang seperti memutar jarum jam di dinding, mungkin aku takkan terhanyut dalam penyesalan ini. Aku takkan mencaci-maki diriku sendiri. Dan putri kita takkan selalu bertanya, di mana mamanya berada.
“Ayah, kenapa orang lain tak diizinkan untuk memakan buah kita ini?” tanya putri kita. Matanya berkaca-kaca, memaksaku untuk menjawabnya.
Aku membisu. Pertanyaan itu membuat aku kembali mengingatmu. Aku ingat beberapa tahun silam, kamu sangat sabar meladeniku. Kamu selalu memperingatkanku untuk berhenti minum minuman keras. Namun, aku kerap pulang malam dalam keadaan mabuk. Kamu menyuruhku untuk berhenti main judi. Namun, aku kian tergiur untuk memenangkan taruhan. Kamu tak hanya istriku. Kamu sudah seperti ibuku juga.
Setiap kali kamu menangis karenaku, aku malah terkekeh-kekeh menyaksikanmu yang terisak-isak. Air matamu kian deras saat itu. Kamu membungkam mulutmu, agar suara tangis tak keluar. Agar tangismu tak terdengar Saat itu, mungkin aku tak menyadari. Namun kini aku tahu, kamu sengaja melakukan itu agar putri kita tak mendengar pertengkaran kita.
Ah, aku mengutuk diriku sendiri. Betapa jahatnya aku dulu. Hanya karena tak kunjung mendapat pekerjaan, aku menjadi penjudi dan pemabuk.
“Ayah…,” suara putri kita telah membuyarkan lamunanku tentangmu. “Kenapa Ayah diam?”
“Ayah sedang menghitung berapa banyak buah yang kita miliki di pohon itu,” jawabku sekenanya. Dia seperti kebingungan. Wajar saja, umurnya masih tujuh tahun untuk berpikir banyak.
“Untuk apa Ayah menghitung buah?” tanyanya lagi.
“Untuk kita berikan pada Mama.”
“Emang Mama mau pulang? Kapan, Yah?” putri kita mendesak. Aku tertegun. Aku salah bicara. Aku tak tahu harus bilang apa. Haruskah aku bilang, aku sedang membohonginya sekarang, kemarin, atau mungkin besok. Ah, mana mungkin.
Putri kita sangat merindukanmu, apalagi aku. Tak hanya putri kita yang bertanya-tanya kepulanganmu. Aku pun juga. Dalam hati kecilku, aku berharap kamu pulang. Aku merindukan saat-saat kita bersama.
Kita menanam pohon di pekarangan rumah kala itu. Kita merawatnya bersama. Kamu kerap menyiramnya saban pagi. Di kala kamu masih menggunakan daster dengan rambut yang diikat, samar-samar aku melihat kecantikanmu yang disinari cahaya pagi. Aku bahagia, hari-hari itu. Namun semuanya berubah, sebab keegoisanku.
Maafkan aku yang senantiasa membuatmu menderita. Tidak! Kesalahanku tak bisa dimaafkan. Lelaki mana yang segila aku. Hingga aku tega menjadikanmu sebagai barang taruhan. Waktu itu aku benar-benar kalap. Uangku ludes sebab aku kalah melulu. Tubuhku telah dikuasai oleh hasrat menang. Sehingga dirimu pun menjadi korban. Aku menjadikanmu sebagai barang taruhan. Bila aku kalah, aku akan menyerahkamu pada lelaki itu, sang pemenang.
Dan benar, aku kalah. Dia mengambilmu dariku. Dia mendatangi rumah kita, untuk menagih taruhan yang aku janjikan. Aku ingat betul saat kamu menangis. Kamu meronta dari dekapan dua bodyguard kekar, suruhan lelaki itu. Aku tak bisa apa-apa, selain melihat kepergianmu dibawa mobil hitam.
Malam itu putri kita masih terlelap di dalam kamarnya. Kamu berpesan, agar aku menjaganya dan tidak menjadikannya sebagai barang taruhan. Aku mengiyakan. Entah kenapa, saat itu dadaku terasa seperti dipukul-pukul. Aku benar-benar merasa kehilangan saat itu. Hatiku seperti diiris-iris. Setelah kepergianmu, aku menangis sejadi-jadinya.
Mataku sembab saat mentari mulai menyingsing. Aku tak berdaya. Aku duduk lunglai, entah jiwaku mengembara ke mana. Putri kita bangun. Dia menghampiriku dan bertanya kenapa rumah kita porak poranda. Dia juga bertanya, kenapa mataku sembab. Aku bilang, aku baru saja memotong bawang. Dia percaya. Umurnya saat itu masih lima tahun. Jadi wajar, apabila dia gampang percaya.
Dan apa yang aku takutkan ketika dia bangun pun terjadi. Dia pun bertanya tentangmu. Dia mencari di sudut-sudut rumah, namun tetap tak menemukanmu. Dia menangis, sebab ibunya lenyap begitu saja.
Melihat tangisnya, membuatku kembali melihat tangismu sebab kejahatanku. Aku beranjak dari tempat dudukku. Aku menghampirinya. Aku menggendongnya. Aku mencoba membujuknya. Aku bilang, kamu pergi untuk membeli boneka untuknya. Dia pun berhenti menangis, walau masih ada sisa-sisa isakannya. Dia senang akan dibelikan boneka. Padahal, kamu pergi tak untuk kembali.
Hingga waktu berselang. Aku terbiasa hidup tanpamu. Aku mengantar putri kita sekolah, merawatnya, memasakkannya berbagai makanan; perihal itu kulakukan sendiri. Putri kita seringkali bertanya tentangmu. Jawabanku masih sama, kamu pergi untuk membelikannya boneka. Dia pun berhenti bertanya. Entah sampai kapan aku dapat membohonginya.
Aku benar-benar sangat menyesal. Aku mencarimu ke mana-mana. Dari tempat judi, hingga ke tempat di mana orang seperti lelaki itu berkeliaran. Tetap saja aku tak menemukanmu. Huh, kita seolah-olah main petak umpet. Bedanya, aku tak kunjung menemukanmu.
Tak ada yang bisa aku lakukan lagi. Aku hanya dapat termangu-mangu sambil memandangi pohon yang kita tanam bersama. Dan memakan buahnya, selalu membuatku kembali mengenangmu —mengenang kebaikanmu dan mengenang kejahatanku.
“Ayah! Kapan mama pulang?!” kembali putri kita membuyarkan kenangan buruk bersamamu. “Ayah! Kenapa Ayah selalu diam bila kutanya tentang Mama?!” Dia mendesakku. “Aku tak mau boneka, Ayah! Aku mau mama pulang!”
Putri kita menangis keras. Entah sejak kapan air mata itu dia tabung. Air matanya tak henti-hentinya mengalir. Ternyata putri kita sudah dewasa. Dia sudah pintar. Atau mungkin, dia sudah menyadari semua kebohonganku. Apa yang harus aku lakukan? Aku tak mungkin kembali membohonginya dengan alasan boneka. Bahkan dia pun tak mau boneka. Dia hanya mau mamanya pulang.
Sekarang aku benar-benar sudah mati kutu, istriku. Aku tak bisa berbuat apa-apa lagi, seperti halnya dulu aku tak bisa berbuat apa-apa untukmu. Mungkin memang tak ada jalan lain bagiku, selain menebang pohon berbuah kenangan itu.