Perubahan sosial tidak hanya termanifestasi dalam perkembangan dunia modern yang ditandai dengan pesatnya kemajuan teknologi. Perubahan juga sangat mungkin terjadi dalam dinamika gerakan keagamaan.
Salah satu contohnya adalah munculnya era Post-Islamisme, yang merupakan bentuk adaptasi gerakan Islam terhadap paham yang sebelumnya berkembang, yaitu Islamisme.
Berbeda dengan Islamisme yang cenderung kaku dalam menafsirkan dan menerapkan ajaran Islam, Post-Islamisme menawarkan pendekatan yang lebih moderat dan fleksibel.
Gerakan ini berusaha mengintegrasikan nilai-nilai Islam dengan realitas modern, termasuk konsep demokrasi, hak asasi manusia, dan pluralisme.
Post-Islamisme tidak menolak modernitas atau nilai-nilai Barat secara total, melainkan berupaya mencari jalan tengah antara ketaatan pada ajaran Islam dan penyesuaian dengan perkembangan zaman.
Meskipun tetap menjadikan Islam sebagai landasan ideologis, Post-Islamisme lebih terbuka terhadap interpretasi yang beragam dan tidak memaksakan penerapan syariat Islam secara rigid dalam tatanan negara. Dengan demikian, Post-Islamisme dapat dipandang sebagai evolusi pemikiran yang berusaha menjembatani gap antara nilai-nilai keislaman dan tuntutan dunia kontemporer.
Istilah Post-Islamisme pertama kali diperkenalkan oleh Asef Bayat, seorang profesor di Universitas Illinois dan kepala kajian Masyarakat dan Budaya Timur Tengah Modern di Universitas Leiden.
Bayat berpendapat bahwa Post-Islamisme memiliki konsepsi baru tentang masyarakat dan pemerintahan yang diekspresikan melalui perspektif baru dalam ruang publik, budaya pemuda, politik mahasiswa, dan yang terpenting, pemikiran keagamaan. Post-Islamisme pada hakikatnya merupakan metamorfosis dari Islamisme. Untuk memahami Post-Islamisme, kita perlu terlebih dahulu menelaah kaitannya dengan konsep Islamisme itu sendiri.
Islamisme dapat didefinisikan sebagai ideologi dan gerakan yang bertujuan untuk membentuk suatu tatanan yang Islami. Hal ini diwujudkan dalam bentuk negara Islam yang menegakkan hukum syariah dan mengimplementasikan aturan-aturan moral berdasarkan nilai-nilai Islam di dalam masyarakat. Penting untuk membedakan antara Islam sebagai agama dan Islamisme sebagai ideologi beserta gerakannya.
Gerakan Islamisme dapat dikategorikan ke dalam tiga bentuk. Pertama, gerakan yang bercorak reformis. Gerakan ini cenderung melakukan reformasi terhadap tatanan yang sudah ada. Contohnya termasuk Ikhwanul Muslimin di Mesir, partai-partai Islam di berbagai negara termasuk Indonesia, serta Hizbut Tahrir yang telah dibubarkan di Indonesia pada tahun 2017.
Kedua, gerakan Islamisme yang bercorak revolusioner atau militan. Gerakan ini mencakup organisasi seperti Jamaah Islamiyah, atau di Indonesia dikenal dengan nama Laskar Jihad. Mereka mempropagandakan kekerasan dan seringkali memaknai jihad secara sempit hanya dalam konteks peperangan.
Ketiga, gerakan sosial yang bersifat non-politis atau apolitis, namun sering disebut sebagai fundamentalis. Mereka tidak mengedepankan kekerasan, melainkan lebih menekankan pada ajaran dasar atau pondasi keagamaan. Fokus mereka adalah membahas pondasi keimanan atau akidah yang menurut mereka harus kembali kepada ajaran yang murni dari Alquran dan Hadis. Gerakan apolitis ini juga dikenal sebagai gerakan puritan. Contohnya termasuk Gerakan Salafiyah dan Jamaah Tabligh, yang merupakan gerakan transnasional yang berkembang di berbagai negara.
Gerakan Islam di Indonesia dipengaruhi oleh setidaknya tiga bentuk Islamisme yang berasal dari Timur Tengah: Salafisme Wahhabi, Ikhwanul Muslimin, dan Hizbut Tahrir. Pengaruh ini membentuk karakter para simpatisannya, yang cenderung menjadi konservatif, fanatik, sektarian, eksklusif, supremasis, dan anti-demokrasi.
Meskipun sering digambarkan sebagai utopis, ideologi Islamisme memiliki daya tarik bagi para penganutnya karena mampu menawarkan solusi atas persoalan-persoalan kontemporer. Namun, Islamisme saat ini sedang mengalami evolusi, dan gerakannya didasarkan pada konteks yang mendukungnya. Hal ini kemudian melahirkan gagasan Post-Islamisme yang berguna untuk menganalisis gerakan kontemporer Islam di Indonesia.
Teori ini dapat bermanfaat dalam analisis kasus Indonesia, meskipun memerlukan beberapa penyesuaian mengingat sistem politik Islam di Indonesia tidak seintensif seperti di Mesir atau Iran.
Post-Islamisme merupakan perubahan mendasar dalam sikap dan strategi kaum Islamis dalam menjalankan misi Islamisme. Ia adalah sebuah gagasan baru yang lahir pasca Islamisme.
Meskipun dapat dianggap sebagai transformasi dari Islamisme, terdapat perbedaan signifikan antara keduanya. Salah satunya adalah kecenderungan Post-Islamisme yang lebih reflektif dalam memaknai keberagamaan, berbeda dengan Islamisme yang lebih condong pada nuansa radikal dalam beragama.
Post-Islamisme dapat dipahami dalam dua dimensi: sebagai suatu kondisi dan sebagai suatu proyek. Sebagai kondisi, Post-Islamisme bersifat lebih statis, menggambarkan keadaan sosial politik sebuah masyarakat di mana Islamisme sudah tidak lagi relevan untuk diterapkan. Hal ini mengharuskan adanya perubahan atau penyesuaian dengan realitas masyarakat yang mungkin tidak lagi menerima nilai-nilai Islami secara utuh.
Sementara itu, Post-Islamisme sebagai proyek menunjukkan sesuatu yang dinamis dan aktif, yaitu upaya berkelanjutan dalam menyusun konsep dan strategi untuk mentransmisikan Post-Islamisme dalam ranah sosial, politik, dan intelektual.
Jika Islamisme cenderung memaksakan tugas keagamaan yang tunggal dan resmi diakui oleh negara-negara tertentu, maka Post-Islamisme berusaha mengintegrasikan Islam dengan pilihan individu, kebebasan demokrasi, dan modernitas untuk mencapai suatu modernitas alternatif. Artinya, mereka tidak meninggalkan nilai-nilai Islam, namun juga menyesuaikannya dengan kemajuan zaman, tanpa jatuh ke dalam sekularisme murni ala Barat atau Eropa.
Post-Islamisme diekspresikan dengan sikap yang tidak anti-Islam atau sekuler, bebas dari kekakuan, dan mendobrak monopoli kebenaran keagamaan. Jika semangat Islamisme menekankan pada agama dan tanggung jawab, maka Post-Islamisme adalah semangat untuk memerdekakan keberagamaan dan menekankan pada keberagamaan yang juga memperjuangkan hak-hak asasi manusia.
Perlu digarisbawahi, bahwa Post-Islamisme muncul bukan karena kegagalan Islamisme, melainkan lebih sebagai sebuah bentuk adaptasi. Asef Bayat tidak memandang Islamisme sebagai ideologi yang gagal, namun lebih kepada ideologi yang kurang cocok untuk diterapkan dan perlu diubah serta diganti dengan yang baru.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa Post-Islamisme merupakan bentuk transformasi sekaligus tandingan terhadap Islamisme yang dirasa telah kaku dan memerlukan perubahan agar misi Islam tetap dapat diterima serta terwujud dalam nilai-nilai dan perilaku masyarakat kontemporer.