Kau boleh tak percaya ceritaku. Aku bukan rasul yang mesti jujur. Aku bukan pula iblis yang suka licik. Anggap saja aku tukang dongeng yang suka berkisah padamu tentang segala yang ada dan juga tak ada; segala yang mungkin dan juga tak mungkin.
Sekalipun ceritaku benar-benar terjadi, aku tak punya keahlian untuk membuatmu percaya padaku. Atau aku akan memaksamu memercayaiku? Tidak! Tidak boleh ada paksaan di antara kita. Karena itu, aku cuma ingin satu hal: dengarkan ceritaku dengan baik sebab aku tak akan pernah mengulanginya lagi.

Konon, setelah mengacau lantas diusir dari bumi, bangsa jin punya kehidupan lain di luar alam kita. Tapi seminggu yang lalu, setelah Eva salat berjamaah di musala dan membuka lemari untuk mengambil baju santai, air mukanya mendadak seperti selembar cermin terkena percik kopi. Baju warna biru yang hendak dia pakai buat mengaji Al-Qur’an kepada Ibu Nyai pagi itu ternyata raib.
Dia masih ingat betul, baju itu dia ambil dari jemuran lantas dia rapikan dan masukkan ke dalam lemari. Setelah itu, lemari miliknya dia kunci seperti biasanya. Kunci itu, saat dia mengambil mukena untuk salat berjamaah Subuh, masih dia gunakan. Kunci itu, setelah mengunci kembali lemari, dia bawa ke musala. Itu kunci miliknya satu-satunya. Tak ada kunci cadangan.
Lubang kunci juga berfungsi dengan baik. Saat dia masukkan kunci ke lubangnya lalu memutarnya perlahan, dia begitu ingat, masih berbunyi, ceklek. Dia tarik pintu lemari dan engsel lemari berderit dan baju itu raib. Padahal, dia yakin, ingatannya baik-baik saja. Baju itu benar-benar dia letakkan di sana.
“Hanya orang canggih yang mampu mencuri bajuku tanpa menyentuh pintu lemari,” batinnya tertegun bagai rautnya yang tiba-tiba surut.
Keterkejutan itu hanya tergurat sebentar. Setelah aktivitas lain menyibukkan dirinya dan pikirannya, dia segera lupa pada baju biru yang hilang itu. Kehilangan satu buah baju, bagi Eva, tidak perlu terlalu dipersoalkan.
Namun masalahnya, dua hari setelah itu, satu isi lemarinya hilang lagi. Kali itu, yang hilang adalah pakaian dalam: kutang warna pink. Lewat dua hari, masih ada yang hilang lagi. Yang hilang kian membuatnya tercengang: celana dalam warna hitam. Dalam hampir seminggu dia telah kehilangan tiga pakaiannya yang menurutnya sangat tidak lumrah.
Pagi ini, dua hari setelah dia kehilangan yang terakhir, cemas merubung pikirannya serupa hantu pendendam tak mau pulang. Saat bangun tidur, buru-buru dia pegang gagang pintu lemari dan menariknya. Terkunci rapat. Sama seperti ketika dia menguncinya tadi malam. Dia raba saku baju yang dia pakai. Kunci itu ada di situ. Lengkap.
Akan tetapi, meski sangat penasaran apakah isi lemarinya akan hilang lagi atau tidak, dia tak segera memasukkan kunci itu ke lubangnya. Dia hanya memandang lemari itu. Azan telah tuntas memanggil umat. Desir angin yang melompat di jendela menyelinap pada celah-celah kerudungnya dan meniupkan perasaan ganjil ke tengkuknya. Semua temannya sudah berangkat ambil wudu. Sepi. Bulu halusnya meremang. Dia akhirnya bangkit dan menuju kamar mandi.
Kembali dari kamar mandi, dengan wajah yang basah oleh air wudu, barulah dia berani memasukkan kunci itu ke lubangnya, memutarnya perlahan hingga terdengar bunyi, ceklek, lantas dia tarik pintu lemari. Dia perhatikan dengan teliti satu per satu pakaian miliknya yang terlipat rapi di lemari. Lima buah kerudung, empat sarung bermotif batik, enam hem, lima kaos lengan panjang, dan… ahai, di manakah kaus seragam komunitas Club Pecinta Alam (CPA)? Dia singkap di antara baju lain. Tak ketemu. Ya, kaus itu tak ada di situ. Hilang. Rasa kesal tiba-tiba memukul dadanya.
“Pencuri mana sih yang suka mengambil bajuku?” teriaknya dan teman-temannya yang juga bersiap berangkat ke musala menoleh ke arahnya.
“Awas, ya, kalau ditemukan nanti kulaporkan sama Ibu Nyai,” lanjutnya tanpa mengarahkan matanya kepada siapapun. Namun tak ada yang menyahut.
“Aku yakin, salah satu di antara kalian adalah pelakunya.” Saat dia mulai menuduh itulah akhirnya ada yang buka suara.
“Eh, Mbak. Kamu kehilangan baju, ya? Baju apa, Mbak?”
“Banyak!”
“Pakaian dalam?”
“Iya.”
“Kutang?”
“Iya.”
“Saya juga kehilangan itu, Mbak. Sejak seminggu yang lalu, dua kutang dan tiga CD saya hilang. Tak tersisa.”
“Loh?”
“Saya juga, Mbak. Semua kutang saya hilang.”
“Loh?”
Eva dan teman-temannya mengalami kasus serupa: kehilangan beberapa pakaian, dan bukan emas atau barang mahal lain, sejak seminggu yang lalu tanpa ada satu pun jejak dan tanda pencurian. Aneh, bukan?
Sementara itu, pada hari yang sama, usai salat berjamaah Subuh di masjid dan semua santri kembali ke kamar masing-masing, pondok putra gempar. Lemari Wakid, santri yang terkenal culun itu, didapati berisi banyak sekali pakaian wanita. Salah seorang temannya membuka lemarinya yang memang tak pernah dikunci buat meminjam korek api lantas menemukan BH, CD, kaus, dan beberapa pakaian lain yang semuanya milik wanita memenuhi lemari Wakid.
Tentu saja, Wakid dicurigai telah mengambil semua baju itu dari pondok putri. Mengaku atau tidak, bukti telah bicara. Dia tidak bisa mengelak. Seluruh teman kamarnya terang-terangan mengarahkan tuduhan kepadanya.
“Dasar cabul!”
“Naksir sama santri putri boleh-boleh saja, tapi tak usah kayak tukang sihir. Diam-diam menghanyutkan. Huyhuy”
“Ha-ha-ha-ha-ha.”
“Makanya suka menyapu halaman pondok putri, ternyata ada maunya. Hmmm.”
“Begitulah tipe pendiam. Kalau tidak pencuri, ya mesum.”
“Cicak-cicak di dinding, diam-diam merayap. Anjai.”
“Luarnya takzim, dalamnya anjing.”
“Untung dulu aku menolak saat diajak masuk CPA.”
Muka Wakid merah padam. Sepasang kupingnya serasa terbakar. Kepalanya panas. Tidak tahan menerima tuduhan itu, dia minggat dari kamarnya. Dia bawa kakinya menuju kantor pesantren. Dia merasa dirinya telah difitnah. Dia hendak melaporkan kejadian ini.
Baru saja dia akan mengucap salam, dari depan pintu kantor dia lihat salah seorang teman kamarnya telah ada di dalam kantor dan melaporkan kejadian barusan kepada pengurus pesantren. Buru-buru dia masuk.
“Dia berdusta, Pak. Saya difitnah,” ucapnya lantang sambil menuding.
“Silakan duduk, Wakid. Tidak usah main menuduh.”
“Loh? Yang dituduh ini saya, Pak.”
Teman yang melapor tadi ciut, beringsut mundur dan keluar dengan cepat. Wakid menatapnya lekat seperti tatapan burung hantu.
“Bukankah semua pakaian itu ada di lemarimu, Wakid?”
“Kejadiannya memang begitu, Pak. Tapi lemari saya tidak pernah dikunci. Pakaian itu tiba-tiba ada di lemari saya. Pasti teman-teman yang menaruhnya ke dalam lemari saya. Saya dijebak.”
“Wakid, kalau pencuri mengaku, penjara pasti penuh.”
“Saya berani bersumpah, Pak. Saya tidak mencuri.”
“Jangan main-main sama sumpah, Wakid. Kamu bisa kualat. Lagipula, barang-barang itu ada di lemarimu. Itu kebenarannya. Sekarang, lebih baik kamu langsung menghadap kepada pengurus Kamtib.”
“Loh, saya tidak bohong, Pak. Bukan saya pelakunya. Saya difitnah.”
“Jangan banyak alasan. Kalau sampai pengurus Kamtib yang mendatangimu, hukumannya jauh lebih berat.”
Dengan langkah berat dan dada seperti mercon hampir meledak Wakid keluar. Tapi dia tidak menuju ke kantor keamanan pesantren. Dia bawa tubuhnya ke arah selatan, ke kamarnya. Namun, baru beberapa langkah, tiba-tiba dia ambruk. Dia menggelepar di tepi jalan di depan kantor pesantren.
Tepat pada detik itu, Eva yang tengah mengetik data sampah di ruang CPA putri juga rubuh. Dia pingsan. Dua teman di sampingnya kaget dan menjerit. Beberapa santri lain merubung. Eva bangun tapi justru bertingkah aneh. Ruangan itu gaduh.
Hari itu, Wakid dan Eva kesurupan. Mereka pingsan, muntah darah, mengamuk dan teriak-teriak. Berulang-ulang. Semua santri dan pengurus pesantren berusaha menyembuhkan mereka. Tapi Wakid dan Eva justru menampar siapapun yang membacakan Ayat Kursi, Alfalaq, Alhasyr, atau upaya apapun untuk mengeluarkan jin dari tubuh mereka.
Satu jam berlangsung, mereka tak kunjung sembuh. Dua jam, tiga jam, empat jam… Tak ada hasil. Pengurus pesantren jadi bingung. Hingga akhirnya, menjelang mereka dibawa ke seorang kiai di luar pesantren, seorang pengurus ndhalem datang. Lelaki bernama Khairuz itu memberitahu pengurus pesantren bahwa Pengasuh menyuruhnya untuk membawa Wakid ke kamar ndhalem. Dia juga ke pondok putri dengan membawa perintah yang sama untuk Eva.
“Dawuh Pengasuh tadi, entah tahu dari mana, jin yang merasuki Eva dan Wakid hanya bisa sembuh di ndalem,” ucap Khairuz dan mereka pun digotong ke kamar ndhalem.
Di sanalah mereka pulih. Pengasuh dengan cepat mampu mengeluarkan jin dari tubuh mereka, entah dengan cara apa. Pengasuh memang sering begitu: tiba-tiba dan selalu membuatku takjub. Dan secara etis, kumohon, kau tidak perlu menelusuri lebih jauh. Anggap saja itu kehebatan Pengasuh. Titik.
Lagipula, selama berada di kamar ndhalem, kecuali Khairuz, tak seorang pun diizinkan masuk. Maka dari Khairuz, aku mendapatkan cerita tentang percakapan antara Pengasuh dan jin itu.
“Kalian beda alam. Kenapa kalian ganggu santriku?”
“Kami tidak pernah mau mengganggu, Tuan Guru. Mereka yang mengganggu kami,” Wakid dan Eva bicara bersamaan seolah jin yang merasuk ke tubuh mereka itu tunggal.
“Jangan mengeyel. Jelas-jelas kalian merasuki tubuh mereka.”
“Kami tidak punya keperluan dengan mereka. Kami hanya merespon perbuatan mereka sendiri.”
“Memangnya apa yang telah mereka lakukan?”
“Mereka menebang bunga mawar yang tumbuh di halaman ndhalem dan ruang persalinan bangsa kami hancur tanpa sisa. Kami harap Tuan Guru mengerti perasaan kami.”
Pengasuh menoleh ke arah Khairuz, meminta penjelasan. Khairuz, sambil menunduk, bercerita bahwa beberapa hari lalu komunitas CPA yang dimotori Wakid dan Eva bersih-bersih di sekitar ndhalem. Bunga mawar seperti yang disebutkan oleh jin tadi memang telah ditebang lantas dibuang. Pengasuh baru menyadari juga, bunga itu sudah tak terlihat lagi di halaman.
“Itu salah kalian. Kenapa kalian membangun tempat persalinan di situ?”
“Bangsa kami lumrah melakukannya, Tuan Guru. Dan bukan tanpa alasan. Kami kadang memilih pohon besar untuk ditinggali sebab akar pohon itu dapat menyimpan banyak air yang berguna bagi manusia. Kami menjaga pohon itu buat kepentingan manusia sendiri. Kami tak mau mereka menebang sembarangan. Kami, seperti Tuan Guru tahu, juga berkewajiban menjalankan ibadah kepada Pemilik Alam ini.”
“Lalu kenapa kalian menempati bunga itu?”
“Menebang sembarangan sangat tidak boleh, Tuan Guru.”
“Saya paham. Tapi kenapa kalian menempati bunga itu?”
“Tuan Guru pasti tahu betul, bunga mawar warna putih adalah kesukaan pendiri pesantren ini. Kami sangat hormat pada beliau dan demikian pula pada segala kesukaan beliau. Bagi kami, bunga itu sakral. Wajib kami jaga. Lalu kami bangun tempat persalinan bangsa kami di atas daun-daunnya. Maka jika ada yang mengganggunya apalagi sampai menebangnya, kami tak pernah ragu untuk meluapkan amarah.”
Mendengar jawaban itu, Pengasuh mengingat sesuatu. Pada tahun yang lalu, Pengasuh sendiri yang menanamnya di halaman ndhalem. Pengasuh melakukan itu untuk menghormati dan menyenangkan hati pendiri bila suatu waktu arwah beliau datang. Jin itu benar, bunga itu harus dijaga oleh semua penghuni pesantren. Bunga itu terhormat.
“Baiklah. Kuterima alasanmu. Tapi kuminta, segera pergi dari tempat ini dan jangan ganggu lagi santriku.”
“Seperti inikah Tuan Guru yang kami kenal?”
“Apa maksud kalian?”
“Mohon maaf, Tuan Guru. Bukannya kami mau menggurui. Bumi diciptakan tidak hanya buat manusia. Kenapa Tuan Guru mengusir kami? Bukankah kami juga punya hak menghuni?”
Seketika, Pengasuh menundukkan kepala, agak lama, dan dengan lirih membaca istighfar beberapa kali.
“Jadi apa mau kalian? Kalian juga tidak boleh mengacau.”
“Mereka yang mengacau, Tuan Guru. Bukan kami.”
“Sekali lagi, apa mau kalian?”
“Tetap perkenankan kami berada di sini. Kami pun ingin mendapatkan curahan berkah dari pesantren ini. Kami hanya butuh tempat yang kecil.”
“Baiklah kalau begitu.”
Tubuh Wakid dan Eva seketika pingsan. Desir angin bergulung pelan dan merambat ke halaman. Debu berpusar sebentar seperti kena tiup. Lalu senyap. Waktu seolah diam. Setelah itu, Wakid dan Eva pun sadar. Mereka mendapat perintah untuk meletakkan pot bunga di halaman ndhalem dan menanam kembali bunga mawar warna putih yang telah mereka tebang. Mereka juga diperintah menyiramnya setiap pagi tanpa sedikitpun menyentuhnya.
Bulan-bulan bergulir, tahun-tahun berlalu. Karena dianggap tak indah bila pot itu hanya sendirian di halaman ndhalem, komunitas CPA penerus Wakid dan Eva pun menambah beberapa pot dan bunga lain di sekitarnya. Tapi kabarnya, jin-jin yang kini tak terbilang jumlahnya itu telah menyebar ke semua pot di halaman, juga ke pot-pot lain di luar pesantren, bahkan juga ke pohon-pohon besar atau kecil yang tumbuh di sekitar rumahmu.
Sekali lagi, kau boleh tak percaya ceritaku. Hanya saja kumohon, jangan sekali-kali merusak apalagi menebang sembarangan pot bunga dan pohon manapun di sekitarmu. Aku menyayangimu. Aku tak ingin salah satu dari jin-jin itu tiba-tiba mencekikmu.
AN, 02-08-2024.L
*Cerpen peserta Lomba Penulisan Ekologi Kaum Santri 2024.
Mantap,,,