Pribumisasi Islam Gus Dur, Embrio Islam Nusantara

248 kali dibaca

Istilah Islam Nusantara tidak secara eksplisit disebutkan dalam karya-karya Gus Dur (Kiai Abdurrahman Wahid). Term ini juga baru mulai ramai setelah wafatnya Gus Dur pada tahun 2009, ketika NU mengangkatnya pada Muktamar tahun 2015 di Jombang. Meski begitu, pemikiran intelektual Muslim yang satu ini punya peran penting dalam gagasan Islam Nusantara.

Lekatnya diskursus Islam Nusantara dengan sosok Gus Dur, bukan semata karena NU yang berupaya mempopulerkannya dan Gus Dur bagian dari NU. Melainkan, karena gagasan-gagasan Gus Dur yang memang mengajarkan konsep berislam dengan tetap menjadi manusia Nusantara. Ajaran Gus Dur itu merupakan gagasan penting dalam diskursus Islam Nusantara.

Advertisements

Pribumisasi Islam merupakan ajaran Gus Dur, yang dapat kita katakan, sebagai embrio kelahiran gagasan Islam Nusantara. Satu konsep pemikiran yang memberi pemahaman dalam memahami proses sejarah yang membentuk wajah Islam dalam masyarakat Nusantara.

Akomodasi Islam dan Budaya

Pribumisasi Islam, dalam ajaran Gus Dur, dapat kita pahami sebagai proses akomodasi atau rekonsiliasi antara Islam dan budaya lokal. Ini adalah gagasan yang penting dalam memahami kekhasan Islam Nusantara. Wajah khas Islam Nusantara pada dasarnya tidak lepas dari proses akomodasi Islam dan budaya (pribumisasi Islam) sepanjang sejarah perkembangan Islam di Nusantara.

Menurut Gus Dur, sebagaimana dalam artikel “Pribumisasi Islam,” agama dan budaya punya domainnya masing-masing. Agama Islam bersumber pada wahyu dan memiliki norma-normanya sendiri, sedangkan budaya adalah buatan manusia. Oleh karena agama sifatnya normatif maka cenderung permanen, sebaliknya budaya yang buatan manusia berkembang sesuai perkembangan zaman dan cenderung selalu berubah.

Meski punya domain masing-masing, namun wilayah agama dan budaya itu saling tumpang tindih (overlapping). Agama secara esensi memang adalah wahyu dari Tuhan, namun secara ekspresi itu adalah tafsir ajaran yang hidup dalam budaya manusia. Pun, budaya merupakan bagian ekspresi kehidupan manusia yang beragama. Oleh karena itu, menurut Gus Dur, perlu ada akomodasi antara agama dan budaya. Hal ini bukan karena kekhawatiran terjadinya ketegangan antarkeduanya, tapi sebab proses pribumisasi itu sendiri.

Dalam sejarah, para wali dan ulama telah melakukan akomodasi agama dan budaya dalam menyebarkan Islam di Nusantara. Mereka tidak mempertentangkan keduanya, melainkan mengakomodasikan keduanya. Gus Dur mencontohkan, sebagaimana Sunan Kalijaga dalam membangun Masjid Demak. Sunan Kalijaga mengambil model atap berlapis yang merupakan konsep Meru dari budaya masa pra-Islam (Hindu-Budha) di Nusantara. Susunan atap berlapis itu oleh Sunan Kalijaga dibuat tiga susun yang melambangkan tiga tahapan beragama seorang Muslim; iman, islam, dan ihsan.

Dalam tulisannya yang lain, Islamku, Islam Anda, Islam Kita, Gus Dur menyebut Tembang Lir-ilir Sunan Ampel, sebagai contoh adanya saling pengaruh-mempengaruhi yang sangat halus antara budaya Nusantara dan budaya agama Islam.

Proses akomodasi Islam dan budaya, yang tidak mempertentangkan namun mempertemukan, menjadikan Islam mempribumi dalam budaya masyarakat Nusantara. Sebuah proses yang membentuk wajah Islam Nusantara menjadi kaya dengan berbagai adat-tradisi Islam yang khas.

Bukan Pembauran dan Sinkretisme

Pribumisasi Islam, bagi Gus Dur, adalah pengakomodasian dan bukan pembauran. Pembauran Islam dan budaya lokal, menurut Gus Dur, “…tidak boleh terjadi, sebab berbaur berarti hilangnya sifat-sifat asli.” Dalam ajaran Gus Dur ini, Islam harus tetap pada sifat Islamnya. Al-Qur’an tetap dalam bahasa Arab. Meski ada terjemahan al-Qur’an dalam bahasa lokal, misalnya, itu sebatas untuk mempermudah pemahaman bukan menggantikan al-Qur’an. Salat harus dengan tata cara dan bacaan-bacaan Arabnya.

Itu bukan berarti Arabisasi, melainkan sebab itu adalah norma agama yang menjadi esensi Islam. Jika diubah, maka hilanglah sifat Islamnya. Dalam hal ini, Gus Dur mengajarkan kalau, pribumisasi Islam adalah pada ranah “beragama” dan bukan pada “agama”.

Dalam sejarah dakwah Islam Nusantara, misalnya, para wali sebatas mempribumikan sebutan shalat menjadi sembahyang, namun pelaksanaannya tetap dengan tata cara dan bacaan-bacaan salat yang berbahasa Arab. Sebab, penyebutan sekadar berkaitan dengan ekspresi penamaan ibadah, jadi tidak mengapa menggunakan sembahyang agar lebih familiar di telinga masyarakat. Sedangkan, tata cara dan bacaannya adalah esensi yang harus tetap pada sifat aslinya. Ini contoh pribumisasi yang mengakomodasi ekspresi dan mempertahankan esensi, bukan membaurkan yang membuat hilang sifat-sifat asli agama.

Bagi Gus Dur, pribumisasi Islam juga bukan sinkretisme agama yang berarti upaya memadukan teologia atau sistem kepercayaan. Sebab pribumisasi Islam hanya mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan lokal dalam merumuskan cara beragama Islam, tanpa menambah atau mengubah agama Islam itu sendiri. Jadi, bukan menggabungkan agama Islam dengan agama sebelumnya yang berkembang di Nusantara, sebagaimana dalam sejarah Nusantara ada Syiwa-Budha atau Hindu-Budha. Dan, juga bukan upaya menyandingkan, atau menggantikan, Allah dengan tuhan-tuhan lain yang dianggap lebih lokal.

Kalaupun ada pengakomodasian unsur-unsur budaya dari agama sebelumnya, itu sebatas pada ekspresi budaya bukan menggabungkan atau mengubah sistem kepercayaan. Seperti, para wali penyebar Islam yang mempribumikan istilah Allahu rabbul’alamin menjadi Gusti kang murbeng dumadi. Sebutannya melokal, dan sosoknya tetap adalah Allah SWT sebagai Tuhan semesta alam. Dalam hal ini, pribumisasi Islam adalah upaya melokalkan ajaran Islam, bukan kerja menciptakan ajaran agama lokal baru.

Pendekatan Sosio-kultural

Gus Dur menjelaskan kalau, “Pendekatan sosio-kultural (dalam pribumisasi Islam) menyangkut kemampuan orang Islam untuk memahami masalah-masalah dasar yang dihadapi bangsa….” Jadi, selain akomodasi atau rekonsiliasi Islam dan budaya, bagi Gus Dur, pribumisasi Islam juga berhubungan dengan laku keberislaman yang sesuai keadaan dan kebutuhan masyarakat.

Pandangan pribumisasi Islam Gus Dur itu menjadikan pemahaman Islam Nusantara tidak sebatas soal wajah khas adat-tradisi Islam, namun juga menyangkut cara berislam dalam masyarakat. Oleh karena Muslim Nusantara hidup dalam lingkungan masyarakat yang plural, berdampingan dengan pemeluk agama lain; Protestan, Katolik, Hindu, Budha, Khonghucu, dan Penghayat, sehingga wajah Islam ramah yang menghormati perbedaan agama menjadi satu kebutuhan dasar dalam beragama di Nusantara.

Beragama dengan memperhatikan kebutuhan kerukunan antarumat dalam struktur masyarakat yang plural, dalam sejarah, itu juga telah dicontohkan oleh para wali penyebar Islam di Nusantara. Semisal, Sunan Kudus yang dalam sejarahnya lebih memilih menyembelih kerbau, bukan sapi, sebagai bentuk penghormatannya terhadap keberadaan umat Hindu di sekitarnya kala itu.

Jadi, sejak awal perkembangan Islam di Nusantara, para wali penyebar Islam sebenarnya telah menunjukkan cara berislam yang ramah di tengah keragaman agama masyarakat Nusantara. Ini menjadikan Islam ramah yang menghormati perbedaan sebagai satu ekspresi Islam Nusantara yang sejak dulu sudah dicontohkan oleh para wali dan ulama penyebar Islam.

Dinamisasi Tradisi

Sebagaimana yang Gus Dur jelaskan dalam “Pribumisasi Islam” bahwa, “…budaya adalah buatan manusia, karenanya ia berkembang sesuai dengan perkembangan zaman dan cenderung untuk selalu berubah.” Konsep perkembangan budaya ini, dalam ajaran Gus Dur, membawa pada gagasan dinamisasi tradisi. Ini menjadikan sumbangan pemikiran Gus Dur dalam diskursus Islam Nusantara, sebenarnya tidak hanya tentang pribumisasi Islam, namun juga ada gagasan dinamisasi tradisi sebagai proses dinamika budaya yang turut membentuk wajah Islam Nusantara.

Pemikiran terkait dinamisasi tradisi, Gus Dur tuliskan dalam bukunya yang berjudul Menggerakkan Tradisi. Dalam buku itu, Gus Dur menjelaskan bahwa dinamisasi tradisi mencakup dua proses; penggalakan kembali nilai-nilai hidup positif yang telah ada dan mencakup pula penggantian nilai-nilai lama itu dengan nilai-nilai baru yang dianggap lebih baik. Jadi, dinamisasi tradisi dalam ajaran Gus Dur merupakan upaya membawa tradisi pada “perubahan ke arah penyempurnaan keadaan.” Hal itu dilakukan dengan tetap menggunakan modal kearifan tradisi yang telah ada sebagai dasarnya.

Proses dinamisasi tradisi dalam sejarah Islam di Nusantara dapat kita lihat, semisal dari upaya para wali dalam mengembangkan institusi pesantren pada masa awal Islam di Nusantara. Di mana, Sunan Ampel mendinamisasikan tradisi pendidikan padepokan menjadi pesantren. Unsur-unsur wiku (murid), resi (guru), dan padepokan (tempat belajar) pada dasarnya tetap ada, namun dengan wajah yang baru berupa santri, kiai, dan pondok. Sistem pendidikan Hindu-Budha, oleh Sunan Ampel diganti dengan sistem pendidikan Islam. Dinamisasi tradisi pendidikan ini, yang kemudian melahirkan kekhasan pendidikan Islam di Nusantara dalam bentuk pondok pesantren.

Tidak Putus Masa Lampau

Dalam buku Prisma Pemikiran Gus Dur ada penjelasan, yang menurut saya turut menjelaskan pencarian Islam Nusantara sebagai ekspresi beragama Islam yang tidak putus dengan masa lampau. Di mana, Gus Dur menjelaskan kalau, “…yang ‘paling Indonesia’ di antara semua nilai yang diikuti oleh warga bangsa ini adalah pencarian tak berkesudahan akan sebuah perubahan sosial tanpa memutuskan sama sekali ikatan dengan masa lampau.”

Tradisi Islam boleh saja terus berkembang, namun itu tidak berarti memutus hubungan dengan akar sejarah. Pribumisasi Islam, yang juga termasuk dinamisasi tradisi, adalah sebuah proses pencarian akan cara beragama yang tidak memutus hubungan dengan masa lampau.

Ya, meski secara gagasan pribumisasi Islam baru mengemuka pada akhir abad ke-20 lewat ajaran Gus Dur, namun secara praktek telah dilakukan oleh para wali sejak masa awal perkembangan Islam di Nusantara. Akomodasi Islam dan budaya lokal serta dinamisasi tradisi dengan nilai-nilai Islam, yang dilakukan oleh para wali dalam menyebarkan Islam di Nusantara, dan diteruskan oleh para ulama dalam mengembangkan Islam, termasuk juga oleh Gus Dur yang memberi gagasan pribumisasi Islam, adalah proses-proses sejarah yang membentuk wajah Islam Nusantara menjadi Islam yang tidak putus dengan masa lampau.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan