Putri Pesisir yang Menjadi Mufasir

243 kali dibaca

Tumbuh di lingkungan keluarga yang menggandrungi ilmu, perempuan bergelar profesor-doktor menjadi penulis produktif di bidang tafsir Al-Qur’an.

Nama lengkapnya adalah Aisyah Abdurrahman atau yang lebih dikenal dengan nama pena Bintu Syati’ yang berarti “Putri Pesisir”. Ia lahir di Dimyat sebelah barat delta sungai Nil, persisnya bagian utara pesisir pantai. Ia lahir pada 6 November 1913 M/6 Dzulhijjah 1331 H. Ia putri dari pasangan Syekh Muhammad Ali Abd al-Rahman dan Faridah Abd al-Salam Muntasir.

Advertisements

Ia tumbuh di lingkungan keluarga yang taat beragama. Ayahnya, Syekh Muhammad bin Ali bin Abdurrahman, adalah pengajar di Ma’had al-Azhar Dimyath. Kakek dari jalur ibunya, Syekh Muhammad al-Damhuji, adalah seorang ulama besar al-Azhar.

Dari kecil, Aisyah sudah akrab dengan pendidikan agama. Di usia 6 tahun ia telah berhasil menghafal Al-Qur’an hingga 15 juz.

Setelah menggenggam ijazah madrasah ibtidaiyah di usia 10 tahun dengan nilai tertinggi, ayahnya memintanya putus sekolah dan menetap di rumah karena budaya konservatif yang masih kuat saat itu.

Namun, putri pesisir ini memberontak. Ia bersikeras untuk dapat melanjutkan pendidikan. Melalui dorongan ibu dan kakek, sang ayah dapat luluh hingga Aisyah dapat melanjutkan pendidikannya. Bahkan kakeknyalah yang langsung turun tangan dalam menangani pendaftaran.

Awalnya sang ibu merekomendasikan putrinya masuk Madrasah Muta’alimat yang tergolong favorit di Manshuroh, tetapi sang ayah memilih pendidikan putrinya di Madrasah Thanta.

Aisyah pernah mengatakan: “Aku belajar berlandaskan manhaj al-Azhar. Kitab yang kali pertama menjadi acuanku adalah Al-Qur’an, ialah inspirasi yang membutku dapat mabuk cinta ilmu, semangat belajar mengalir dalam darahku. Ayahku pun seorang alim, dia menanamkan kecintaan ilmu. Namun mengapa ayah juga ingin menghalangi jalanku, maka akan aku tabrak haluannya dan aku berhak untuk menang.”

Pengaruh dalam bakat jurnalistik telah mengalir sejak ia belajar di sekolah menengah. Hal itu bermula karena sang  kakek sering menitip untuk dibelikan koran al-Ahram dan al-Muqattam oleh Aisyah untuk dibaca sebagai rutinitas harian.

Kakeknya merupakan seorang aktifis dalam menulis kritik kepada pemerintah dalam hal perbaikan pengelolaan sungai Nil yang disebabkan limbah yang mengalir ke kota Dimyath. Banyak yang merasakan dampak buruk yang ditimbulkannya, termasuk para nelayan.

Untuk menulis surat tersebut, ia mendiktekan kepada cucunya Aisyah. Secara tidak langsung hal tersebut membuat Aisyah terus berusaha menguatkan uslub tulisannya demi memuaskan sang kakek. Hingga pada akhirnya ia terbiasa dan ahli dalam dunia tulis menulis.

Keahliannya dalam menulis terus ia asah hingga jenjang mahasiswi. Dengan rutin, dirinya aktif menulis naskah dan dikirim ke tim redaksi majalah. Tulisan tersebut dapat berupa cerita, puisi, dan artikel kritis kebangkitan kaum wanita yang mulai tersebar sehingga diangkat menjadi penulis tetap dikoran terbesar Mesir al-Arham tahun 1935.

Untuk menjaga privasinya, ia menggunakan nama pena yakni Bintu Syāthi’ yang berarti Putri Pesisir). Karier menulisnya berawal di sebuah lembaga di Giza. Dari sinilah nama Bintu Syati’ mulai popular dengan banyak melayangkan tulisan di berbagai media massa terkenal di Mesir.

Karier kepenulisannya terus berkembang. Namun kesibukan tersebut tidak serta merta dapat menghambat program studinya. Pada tahun 1939M, Aisyah berhasil menyelesaikan S1 Fakultas Adab Jurusan Sastra Arab di Universitas Kairo. Kemudian menyelesaikan program magister di Universitas ‘Ayn al-Syams, Kairo.

Skripsinya mengangkat penelitian terhadap karya Abu al-‘A’la al-Ma’ari yang berjudul “Al-Hayāh al-Insāniyah.” Tiga tahun berikutnya, Aisyah mendapatkan gelar magister dengan nilai summa cumlaude dengan judul tesis “Studi Kritik Risalah al- Gufrān.”

Ia menikah dengan dosennya, Dr Amin al-Khuli, pemilik sanggar sastra dan pemikir terkenal di Madrasah al-Umana. Dari pernikahannya ia dikaruniai tiga orang anak. Namun menikah bukanlah satu halangan untuknya dapat melanjutkan studi. Di tahun 1950 telah berhasil menyandang gelar doktoral yang diuji langsung oleh dekan fakultasnya, Prof Dr  Thoha Husein.

Pada tahun 1962 Aisyah resmi menyandang gelar profesor dengan menjadi guru besar bahasa dan sastra Arab pada fakultas khusus untuk perempuan di Universitas ‘Ayn al-Syams, Kairo. Tidak sampai di situ, Aisyah juga menjadi guru besar di universitas lain seperti di Universitas Islam Terkemuka Umm Durman Sudan serta Qarawiyin Maroko sebagai guru besar tafsir.

Hidupnya ia habiskan untuk membela agama Allah. Hingga di usia 85 tahun, bertepatan pada tanggal 8 Desember 1998, Aisyah tutup usia setelah mengukir banyak prestasi yang membuat namanya abadi. Lebih dari 40 karya keislaman, kesusastraan, penelitian teks-teks manuskrip, dan sejarah ia tinggalkan.

Karya Tafsirnya

Ketertarikan Aisyah dalam kajian Al-Qur’an dimulai sejak pertemuannya dengan Amin al-Khuli. Di tahun 1960 an, al-Khuli wafat sehingga Aisyah diselimuti duka mendalam. Hingga menulis novel roman. Ia menulis novel otobiografi berjudul ‘Ala al-Jisr. Kata al-jisr yang berarti jembatan. Novel itu menunjukkan bahwa cinta mereka bagaikan jembatan antara gadis kampung dengan seorang pemikir besar.

Maha karyanya spektakuler dalam bidang tafsir adalah Tafsir AL- Bayān li Al-Qur’ān Al-Karīm. Dalam tafsir ini Aisyah menggunakan pendekatan linguistik atau sastra bahasa. Tidak seperti tafsir pada umumnya yang menggunakan urutan surat dalam Al-Qur’an (tartib mushafi), tafsirnya justru menyesuaikan dengan kronologi turunnya Al-Qur’an (tartib nuzuli).

Bintu Syati’ memilih 14 surat pendek untuk dijadikan bahan tafsir. Jilid pertama terdiri dari 7 surat, yaitu surah al-Duhā, surah al-Insyirāh, surah al-Zalāzlah, surah al-Nāzi’āt, surah al-Balad, dan al-Takātsur. Jilid pertama ini dipublikasi pada tahun 1962. Kemudian dicetak ulang pada 1966 dan 1969.

Kemudian, jilid kedua juga terdiri dari 7 surat pendek, yaitu al-Alaq, al-Qalam, al-‘Asr, al-Fajr, al-Humazah, dan al-Mā’ūn. Jilid kedua ini diterbitkan pada 1969 dan memperoleh sambutan luar biasa dari publik.

Dalam pendahuluan tafsirnya, Aisyah memberikan pengantar yang berisi penjelasan terkait surat yang akan ditafsirkan. Hal ini dilakukannya untuk memberi kemudahan bagi pembaca dalam memahami tema pokok dari surat dalam Tafsir Bayāni li Al-Qur’ān Al-Karīm, yakni dengan berusaha menafsirkan surat pendek secara bayani dan mukjizatnya yang kekal. Ia berusaha semaksimal mungkin

Adapun latar belakang kepenulisan tafsir ini, agaknya erat kaitannya dengan keluarga, pendidikan, dan karier yang melingkupi seorang Aisyah Bintu Syati’. Ia mengungkapkan keresahan dalam mukadimah hingga pada akhirnya kitab tafisr ini menjadi sebuah karya monumental.

Setidaknya terdapat tiga faktor penyebab dari keresahannya tersebut. Pertama, Aisyah melihat bahwa para sastrawan hanya memusatkan kesusastraannya pada terks-teks syair, puisi, pidato, dan sejenisnya. Padahal, menurutnya, titik tertinggi sastra berada pada Al-Qur’an, karena Al-Qur’an sebagai kitab terbesar yang dimiliki bangsa Arab, jelas kemukjizatannya, bersifat jelas dan kekal, dan perumpamaan yang terdapat di dalamnya sangat tinggi. Oleh karena itu, jika seseorang ingin mengetahui keindahan sastra Arab bisa didapat dengan memahami keindahan sastra Al-Qur’an.

Kedua, ia melihat sedikit sekali mufasir yang menggunakan pendekatan sastra bahasa Arab dalam penafsiran. Sebagian tafsir masih taqlid dan mengambil atsar dari para pendahulu sehingga hasil penafsirannya sama dengan para pendahulunya.

Ketiga, Aisyah mengemukakan bahwa metode yang digunakan dalam penafsirannya merupakan metode yang diajarkan oleh Amin al-Khuli kepadanya. Amin al-Khuli melakukan pembaharuan dan keluar dari sistem taqlid kepada mufasir terdahulu, yaitu dengan cara mengembalikan teks yang membutuhkan penafsiran ke dalam bahasa aslinya dengan berpijak pada mā fī al-Nas dan mā haula al-Nās.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan