Hujan turun rintik-rintik di halaman rumah. Bau tanah basah bercampur dedaunan jatuh memenuhi udara pagi. Di teras, Ibu duduk dengan tubuh membungkuk, jari-jarinya sibuk merajut sesuatu yang tak pernah ia izinkan aku lihat. Benang putih berkilau, meluncur di sela jemarinya yang kasar. Sekali waktu, ia berhenti, menarik napas dalam-dalam, seakan ada beban tak kasatmata yang menumpuk di dadanya.
Aku berdiri di ambang pintu, memperhatikannya dari jauh. Bukan karena aku tak ingin mendekat, tapi karena aku tahu, Ibu tak suka terganggu saat sedang merajut.

“Buat siapa, Bu?” tanyaku suatu hari.
“Buat yang membutuhkan,” jawabnya tanpa menoleh.
Jawaban itu selalu sama. Lalu aku berhenti bertanya.
***
Aku tumbuh dalam keheningan kecil yang dibungkus oleh kasih sayang Ibu. Ia bukan tipe yang menumpahkan cinta dengan pelukan atau kata-kata manis. Tapi aku tahu, cinta itu ada — di piring hangat yang ia siapkan setiap pagi, di pelukan kecil sebelum tidur yang terasa lebih seperti doa daripada kasih sayang.
Ketika Ayah pergi bertahun-tahun lalu, Ibu tidak menangis. Ia hanya duduk di ujung tempat tidur dengan mata menerawang, seolah-olah sesuatu di dalam dirinya lepas, tapi ia terlalu lelah untuk mengejarnya. Sejak saat itu, ia mulai merajut.
Pagi, siang, malam. Tangannya tak pernah berhenti.
“Kenapa Ibu suka sekali merajut?” tanyaku lagi suatu ketika, berharap kali ini jawabannya akan berbeda.
“Karena benang bisa menyatukan apa yang sudah terpisah,” katanya pelan.
Aku tidak mengerti.
***
Waktu berlalu. Aku bertambah tinggi, dan Ibu semakin bungkuk. Wajahnya penuh kerut, seakan waktu tak hanya menorehkan usia, tetapi juga luka-luka yang ia sembunyikan. Setiap kali aku memandang matanya, aku tahu ada rahasia yang tak pernah ingin ia bagikan padaku.
“Kau harus sekolah tinggi, Nara. Hidup tak selalu memihak pada yang lemah,” katanya suatu malam. Aku sedang membantunya merapikan benang-benang yang berserakan di lantai.
“Aku bisa bekerja saja, Bu. Biar Ibu tidak terlalu lelah.”
Ibu menatapku, sorot matanya tajam tapi lembut. “Ibu tidak lelah. Ibu hanya ingin kau tidak seperti Ibu.”
Aku tidak tahu apa yang salah dengan menjadi seperti Ibu. Tapi aku diam.
***
Ketika akhirnya aku mendapat beasiswa kuliah ke luar kota, Ibu menangis untuk pertama kalinya.
“Kau pasti pulang, kan?” tanyanya.
Aku mengangguk sambil memeluknya.
“Tentu saja. Aku pulang.”
Tapi aku tidak pulang sesering yang aku janjikan.
Ada jarak yang aneh terbentang di antara kami. Setiap kali aku menelpon, suaranya terdengar jauh, seperti ada ruang kosong yang tak bisa aku tempuh.
“Kapan pulang, Nara?”
“Sebentar lagi, Bu. Aku sibuk.”
Waktu terus berjalan. Semester berlalu. Aku mulai terbiasa dengan hidup baru yang penuh jadwal, tugas, dan ambisi. Sesekali aku mengingat Ibu yang mungkin sedang duduk sendiri di teras rumah, merajut dalam kesunyian. Tapi aku selalu menenangkan diriku dengan satu kalimat: Ibu baik-baik saja.
Ibu selalu baik-baik saja.
***
Suatu sore, sebuah telepon datang dari tetangga.
“Ibumu sakit, Nara. Parah sekali. Kau harus pulang.”
Dada kiriku meledak.
Aku menempuh perjalanan pulang dengan tangan bergetar. Udara dalam mobil terlalu panas, meski aku sudah menyalakan pendingin. Bayangan Ibu berkelebat di benakku — wajahnya yang dulu tegas, senyumnya yang selalu ia sembunyikan di sudut bibir.
Ketika aku tiba di rumah, Ibu sedang berbaring di ranjang. Kulitnya pucat, napasnya pendek-pendek.
“Kenapa nggak bilang?” tanyaku dengan suara bergetar.
“Karena Ibu nggak mau kamu pulang karena kasihan,” katanya.
Aku terisak. “Tapi aku anak Ibu.”
“Iya,” jawabnya. “Dan itulah kenapa Ibu nggak ingin kau berhenti berlari hanya karena Ibu jatuh.”
***
Di meja samping tempat tidur, ada tumpukan rajutan berwarna putih. Rapi dan halus, seperti sesuatu yang dibuat dengan sangat hati-hati.
“Untuk apa semua ini?” tanyaku.
Ibu tersenyum lemah. “Untukmu.”
Aku mengernyit. “Kenapa?”
“Karena Ibu tahu… suatu hari kau akan merasa sendiri. Dan Ibu nggak mau kau merasa nggak punya siapa-siapa.”
Aku meraih rajutan itu. Ada kehangatan aneh yang menyusup melalui ujung jariku. Seolah-olah di dalam benang itu, ada sesuatu yang lebih dari sekadar kain. Ada cinta. Ada doa.
***
Seminggu kemudian, Ibu pergi.
Kepergiannya tidak dramatis. Tidak ada pesan terakhir yang diucapkan dengan napas tersengal. Ia pergi seperti caranya hidup — diam-diam, tanpa banyak kata.
Aku berdiri di depan pusaranya dengan tangan mengepal. Ada sesuatu yang sakit di dalam dadaku. Bukan hanya kehilangan, tapi juga rasa bersalah yang menumpuk bertahun-tahun.
Aku pulang ke rumah yang tiba-tiba terasa terlalu sunyi. Rajutan putih itu masih tersusun rapi di sudut kamar. Aku menarik satu helai, memeluknya erat-erat.
Di bawah rajutan itu, aku menemukan sebuah buku kecil. Jurnal. Halamannya penuh dengan tulisan tangan Ibu. Tentang aku. Tentang setiap kali aku sakit, setiap kali aku menangis karena diolok-olok teman sekolah.
“Maaf kalau Ibu tidak pernah bisa bilang betapa bangganya Ibu padamu.”
“Maaf kalau Ibu tidak pernah tahu bagaimana caranya menunjukkan cinta selain dengan rajutan ini.”
“Ibu harap kau tahu… setiap helai benang yang Ibu rajut, adalah doa. Untukmu.”
Aku tidak menangis. Aku terisak.
Dan untuk pertama kalinya, aku merasa benar-benar pulang.
***
Hidup terus berjalan. Aku kembali ke kota, kembali ke hiruk-pikuk yang dulu selalu aku anggap penting. Tapi kali ini, aku membawa sesuatu dari rumah. Sebuah rajutan putih.
Setiap kali aku merasa sendiri, aku memeluk rajutan itu.
Dan aku tahu… Ibu tak pernah benar-benar pergi. Ia ada. Di setiap hela napas. Di setiap benang yang menyulam dadaku.