“Di seberang jalan dekat jembatan bambu itu, akan ada kabar duka yang berasal dari sana. Sementara di antara rumah yang berjajar tiga, akan ada dua kehamilan.”
Kepergian akan tergantikan dengan kehadiran baru. Begitu pun kematian selalu digantikan dengan kelahiran.
Tiga hari berselang, ada warga meninggal yang berasal dari satu-satunya rumah yang berada di dekat jembatan bambu. Satu bulan kemudian, sepasang suami istri yang baru menikah dua bulan lalu, akhirnya mengandung anak pertamanya. Satu lagi, anak gadis yang masih duduk di bangku SMA tersiar kabar menghebohkan akan kehamilannya. Ajaibnya, rumah kedua orang yang hamil itu tinggal berdekatan dalam satu deret. Lagi-lagi benar. Ucapannya tidak pernah meleset.
Pemberi kabar kematian. Pembaca kematian. Peramal kematian. Demikianlah julukan yang diberikan. Kendati juga memberikan kabar kehamilan, namun kabar kematian lebih populer dibandingkan kabar kehamilan.
***
Mak Tum menenteng bunga ronce dan bunga tabur lengkap dengan pandan yang telah diiris untuk melawat ke rumah Pak RT. Tadi pagi melalui pengeras suara masjid, baru saja diumumkan bahwa orang nomor satu di RT tersebut meninggal dunia. Tidak ada yang tahu persis apa penyebabnya. Padahal seminggu yang lalu Pak RT baru saja memberikan penyuluhan pencegahan banjir kepada warganya.
“Sudah takdirnya mungkin.” Demikian rata-rata jawaban warga ketika ada yang menanyakan penyebab kematian Pak RT.
Kehadiran Mak Tum di rumah Pak RT sudah dinantikan oleh keluarga dari Pak RT. Wanita yang sehari-harinya bekerja sebagai penjaga makam itu, akhir-akhir ini namanya kerap menjadi bahan perbincangan warga setempat. Pasalnya, setiap kali ada warga yang akan meninggal, Mak Tum lebih dulu mengetahuinya melalui bisikan tanah makam yang dijaganya selama ini.
Barangkali cerita semacam ini hanya akan dipercayai oleh sebagian orang. Sebab, zaman sekarang orang-orang sudah meninggalkan nujum yang belum tentu kebenarannya.
Dari kejauhan, sosok Mak Tum terlihat tergopoh-gopoh sembari menenteng barang bawaannya. Kehadirannya membuat warga yang sedang melayat berkasak-kusuk membicarakannya. Hal semacam ini sudah lumrah terjadi. Wanita tua yang dianggap sebagai pemberi kabar kematian dan kehamilan itu tak jarang membuat warga bergidik ngeri ketika menuturkan ramalannya. Namun, juga membuat penasaran siapa yang akan meninggal dan siapa yang akan hamil.
Mak Tum disambut baik oleh kerabat dan tetangga Pak RT. Seperti biasa, Mak Tum diperlakukan dengan istimewa. Ia dipersilakan duduk di dekat jenazah. Bu RT, juga mencoba menyunggingkan senyum untuk Mak Tum, kendati batinnya masih terguncang setelah kepergian suaminya.
Meninggalnya Pak RT membuat warga masih belum percaya. Sebab, setelah acara penyuluhan yang dilakukan Pak RT dua hari yang lalu, Mak Tum sempat membeberkan kabar yang dibawanya kepada warga yang hadir.
“Sebentar lagi akan ada kematian di RT ini,” tutur Mak Tum.
“Siapa, Mak?” Wahid, sekretaris RT menanggapi.
“Seorang priayi,” balas Mak Tum singkat.
Warga yang mendengar cerita Mak Tum saling pandang. Mereka bingung. Ada kelegaan dalam hati mereka, jikalau benar dalam waktu dekat ada yang meninggal, itu bukanlah dari keluarga mereka. Berhubung mereha hanyalah orang biasa yang tidak memiliki kedudukan tertentu dalam lapisan masyarakat. Namun, seiring berjalannya waktu, penuturan Mak Tum mulai dilupakan orang-orang.
Barulah hari ini, orang-orang kembali teringat akan ramalan Mak Tum. Tersadarlah mereka, bahwa priayi yang dimaksud Mak Tum tempo lalu adalah Pak RT.
Selain sebagai penjaga makam, Mak Tum juga kerap mengurus jenazah: memandikan, mengafani, dan juga menyiapkan ubarampe. Mak Tum dikenal sebagai orang yang tidak banyak bicara. Tidak banyak bergaul. Juga lebih tertutup dengan tetangganya. Tetapi, bila hendak mengabarkan ramalannya, Mak Tum baru banyak cakap.
“Tadi pagi usai salat Subuh, saya coba bangunkan, tapi bapak sudah kaku di atas ranjang,” Bu RT memulai ceritanya, padahal tidak ada yang bertanya. Beberapa warga manggut-manggut mendengar cerita Bu RT.
Usai segala keperluan pemakaman sudah beres, jenazah Pak RT segera diberangkatkan ke pemakaman. Namun, saat hendak berangkat, tiba-tiba Bu RT mual-mual dan tubuhnya lemas. Sepertinya masih tidak sanggup menyaksikan suaminya akan dikuburkan. Belum lagi perutnya juga belum terisi makanan sama sekali sejak pagi. Mak Tum mengoleskan minyak angin agar Bu RT sedikit tenang.
Selang beberapa saat, akhirnya prosesi pemakaman Pak RT dilanjutkan. Bu RT memaksa untuk ikut. Mak Tum turut menyertainya.
Mak Tum berjalan mendahului rombongan pengantar jenazah. Ia bertugas sebagai penabur sawur—menaburkan beras kuning dan mata uang. Barulah di belakang penabur bunga, pembawa bunga, pembawa kendi, foto jenazah, rombongan pengangkat jenazah, dan keluarga serta kerabat mengikutinya.
Langit masygul. Angin berembus pelan. Suasana duka terasa kental sekali. Beruntung, acara pemakaman berjalan lancar. Namun, Bu RT masih syok ditinggal oleh suaminya. Tubuhnya juga lemas. Kedua matanya menatap gundukan tanah yang masih basah di hadapannya. Meskipun demikian, tatapannya kosong. Mak Tum menepuk bahu Bu RT untuk memberikan dukungan.
Usai prosesi pemakaman berakhir, beberapa warga pengantar jenazah pergi meninggalkan area pemakaman. Namun, masih ada beberapa yang belum beranjak. Sepertinya ingin mengetahui ramalan yang akan dikabarkan oleh Mak Tum.
“Apa yang akan terjadi selanjutnya, Mak?” Joko, kerabat Pak RT membuka obrolan.
Mak Tum masih terdiam. Orang-orang menanti kabar apa yang akan dikatakan Mak Tum.
“Tidak ada,” Mak Tum membuka suara setelah beberapa saat. Menghela napas sebentar, “Kecuali kabar kehamilan,” lanjutnya.
“Siapa yang akan hamil, Mak?” Joko bergairah menanggapinya. Barang kali istrinya akan hamil lagi. Meski sudah memiliki empat anak yang keempatnya perempuan semua, Joko masih berharap istrinya memberikan anak laki-laki untuknya.
Ada pula Minah, wanita yang sudah menikah bertahun-tahun namun belum dikaruniai anak, juga harap-harap cemas namanya akan disebut oleh Mak Tum sebagai wanita yang akan segera hamil.
Lama sekali orang-orang menunggu, Mak Tum tak kunjung membuka suara. Lagi-lagi ia menghela napas. Namun, tarikan napasnya lebih panjang dari yang tadi. Air mukanya turut berubah.
“Kabar kehamilan berasal dari rumah almarhum Pak RT.”
Orang-orang tahu betul, di rumah Pak RT tidak ada anak gadis atau pun pasangan suami istri lagi. Sebab, selama ini Pak RT tidak memiliki anak. Pak RT hanya tinggal berdua bersama istrinya. Satu-satunya orang yang tinggal di rumah Pak RT adalah Bu RT.
Bu RT tercekat. Mengusap perutnya. Meraba-raba. Air mata kesedihannya berubah menjadi tangis haru yang selama ini ia nantikan.
KOMPAK Yogyakarta, 2021.