Reaktualisasi Jihad Santri Melalui Medan Virtual

249 views

Peringatan hari Santri setiap tanggal 22 Oktober, sebagaimana Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 22 Tahun 2015, didasarkan pada peristiwa tentang seruan Resolusi Jihad yang diprakarsai oleh ulama dan Pahlawan Nasional seperti Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari (Pendiri NU) pada 22 Oktober 1945. Dalam seruan Resolusi Jihad ini terdapat kewajiban bagi seluruh umat Islam yang berada pada jarak 94 kilometer dari medan pertempuran, untuk mengikuti perang, terutama bagi para santri bersama masyarakat melawan kolonialisme Belanda dan Sekutu yang datang lagi ke Indonesia melalui Agresi Militer I.

Seruan Jihad dalam peristiwa ini dianggap sebagai salah satu cikal bakal yang membuat Indonesia bisa berdaulat dan merdeka sepenuhnya, serta diakui secara internasional. Selanjutnya, untuk memastikan kelangsungan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang berdaulat dan merdeka sepenuhnya, maka sepirit jihat semacam ini menjadi penting dan harus dikobarkan dalam rangka agar dapat dipastikan bahwa bangsa Indonesia adalah negara yang berdaulat dan merdeka sepenuhnya.

Advertisements

Artikel tentang “Reaktualisasi Jihad Santri Melalui Medan Virtual” ini memberikan pemahaman bahwa spirit jihad dapat dilakukan dalam ruang virtual sebagai medan perjuangan, yaitu sebuah ruang yang tercipta seiring dengan perkembangan masyarakat yang ditandai dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi.

Aktivitas jihad dalam mempertahankan kedaulatan dan kemerdekaan, tidah hanya dilakukan dengan cara melawan kolonialisme seperti yang pernah terjadi pada masa perjuangan tempo dulu. Akan tetapi, jihad ini dapat dilakukan dengan cara-cara baru, salah satunya adalah dengan memahami persoalan baru yang tercipta dalam ruang baru (media siber), merupakan bagian dari jihad yang tetap harus gelorakan kembali kepada masyarakat dan kalangan santri. Mengingat, dalam lingkungan ruang baru yang tercipta ini penuh diwarnai dengan nilai kebebasan, seperti ekspresi paham ideologi keagamaan tertentu sehingga dapat memberikan ancaman terhadap kedaulatan dan kemerdekaan bangsa Indonesia.

Sekadar ilustrasi, bagaimana sengkarut kepentingan ideologi keagamaan tertentu, terekspresikan secara bebas dalam ruang-ruang media siber, sehingga paham keagamaan ini menjadi pemicu terjadinya perdebatan yang berkepanjangan di antara komunitas keagamaan. Apalagi, keberadaan paham ini dinilai dapat bertentangan dengan arah ideologi kebangsaan Indonesia.

Perdebatan ini tidak hanya ditandai oleh narasi-narasi yang bersebarangan pandangan, tetapi juga diikuti dengan percakapan yang mengarah pada tampilan teks-teks cacian, hinaan, nyinyir, bahkan juga tampilan teks yang merendahkan komunitas keagamaan lain. Keadaan ini dapat menjadikan masyarakat harus terfragmentasi ke dalam kelompok keagamaan yang saling berseberangan secara terbuka dalam ruang siber. Meskipun munculnya media siber (Cyber Media) sesungguhnya dapat berfungsi sebagai public sphere, ruang diskrusif, dan sebagai saluran bertemunya wacana sehingga dapat tercipta interaksi antar komunitas keagamaan.

Perselisihan Ideologi Keagamaan sebagai Realitas Virtual

Artikel ini menempatkan media virtual, selain sebagai medium dan saluran komunikasi juga sebagai ruang baru bagi masyarakat dalam menyampaikan gagasan politiknya maupun dalam menampilkan ekspresi paham keagamaan (Islam).

Salah satunya dapat dilihat bagaimana tampilan aktivitas dakwah Islam yang terjadi dalam ruang virtual masih banyak diwarnai narasi-narasi perselisihan di antara masyarakat. Semisal, sebuah pemahaman yang ditampilkan melalui media komunitas tertentu menekankan terhadap seruan-seruan paham khilafah kepada umat muslim, dengan dasar pemahaman bahwa khilafah sebagai ajaran Islam yang harus dilaksanakan demi terlaksananya syariat Islam secara kaffah, bahkan hukum-hukum Allah dianggap tidak akan bisa ditegakkan secara sempurna. Tentu narasi semacam ini akan menuai respon keras dari komunitas lain, karena paham semacam ini, dinilai dapat bertentangan dengan ideologi kebangsaan Indonesia.

Bisa disadari bahwa pola keberagamaan dan spiritualitas nampak mengalami perubahan, dengan terciptanya lingkungan baru ini, sehingga mampu mengubah berbagai tatanan kehidupan dalam masyarakat. Sedangkan, persoalan keberagamaan yang ditimbulkan melalui aktivisme keagamaan yang ditampilkan melalui ruang virtual ini, tidak bisa terbebaskan dari pengaruh kepentingan ideology maupun kepentingan citra (image) dan pencitraan (imagology) tertentu. Jean Francois Lyotard dan Jean Baudrillard, (Piliang, 2011) pernah menyebut imagologi ini sebagai “citra” dalam budaya popular, sementara Jacques Lacan mengenalkan imagologi ini sebagai model dari pencitraan, dilakukan melalui simulasi.

Garry R. Bunt (2003) pernah memberikan pemahaman bahwa fenomena keagamaan dalam perkembangannya banyak dihadirkan dalam ruang-ruang digital/media internet, namun, lebih menghadapkan pada realitas yang paradoks, yaitu antara ortodoksi Islam dengan realitas era digital yang heterodoks.

Pada tingkatan tertentu, sesungguhnya lingkungan Islam maya dinilai sebagai tiruan, yaitu representasi dari yang nyata, juga representasi dari yang ideal. Narasi-narasi keagamaan yang kontradiktif ini menunjukkan adanya tingkat struktur interaksi yang berbeda, dan perbedaan ini memicu terhadap munculnya persoalan baru.

Realitas keagamaan sebagaimana ditampilkan dalam media publik siber ini seolah mengabaikan ketentuan konsep ruang publik yang semestinya dijaga bersama-sama demi terwujudnya situasi kehidupan sosial ditengah ikilm demokrasi. Ruang publik siber yang cenderung bebas dan sangat terbuka luas bagi para pengguna, dapat menjadi sebab kecemasan tersendiri, karena kontradiksi ini dapat menimbulkan persoalan baru dalam beragama.

Raktualisasi Spirit Jihad Santri

Santri baik dalam konteksnya sebagai personality maupun community, melalui momentum sejarah tentang seruan Resolusi Jihad, dianggap telah sukses dalam memproklamasikan gagasan dan ide perjuangan, sehingga mewarnai terhadap perjalanan panjang bangsa Indonesia.

Resolusi Jihad bagi para santri merupakan tonggak dan akar perjuangan atas pembelaanya yang sungguh-sungguh terhadap bangsa. Sebuah gerakan Resolusi Jihad pada tanggal 22 Oktober 1945 silam, merupakan bentuk respons kalangan kiai dan santri terhadap upaya agresi militer Belanda kedua di Indonesia.

Jihad ini tidak dianggap selesai, sebab jihad dalam mempertahankan kedaulatan dan kemerdekaan bangsa Indonesia tidaklah hanya bisa dilakukan dengan melawan kolonialisme seperti yang pernah terjadi pada masa perjuangan dalam merebut atau mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Bahwa munculnya persoalan baru, seiring dengan tumbuhnya perkembangan masyarakat hari ini, tentu harus dapat dihadapi dengan semangat juang yang tinggi, bahkan jihad dalam menghadapai persoalan baru ini yang harus gelorakan kembali kepada masyarakat dan kalangan santri.

Agar setiap sudut ruang baru yang tercipta dengan penuh kebebasan ini tidak banyak diwarnai oleh tampilan paham ideologi dan keagamaan tertentu sehingga dapat memberikan ancaman terhadap kedaulatan dan kemerdekaan bangsa Indonesia.

Maka, hari santri dapat menjadi momentum dalam merefleksikan diri sebagai santri yang telah menorehkan sejarah dalam peristiwa resolusi jihad saat itu dan menunjukkan sebagai bentuk dari komitment kebangsaan, sekaligus sebagi bentuk pengkhidmatan dalam membela dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.

Kepribadian santri merupakan sebuah pancaran dari keperibadaian seorang ulama yang menjadi pemimpin dan guru bagi mereka. Spirit jihad dengan menekankan makna dan kedudukan melalui sifat-sifat ikhlas dalam perrjuangan (kerja ikhlas), harus selalu menjadi sandaran dalam segala bentuk jihad maupun perjuangan yang dilakukan untuk menggapai rida Tuhan. Itulah spirit jihad yang harus ditanamkan hingga pada generasi santri saat ini.

Media Siber sebagai Medan Jihad Baru

Media siber menjadi media publik alternative untuk perjuangan bagi santri dalam menghadapi persoalan-persoalan bangsa Indonesia hari ini. Ruang publik yang tersedia harus dipastikan dapat menjadi ruang-ruang dialog dan perbincangan publik terhadap sebuah gagasan dalam mempertahankan kedaulatan dan kemerdekaan bangsa. Kehadiran teknologi dalam aktivitas ini, tidak hanya dipandang sebagai media dalam konteks conduits atau sarana, akan tetapi juga perlu dipandang sebagai lingkungan baru yang tercipta sebagai medan jihad baru.

Jeff Zaleski, menyebut bahwa ruang siber (cyberspace) merupakan sebagai ruang virtual yang tercipta melalui koneksi internet yang dapat terbentuk ketika seorang pengguna internet melakukan komunikasi (Fakhruroji, 2017, p. 85). Munculnya media siber (Cyber Media) ini sesungguhnya dapat berfungsi sebagai public sphere, ruang diskrusif, dan sebagai saluran bertemunya wacana sehingga dapat tercipta interaksi antar komunitas keagamaan.

Karakteristik internet, terutama pada aspek interaktivitas dan konektivitas-nya, sehingga menjadikan internet sebagai media baru. Keberadaan media siber ini tidak sekadar inovasi teknologi baru, tetapi juga merupakan jenis baru dari inovasi teknologi, yang berimplikasi pada kehidupan sosial budaya sehari-hari.

Dalam konteks perkembangan ini, praktik pertemanan, persekutuan, atau perhimpunan tidak lagi membutuhkan tempat secara fisik, tetapi dapat berupa silaturahmi atau gathering dengan teman lama dapat dilakukan setiap saat.

Erica Schlesinger was (2003) melihat internet merupakan media yang demikian cepat memengaruhi cara orang belajar, berkomunikasi, dan melakukan aktivitas bisnis. Castell (Robert,2004), memandang bahwa internet sebagai perangkat teknologi yang berbentuk organisasional dapat mendistribusikan kekuatan informasi sehingga mampu memunculkan pengetahuan dengan kapasitas jejaring dalam semua ranah aktivitas manusia.

Dalam konteks untuk kepentingan jihad, sebagai upaya berjuang dalam mempertahankan ideologi kebangsaan Indonesia, maka kehadiran Islam dalam ruang virtual sebagai ruang publik baru ini, harus dilakukan dengan penuh kebijaksanaan dan kehati-hatian, sebagaimana spirit jihad yang mengedepankan nilai-nilai keislaman dan dapat menjaga kepentingan publik. Karena, tidak seluruh ruang publik dapat diwarnai dan dimasuki oleh agama, kecuali hal-hal yang bersifat rasional.

Dalam konteks ini, Rowls (Menoh, 2013) menyebut legalitas agama dalam lingkungan demokrasi semestinya hanya berada pada ranah yang bersifat rasional (publicreason). Sedangkan, Masdar Hilmy menegaskan kehadiran agama dalam lingkungan demokrasi dinilai absah-absah saja, karena ruang publik baru ini, selain dapat menjunjung nilai demokrasi, juga terbuka terhadap partisipasi keberagaman masyarakat (Hilmy, 2008).

Tampilnya agama dalam ruang publik, juga dipastikan akan dapat menimbulkan kerentanan tersendiri bagi demokrasi yang sedang berlangsung. Maka kehadirannya harus mampu menjaga dirinya, sehingga tidak memberikan ancaman terhadap demokrasi.

Jihad di ruang virtual, sebagai aktivitas relasi antara dunia maya dan pengalaman berkomunikasi secara online dapat dilakukan secara efektif dalam ranah maya. Artinya, dalam aktivitas ini menunjukkan sebuah upaya yang diusahakan untuk mengelola  hubungan dan pesan dalam sebuah imajinasi, yang selanjutnya disebut oleh Bob Julius Onggo (2004) sebagai ‘teater gagasan’. Sehingga, keberadaan ruang ini dapat menjadi jembatan komunikasi antara santri dan pesantren dengan masyarakat, agar tercipta saling pengertian antara keduanya, yang pada akhirnya akan tercipta sebuah kebersamaan dalam mempertahankan bangsa Indonesia dari ancaman apa pun. Situasi inilah yang kemudian bisa memastikan bahwa santri tetap dapat melakukan jihad meskipun berada dalam perkembangan teknologi komunikasi baru.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan