Refleksi Harlah Ke-102 NU: Fenomena “NU Remang-remang” di Mandar 

1 view

Nahdlatul Ulama (NU) remang-remang di Mandar. Barangkali, itulah kalimat metafora yang sesuai untuk menggambarkan situasi NU di Tanah Mandar saat ini. Khususnya di kampung-kampung pelosok Majene, Sulawesi Barat.

Metafora itu tergambar ketika kita mengunjungi beberapa desa di pelosok-pelosok Mandar. Sebutlah Desa Kayuangin, Lombang, Bambangan, dan desa-desa lainnya. Ada kenyataan yang paradoksal di sana. 

Advertisements

Tahlilan, yasinan, maulid, dan berbagai ritual keagamaan khas NU masih hidup di tengah masyarakat. Namun, ketika ditanya apa itu NU, kebanyakan orang hanya terdiam. “Kita ikut Annangguru saja,” begitulah kurang-lebih jawaban mereka.

Fenomena yang sama juga terjadi di belahan Mandar yang lain. Tepatnya di Pasangkayu, Kabupaten Mamuju. Hal itu pernah diungkapkan oleh KH Asad, Wakil Ketua PCNU Pasangkayu, Sulawesi Barat. Menurutnya, masyarakat tidak tahu tentang NU, tapi kalau mereka dibilang Muhammadiyah, mereka akan marah (Aryudi, 2019).

Kenyataan tersebut semestinya menjadi renungan bagi kita warga Nahdliyyin dalam suasana peringatan Harlah ke-102 NU saat ini.

Kenapa fenomena ini bisa terjadi?Bagaimana mungkin NU, sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia, yang akarnya tertanam kuat dalam tradisi masyarakat, justru tampak samar di tempat di mana ajarannya tetap diamalkan? Apa yang menyebabkan identitas NU tidak dikenali, bahkan oleh masyarakatnya sendiri?

Pencarian Identitas

Identitas ke-NU-an di kampung-kampung pelosok Mandar bersifat kultural, bukan struktural. Orang-orang menjalankan amaliah NU, tetapi mereka tidak mengasosiasikan diri dengan NU secara sadar, secara kelembagaan.

Hal ini terlihat pada generasi muda. Ketika generasi muda ini merantau ke kota untuk melanjutkan pendidikan, mereka bertemu dengan kelompok lain yang lebih sistematis dan ideologis dalam menawarkan ajaran Islam. Akibatnya, mereka mulai mempertanyakan praktik keagamaan yang selama ini mereka jalani di kampung. 

Di sisi lain, orang tua mereka pun tak mampu memberikan jawaban ketika generasi muda bertanya, “Kenapa kita melakukan ini?” Sebab mereka mengamalkan NU bukan karena kesadaran organisasi, tetapi karena warisan tradisi semata.

Sehingga, tidak sedikit dari mereka yang akhirnya beralih ke pemahaman Islam yang lebih tekstual dan skriptural. Mereka mulai meninggalkan amaliah yang diwarisi dari orang tua mereka.  

Situasi yang demikian ini, menurut Stuart Hall, disebut sebagai dislokasi identitas. Ia mengungkapkan, bahwa keadaan dunia terus bergerak, identitas tidak pernah statis; ia berubah sesuai dengan lingkungan dan pengalaman individu. Dislokasi membuka pintu kemungkinan bagi artikulasi baru, pembentukan identitas baru, dan produksi subjek baru (Laclau, 1990).

Dengan demikian, identitas ke-NU-an di kampung-kampung pelosok Mandar sangat ditentukan oleh pengetahuan, pemahaman, dan kesadaran masyarakat.

Ketidakhadiran NU 

Sesungguhnya, hilangnya pengaruh NU bukan semata-mata karena adanya kelompok lain yang “merebut” jemaahnya. Tetapi, karena NU sendiri yang “gagal” hadir dalam membentuk narasi ke-NU-an kepada masyarakatnya.

Pada saat yang sama, masjid-masjid dan musala yang dulu dipenuhi dengan ulama-ulama yang mewakili tradisi NU, kini mulai diisi oleh kelompok lain yang lebih aktif menyebarkan ajaran mereka. Mereka memperkenalkan diri, membangun narasi, bahkan tidak jarang menyerang tradisi-tradisi amaliah NU yang sudah mengakar di masyarakat (Wahid Abdurrahman, 2009).  

Ini bukan sekadar persoalan dakwah, tetapi persoalan kehadiran. Jika NU tidak hadir di tengah-tengah mereka dengan narasi yang kuat, maka wajar jika masyarakat mulai berpaling mencari jawaban ke kelompok lain.

Menguatkan Modal Sosial

Pierre Bourdieu mengungkapkan, sebuah kelompok bisa bertahan, jika memiliki modal sosial yang kuat. Modal sosial itu, antara lain: jaringan sosial, kepercayaan, dan keterikatan antaranggota (W Listiani, 2013).

Jika kita ingin melihat NU kuat di Mandar, maka NU tidak bisa dibiarkan sekadar menjadi bayangan. Ia harus hadir kembali, bukan hanya dalam bentuk ritual, tetapi juga dalam bentuk pengetahuan, pemahaman, dan kesadaran. Untuk itu, kita membutuhkan langkah-langkah konkret yang perlu (segera) dilakukan.

Pertama, kaderisasi secara masif dan berbasis kearifan lokal. Kaderisasi tidak boleh hanya dilakukan di pinggir-pinggir perkotaan, tapi juga harus sampai ke dalam pelosok-pelosok perkampungan. Selain itu, bentuk kaderisasi yang dilakukan perlu mempertimbangkan kearifan lokal di setiap daerah. Sebab setiap daerah memiliki nilai, norma, dan karakter (kekhasannya) masing-masing.

Dengan mempertimbangkan nilai-nilai tersebut, maka NU akan lebih mudah diterima. Lebih dari itu, akan lahir NU yang khazanah (kaya akan nilai kearifan lokal), tumbuh sesuai dengan kekhasan yang dimiliki setiap daerah. Dalam konteks Mandar, maka kita mengharapkan lahir dan tumbuhnya NU khas Mandar.

Kedua, program yang menyentuh langsung kebutuhan masyarakat. Sebagai warga Nahdliyyin, kita tidak boleh lagi terjebak dan berkutat pada persoalan yang itu-itu saja. Seperti: kebolehan maulid nabi, kesunnahan membaca qunut subuh, atau keberkahan membaca barzanji. Sebab, sudah banyak penjelasan mengenai itu. Bukan tidak penting, tapi ada hal yang lebih penting dan mendesak untuk segera dilakukan. Seperti: membantu fakir miskin, anak yatim, dan seterusnya. NU harus kembali, menjadi pelindung, pengayom, dan penyokong masyarakat kecil.

Ketiga, menguatkan kesadaran identitas. Dengan adanya fenomena paradoks di atas, sosialisasi tentang NU perlu dilakukan. NU sebagai organisasi keIslaman harus diperkenalkan, termasuk visi-misinya. Masyarakat harus mengetahui dan memahami, bahwa kehadiran NU bukanlah sebagai pembawa ajaran baru di masyarakat. Tetapi, sebagai pijakan dalam mengamalkan tradisi keagamaan (Islam) yang selama ini mereka kerjakan. Sebab NU sebagai organisasi yang besar, sanad keilmuannya sampai kepada Rasulullah.

Keempat, mengisi kembali masjid dan musala. NU harus kembali hadir di masjid-masjid dan musala. Di sana, kajian-kajian tentang Islam Ahlus Sunnah wal Jamaah (Aswaja) terus digalakkan secara konsisten dan sistematis.

Lebih penting dari itu, pemahaman Aswaja yang dikembangkan tidak boleh berhenti pada level doktrin ideologi semata. Tetapi sampai pada level kerangka berpikir, sehingga Aswaja-NU tetap relevan dengan konteks kekinian. Jika tidak, masjid-masjid dan musala yang dulunya diisi oleh pengamal tradisi NU, akan diambil alih oleh kelompok lain untuk menyebarkan paham keagamaan mereka.

Kelima, menguatkan sekolah dan madrasa. Di sekolah-sekolah yang tidak berafiliasi dengan NU sangat rentan tersusupi oleh paham-paham yang anti terhadap amaliah NU. Oleh karena itu, sekolah-sekolah harus menjadi perhatian kita. Sebab, sekolah adalah tempat generasi muda menimba ilmu, termasuk di dalamnya ilmu agama Islam. Tentu kita mengharapkan, generasi muda kita belajar ilmu agama yang benar.

Kembali ke Awal

Apa yang saya sebutkan dalam poin-poin di atas, sesungguhnya telah tertuang dalam Statuten Perkoempoelan Nahdlatoel Oelama tahun 1926, yang bunyinya:

“Mengadakan perhoeboengan di antara Oelama-oelama jang bermadzhab, soepaja diketahoei apakah itoe dari kitab-kitab Ahli Soennah wal Djama’ah atau kitab-kitab Ahli Bid’ah. Menjiarkan agama Islam berazaskan pada madzhab empat dengan djalan apa sadja jang baik, berikhtiar memperbanjak madrasah-madrasah jang berdasar agama Islam, memperhatikan hal-hal jang berhoeboengan dengan masdjid-masdjid, soeraoe-soeraoe, dan pondok-pondok, begitoe joega dengan hal ihwalnja anak-anak jatim dan orang-orang jang fakir miskin, serta mendirikan badan-badan oentoek memajoekan oeroesan pertanian, perniagaan jang tiada terlarang oleh sjara’ agama Islam” (Choirul Anam, 2010).

Jika kita ingin NU tetap hidup di Mandar,  maka kita harus kembali ke semangat awal itu.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan