Refleksi Qada dan Qadar Manusia

939 views

Semenjak lahir, manusia telah dibekali kemampuan berpikir oleh Tuhan. Manusia adalah makhluk yang paling sempurna di antara semua makhluk Tuhan, sebagaimana yang tertera di dalam Al-Quran, surat at-Thin, ayat 4: “Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang paling bagus.”

Di dalam pepatah Arab disebutkan bahwa manusia adalah “hayawanun natiq” (hewan yang dapat bicara). Wajar saja, banyak di antara manusia yang berlagak seperti hewan: rakus, sering anarki, dan onar. Itu menunjukkan, bahwa manusia memiliki sifat primordial, yaitu tingkah laku yang mirip dengan binatang.

Advertisements

Berbeda dengan makhluk lainnya, manusia diberikan iradah juz’iyyah (hak untuk menentukan sebagian pilihan), meski pada akhirnya iradah itu tidak akan terealisasiakan tanpa memiliki keselarasan dengan iradah kulliyah-nya (hak priogratif) Tuhan.

Namun, karena dikuasai rasionya, banyak manusia yang bahkan tak memahami hal itu. Kebanyakan dari mereka menyangka, bahwa apa yang mereka capai adalah tanpa intervensi Tuhan. Padahal, termaktub dalam Dalail al-Khoirot: “Wala yashduru min abidihi qoulun wala fi’lun wala kharokatun, illa waqod sabaqo fi qodho’ihi wa qodarihi,” semua yang ada pada manusia, meliputi ucapan, pekerjaan, dan gerak-gerik adalah telah tergariskan sebelumnya di dalam qada dan qadar Tuhan.”

Memang, di dalam Al-Quran surat al-Hadid ayat 21 dijelaskan: “Sesungguhnya Allah Swt tidak akan mengubah (keadaan) suatu kaum sebelum mereka mengubah apa yang ada pada mereka sendiri.” Ayat ini merupakan qadar muallaq, yaitu ketentuan yang dapat diubah menurut nurani individual setiap insan.

Adalah kewajiban bagi setiap umat Islam iman terhadap qada dan qadar. Qada adalah ketentuan Allah pada setiap manusia. Sedangkan, qadar adalah bentuk dari realitas qada itu sendiri. Seperti contoh: qada si A mati hari Selasa, jam sekian, di tempat ini, maka pada hari Selasa, si A mati persis sebagaimana qadanya.

Qadar dibagi menjadi dua macam, yaitu: qadar mubrom dan qadar muallaq. Qadar mubrom adalah ketetapan yang tidak dapat diubah, seperti rezeki, umur, jenis kelamin, dan lain sebagainya. Adapun, qadar muallaq adalah ketetapan yang dapat diubah, seperti yang telah dijelaskan di muka. Namun, meski demikian, ketetapan itu tetap akan muwaffiq (cocok) dengan ketetapan Allah.

Lantas, apakah maksiat termasuk qadar Allah?

Pertanyaan ini sering dijadikan alibi oleh kaum orientalis. Dari celah itu, mereka mengimprovisasikan kepada khalayak, bahwa manusia diberikan hak sepenuhnya untuk menentukan garis nasibnya sendiri.

Padahal, ulama menyatakan: Man khammala danbahu lillah, faqod fajaro, barang siapa menjustifikasikan kemaksiatan atas nama Tuhan, maka ia benar-benar telah nista. Islam mengajarkan khusnudzon kepada Allah. “Ana indza dzonni abdi bi,” Aku (Allah) menurut sangkaan hambaku terhadapku.

Banyak orang yang lalai dalam melakukan amal; Ketika beramal baik, ia seakan sangat dilihat dan diawasi oleh Tuhan, sedangkan ketika melakukan maksiat, kebanyakan manusia menghilangkan ke-maha melihatanNya.

Dari hal yang telah disebutkan di atas, telah nampak jelas bahwa hakikat manusia dengan segala bentuk perbedaan dan keanekaragaman adalah sunnatullah. Jika dirimu ditakdirkan oleh Tuhan menjadi seorang yang ahli dan pintar, bersyukurlah. Apa yang kau sombongkan dari sesuatu yang sedari awal kau tidak mengetahuinya?

Apa pun yang kau lakukan, adalah bentuk usaha mencapai qada’. Semua yang kau lakukan tidak bisa kau pastikan. Lihatlah, berapa banyak orang yang pada awalnya paham agama, kemudian, karena diiming-iming harta menjadi meninggalkan agamanya? Sebalikanya, berapa banyak penjahat yang pada akhirnya bertaubat dan menjadi manfaat di kalangan umat?

Setiap manusia boleh mengekspetasikan masa depan, namun tidak hanya sampai pada batas pemahaman itu saja. Misalnya, melupakan kewajiban beribadah demi sebuah pekerjaan. Ada sebuah adagium yang mengatakan: usaha tanpa doa adalah sombong; doa tanpa usaha adalah bohong.

Suatu hari, ada seorang wali yang hidup sengsara di sebuah desa. Ia mengeluh kepada Allah karena setiap hari harus mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Ia berdoa kepada Allah: “Ya Allah, berikanlah aku rezeki tanpa harus susah payah bekerja.”

Syahdan, beberapa hari setelah khusyu berdoa, seseorang menyeretnya ke dalam sebuah penjara. Di penjara, ia dikasih makan dan minum setiap hari. Ia mengeluh kepada Allah atas nasib yang menimpanya.

Allah menjawab: “Bukankah ini yang kau minta? Kau meminta agar tetap bisa makan tanpa harus susah payah bekerja.”

Sang wali pun sadar. Ia beristighfar kepada Allah karena kelalaian yang dilakukannya.

Oleh sebab itu, sebaik apa pun langkahmu, pada akhirnya akan mencapai qadamu. Namun, apa pun qadamu, jika Tuhan meridaimu, hidupmu akan tetap tenang dan aman.

Wallahu a’lam bisshowab.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan