Agama dan budaya ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Budaya sarat akan nilai-nilai spiritualitas sebagai perwujudan dari ajaran agama. Sementara agama membutuhkan budaya sebagai tempat aktualisasi dari nilai-nilai agama.
***
Konflik kultural kembali merebak di jagat maya Indonesia. Sebuah video menunjukkan seorang pria menendang sesajen di kawasan erupsi Semeru menuai kecaman dari warganet. Menurutnya, sesajen tidak sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya (baca: Islam). Namun, bagi publik, tindakan pria tersebut terlalu arogan dan dapat menyakiti hati para penganutnya.
Dalam video yang sempat trending di media sosial tersebut tampak seorang pria membuang sebuah sesajen diiringi perkataan, “Ini yang membuat murka Allah. Jarang sekali disadari bahwa inilah yang justru mengundang murka Allah, hingga Allah menurunkan azabnya. Allahu Akbar,” ujarnya dalam video tersebut.
Tidak dapat dimungkiri, Indonesia terbentuk dari keberagaman. Terdiri dari bermacam agama, suku, budaya, ras, dan golongan. Dalam masyarakat multikultur yang demikian, seringkali terjadi benturan berupa konflik antarkelompok yang berdampak pada pola kehidupan bermasyarakat.
Bukan tanpa sebab, konflik masyarakat seringkali meledak di beberapa wilayah Indonesia. Adanya sikap etnosentrisme yang menganggap kelompok lain lebih rendah daripada kelompoknya, hal ini dapat menimbulkan konflik hingga berbuntut pertikaian.
Konflik budaya menjadi permasalahan pelik ketika dikotomi isu agama. Sebagaimana disinggung di awal, agama dan budaya memiliki keterkaitan yang sangat erat. Agama adalah sesuatu yang bersumber dari Tuhan, sedangkan budaya adalah cipta, rasa, dan karsa dari manusia. Keduanya memiliki relasi timbal balik yang dapat saling memperkaya ajaran agama maupun khazanah kebudayaan.
Akan tetapi, realitasnya budaya kerap dibenturkan dengan ajaran agama. Beberapa budaya memang bertentangan dengan agama. Namun, budaya yang demikian tidak serta-merta ditiadakan begitu saja. Budaya tersebut diinfiltrasi nilai-nilai agama agar menjadi budaya yang beragama.
Ada pula budaya yang selaras dengan ajaran agama tertentu, namun bertolak belakang dengan agama lainnya. Akar permasalahan ini kurang lebih sama dengan kasus pembuangan sesajen di kawasan erupsi Gunung Semeru yang menganggap sesajen bertentangan dengan ajaran agama Islam.
Namun, bagaimana dengan tindakan yang dilakukan pria dalam video pembuangan sesajen? Hemat saya, jika memang tujuannya dakwah, tidak sepatutnya dilakukan dengan sikap arogansi. Dari tindakannya semakin menunjukkan betapa rentannya sikap menghargai, kentalnya prasangka, dan rendahnya pengertian antarkelompok. Dakwah tidak serta-merta dilakukan dengan menghakimi suatu budaya/tradisi yang sebetulnya adalah ajaran agama tertentu. Tetapi diperlukan suatu pendekatan dan pengkajian, karena mengingat Indonesia adalah negara majemuk dengan pelbagai keragamannya.
Menukil pernyataan Habib Husain Ja’far, kebudayaan merupakan lingkup terbesar dari dimensi manusia, di mana agama merupakan bagian dari kebudayaan itu sendiri. Hanya saja manakala ada benturan antara kebudayaan dengan agama, maka agamalah yang harus dimunculkan, karena agama merupakan bagian dari budaya itu sendiri. Inilah jalan menciptakan harmonisasi beragama di Indonesia.
Menilik pernyataan Agus Akhmadi dalam Jurnal Diklat Keagamaan Vol. 13 No. 2 Februari—Maret2019 yang berjudul “Moderasi Beragama dalam Keragaman Indonesia” ia mengatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara pluralistik dan memiliki dua modalitas penting untuk membentuk karakternya yang multikultural, yaitu demokrasi dan kearifan lokal (local wisdom) sebagai nilai yang dipercaya dan dipahami dapat menjaga kerukunan umat beragama.
Dari kedua pernyataan tersebut, semakin menguatkan keterhubungan antara agama dan budaya yang tidak seharusnya dibenturkan. Sejenak bernostalgia ihwal kepercayaan nenek moyang yang menganggap setiap malam Jumat roh gaib akan datang dan tuan rumah harus menjamu mereka dengan makanan dan minuman. Berdasar ajaran Islam, tentu tradisi ini bertentangan karena terindikasi perbuatan menyekutukan Allah SWT. Akan tetapi, lama-kelamaan ajaran agama mulai mengakulturasi budaya tersebut dengan menyisipkan nilai-nilai ketauhidan di dalamnya. Budaya menjamu roh gaib setiap malam Jumat perlahan berganti dengan kegiatan pengajian yang bermuara semata-mata untuk lebih mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.
Barangkali pula sejenak membaca kisah Wali Songo dalam menyebarkan agama Islam di pulau Jawa melalui pendekatan budaya yang disisipi nilai-nilai Islam. Bercermin dari mereka, dakwah tidak mesti dilakukan dengan pendekatan yang kaku. Tetapi diperlukan sikap lembut dan keramahtamahan dalam melakukannya.
Sudah semestinya mengedepankan sikap legawa berupa pengakuan atas keberadaan pihak lain, memiliki sikap toleran, penghormatan atas perbedaan pendapat, dan tidak memaksakan kehendak terhadap orang lain. Pun pemahaman bahwa di mana tempatnya tentulah terdapat berbagai macam kepercayaan, budaya, dan tradisi yang berbeda-beda. Sikap toleransi dan pemahaman bahwa semua orang memiliki hak untuk mempercayai suatu agama, budaya, dan tradisi tertentu sangat diperlukan, bukan berdasar kepada kelompok mana yang paling mendominasi dan mana yang tidak.
Misi dakwah yang dipengaruhi sifat egoisme hendaknya perlu direkonstruksi ulang. Sebab, dakwah adalah sesuatu yang baik. Maka seyogianya dilakukan dengan cara yang baik pula, bukan merendahkan dan menghina kepercayaan maupun budaya orang lain. Sebagaimana Islam adalah agama rahmatan lil alamin, sudah sepatutnya menegakkan ajaran Islam dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, tidak disikapi dengan fanatik buta. Melainkan dilakukan dengan menjunjung tinggi sikap toleransi, kerukunan, serta kedamaian antarkelompok. Wallahualam.
One Reply to “Relasi Agama dan Budaya”