Manusia merupakan makhluk sosial. Maka dengan sandangan kata sosial mengharuskannya berinteraksi dengan sesamanya untuk hidup berdampingan dengan saling membutuhkan.
Namun, benarkah manusia adalah makhluk sosial? Belakangan ini, manusia sudah tidak bersosial sebagaimana mestinya. Interaksi sudah semakin buruk dengan berkembangnya teknologi. Manusia bergantung padanya dalam segala hal seolah tak ada sedetik pun melewatkan hidup tanpanya.
Teknologi bukan lantas momok menakutkan yang harus dihindari. Bahkan dengan tidak berteknologi akan membuat kita menjadi pribadi kolot yang akan tergerus perkembangan zaman.
Teknologi diciptakan untuk mempermudah manusia. Perlu digarisbawahi cuma sebatas “mempermudah” bukan “menggantikan” pekerjaan manusia. Manusia memanfaatkan teknologi bukan sebagai alat untuk meringankan perkerjaan, melainkan sebagai tenaga kerja, pembantu atau asisten rumah tangga untuk melakukan pekerjaannya.
Hal tersebubt merupakan mindset yang terbangun karena candu akan kenyamanan dan kepraktisan sehingga membuat manusia bermalas-malasan. Maka perlu diingat bahwa perlu adanya kontrol diri dari manusia sebagai makhluk pencipta teknologi agar tak mendistorsi, dikontrol teknologi.
Kita harus pandai dalam membedakan dampak teknologi—positif-negatifnya. Kita terlalu menyambut baik kehadiran teknologi di tengah-tengah kita. Teknologi menjadi “pahlawan” dalam kehidupan kita tanpa sedikit pun mempertanyakan, mencermati, dan mengkritisi dampaknya lebih dulu.
Di sini, kita akan membicarakan soal dampak negatif—dampak positifnya tidak menjadi persoalan yang pas untuk diprihatinkan—yang dapat merusak terhadap mental dan moral. Kita harus menghadapi era revolusi digital agar kita tetap survive dengan perkembangan zaman, tentunya dengan bekal kesiapan mental.
Manusia telah mendigitalisasi hampir segala hal dalam hidupnya. Memperalat teknologi sebagai media kebebasan dari hal-hal yang bersifat realitas. Menganggap bahwa dengan berkomunikasi dan berinteraksi melalui media digital dapat memberikan ruang sepenuhnya bagi dirinya. Kebebasan yang sesungguhnya.
Namun benarkah itu kebebasan? Saya lebih suka menyebutnya sebatas menghindar, sebagaimana pernah disinggung oleh F. Budi Hardiman dalam bukunya Aku Klik, Maka Aku Ada, bahwa manusia era ini cenderung takut menghadapi dunia nyata dengan fakta-fakta yang tak bisa di-skip sebagaimana di dunia maya—kalau tak suka. Interaksi sosial seolah musnah di tengah-tengah kita dan tergantikan oleh interaksi digital yang cakupannya luas dan universal.
Cogito ergo sum, bergitulah filsafat mengemukakan esensi keberadaan manusia sesungguhnya. Cogito yang mengartikan “berpikir” dan sum “ada” maka sederhananya, esensi keberadaan manusia ditinjau dari pikirannya. Dan kata “berpikir” bukan kata pasif sebagai alat tetapi kata aktif sebagai pekerjaan. Dalam artian melakukan aktivitas berpikir bukan pikiran apalagi dipikirkan. Manusia itu ada karena dirinya sendiri.
Namun belakangan ini, di era post-modern, digitalisasi menjadi tak terbendung. Manusia bergantung pada mesin yang menggatikan pekerjaannya—termasuk berpikir—bukan hanya sekadar mempermudah sebagaimana pula diungkapkan oleh Einsten bahwa teknologi sudah sangat jelas melampaui kemanusiaan kita. Dalam artian teknologi sudah melebihi dari entitas manusiawi. Homo sapiens telah tergantikan dengan homo digitalis sebagai julukan untuk manusia dalam era revolusi digital.
Hal tersebut bukan tak beralasan. Saya beri contoh konkret di kalangan pelajar. Dengan adanya google translate, adakah siswa yang masih sudi mencari kata demi kata dalam kamus untuk menerjemahkan suatu kalimat? Mungkin ada, tapi saya sungguh tak yakin akan hal itu. Mereka lebih memilih browsing daripada thinking.
Mengapa demikian? Karena mental mereka sudah terbangun mindset “instan” yang mengharuskannya bekerja cepat. Bahkan mirisnya, hidup mereka juga demikian, dijadikan serba elastis dan instan dan tak menghiraukan pentingnya “berjuang.”
Jika pepatah mengatakan satu dayung dua pulau terlampaui, maka saya istilahkan era digital ini dengan satu klik seluruh planet kita kuasai. Interaksi digital membuka ruang yang cakupannya sangat luas. Pertukaran budanya, disintegrasi, radikalisme, hingga fanatisme bermula di sana. Manusia merasa bahwa dirinya adalah subjek dari keberadaan teknologi. Merasa bahwa ia telah mengendalikan kuda liar bernama “teknologi.” Padahal justru sebaliknya.
Keproaktifan dalam dunia digital membuat sistem semakin mengenal kita, tentang hal yang kita suka dan tidak. Semakin aktif kita di media sosial, maka semakin banyak pula data diri yang kita berikan, yang nantinya akan menjadi alat sebagai objektifikasi.
Sederhananya demikian, kita memiliki sebuah akun—entah Tik-tok atau Instagram. Reels yang kita tonton itu adalah sebuah data diri yang kita berikan pada sistem, dan perlu diingat, kita bagi secara percuma, gratis tanpa syarat.
Dengan begitu, maka sistem akan memberikan lebih banyak reels yang demikian dan terus berganti sesuai keinginan dan dominasi tontonan kita. Sehingga membuat kita candu, secandu-candunya.
Ini bukan sebuah dikotomi untuk melumpuhkan penggunaan teknologi—meski tak akan lumpuh sedikit pun. Hanya sekadar refleksi bahwa kita selaku manusia yang kalau boleh dikata sebagai mahluk paling sempurna dengan akalnya, seyogianya menyadari akan hal-hal atau dampak yang dapat merusak kita, ideologi dan bangsa. Kita terlalu larut dalam kenyamanan sehingga selalu berniat untuk menghindar dari kesusahan dan keterpurukan. Mental pejuang sudah mulai lenyap seiring tak mampunya kita menggunakan pikiran akal sehat yang cemerlang.
Mengakhiri tulisan ini, mari kita analogikan bersama tentang teknologi. Ibaratkan saja teknologi sebagai gizi, siapa yang menganggap gizi itu tak baik? Tentu hanya orang gila. Namun kita semua juga tahu bahwa kelebihan gizi dapat menyebabkan obesitas, dan itu berbahaya. Sama halnya dengan teknologi. Maka kita perlu untuk mengatur, menakar, dan mengkritisi tentang dampak positif-negatif teknologi terutama dalam digitalisasi. Dan yang terpenting, fungsikanlah thinking bukan searching.