“RISBANDI: Metode Efektif Pembelajaran Pondok Salaf

72 views

Saya akan bercerita di bawah lingkaran konsep yang dirumuskan oleh guru saya, Gus Ahmad Faiz Abiyoso, S.Ars. Gus Faiz mengungkapkan, ada 4 metode belajar yang harus diterapkan untuk menyukseskan pembelajaran di pesantren salaf. Keempat metode ini harus berjalan dengan baik kalau ingin hasilnya betul-betul maksimal. Hasil maksimal yang dimaksud adalah santri menguasai materi dengan baik di luar kepala.

Selain itu, santri juga memiliki kepekaan atau rasa bahasa yang baik pula. Ini sangat penting karena tanpanya, seorang santri akan amat kesulitan membaca kitab kuning. Atau kalau tidak, pembacaannya akan banyak salah. Dan itu bahaya. Setelahnya, santri juga harus mempunyai persediaan kosa kata yang banyak, sehingga tidak perlu terlalu sering membuka kamus. Terakhir, santri dapat berpikir secara sistematis, lalu menyampaikan hasil pemikirannya, mempertahankan itu dengan argumen-argumen logis, sekaligus mampu mengkritisi pemikiran teman diskusinya yang tidak logis.

Advertisements

Saya akan coba mengurainya satu per satu bersamaan dengan menceritakan pengalaman saya selama belajar di sini (Pondok Pesantren Fadlun Minallah Bantul) menggunakan metode tersebut. Saya mengistilahkannya dengan metode RISBANDI: Ringkasan, Sorogan, Bandongan, dan Diskusi.

 Pertama: Metode Ringkasan

Metode ringkasan ini tujuan akhirnya adalah penguasaan materi. Saya sebagai santri lawas sejak delapan tahun yang lalu belajar ilmu nahu-saraf tidak dengan metode ini. Saya dan kawan-kawan seangkatan belajar teori nahu-saraf bab demi bab, kemudian sedikit demi sedikit mulai diselingi praktik.

Memang bukan metode yang buruk, sebab buktinya, kami bisa membaca huruf-huruf yang gundul itu. Hanya saja, rupanya, teori yang kami pelajari seiring dengan praktik-praktiknya itu tidak bertahan lama di ingatan. Kami bisa membaca kitab kuning, akan tetapi kalau diminta untuk membredel atau mengupas teks secara mendalam berdasarkan teori, tidak bisa. Kami hanya mengandalkan ‘pengalaman dan rasa bahasa’.

Inilah kenapa teori nahu-saraf akhirnya harus dibuat ringkasan sehingga lebih mudah untuk dihafalkan. Dengan cara begitu, teori akan lebih erat melekat di ingatan santri. Kalaupun toh ternyata lupa, materi yang ringkas tentu tidak akan memakan waktu terlalu banyak untuk dipelajari ulang. Sebab, kendala yang saya pribadi rasakan selama ini adalah ‘malas’ dalam ‘mengulang materi yang telah lalu’ karena terlalu banyak dan makan waktu yang tak sedikit.

Dengan diterapkannya metode ini, santri-santri yang usia mondoknya sekarang kira-kira tiga atau empat tahun, tampaknya bisa lebih menguasai materi jika dibandingkan dengan saya. Kalau mereka ditanyai tentang materi A, misalnya, mereka akan dengan tangkas menjawab ­das des das des. Sementara saya, tentu lain. Saya perlu menutup muka karena malu, kalau berurusan dengan sistematika materi nahwu sampai ke detail-detail. Di dalam kepala saya, materi-materi itu amat berantakan. Saya membayangkan sebuah rumah yang sangat besar dan banyak isi ruangannya, tetapi sekaligus sangat tidak teratur. Begitulah gambaran sederhana isi kepala saya sekarang.

Terlepas dari semua itu, saya senang sekali melihat perkembangan yang ada. Metode yang dirumuskan dan diperjuangkan oleh Gus Faiz dan seluruh jajaran Qori’in-Qori’at sudah mulai menampakkan harum matang buahnya. Musim panen tak lama lagi. Entah kenapa saya sangat yakin dengan yang satu ini.

 Kedua, Metode Sorogan

Metode ini bertujuan untuk mengasah rasa bahasa santri dan kemampuan mereka menganalisis redaksi kitab kuning yang gundulan itu. Persoalan ini harus dibuatkan metode khusus karena memang tenanan tidak bisa dicapai dengan metode pertama, yakni ringkasan, yang mana bertujuan untuk menguasai materi.

Akan tetapi, penguasaan materi yang baik, tentu akan jauh lebih memudahkan santri dalam melakukan analisisnya, sembari perlahan-lahan menghaluskan rasa bahasa. Artinya apa? Kedua metode tersebut kalau dilaksanaan bersamaan akan bersinergi dan saling mendukung satu sama lain.

Saya ingat sekali bagaimana dulu ketika awal-awal mengikuti sorogan. Begitu senang. Begitu bangga. Seolah bunga-bunga bermekaran di dalam hati dan otak saya. Tetapi, ada beberapa perbedaan dengan yang berlangsung sekarang. Dulu sorogan dilaksanakan pada permulaan malam, selepas salat maghrib. Bersamaan dengan itu, sorogan Al-Qur’an juga dilaksanakan. Tempatnya bersebelahan. Santri bebas memilih apakah mau sorogan Al-Qur’an dulu atau sorogan kitab dulu. Itu disesuaikan dengan kondisi.

Kalau sekarang waktunya berubah. Sorogan kitab dan sorogan Al-Qur’an sama-sama dilaksanakan sore hari selepas dilaksanakannya jamaah salat ashar, menggantikan rutinitas bandongan akbar yang diampu oleh Qori’in. Kalau dulu hari Minggu sorogan libur, sedangkan sekarang tidak. Minggu sore yang sorogan Al-Qur’an tetap sorogan Al-Qur’an, sedangkan yang sorogan kitab diganti setoran hafalan. Ada yang hafalan nazom kaidah i’rob, nazom balaghoh, ada juga yang hafalan matan kitab Jurumiyah.

Ketiga, Metode Bandongan

Metode ini berfungsi untuk memperbanyak kosa kata dan pemahaman santri. Secara khusus metode ini diterapkan di kelas, bukan di majelis bandongan akbar yang mana dihadiri oleh seluruh santri baik putra maupun putri. Mengapa demikian? Bandongan di kelas bisa membaca maqro’ (teks kitab) sebanyak mungkin, sementara santri memaknai kata per kata. Itu akan membuat mereka tahu banyak kosa kata. Tak hanya itu, santri juga akan tahu cara bacanya. Kalau belum paham, setidaknya sudah pernah dengar. Suatu saat ketika sudah mempelajarinya, tidak asing lagi.

Lain halnya dengan bandongan akbar. Bandongan akbar adalah media tatap muka antara santri dengan Romo Kiai, Gus Faiz, atau Qori’in. Majelis bandongan akbar malam Senin dan malam Kamis yang dulu diampu Romo Kiai langsung, tetapi kini digantikan oleh Gus Faiz. Di mejelis bandongan akbar itu Gus Faiz mengutarakan hal apa pun yang ada kaitannya dengan santri. Di sana Gus Faiz memberi nasihat-nasihat untuk kebaikan santri. Di sana pula Gus Faiz menyampaikan pengumuman-pengumuman yang bersifat umum (maksudnya untuk putra-putri), memberi apresiasi atas raihan prestasi santri-santri, dan lain-lain.

Ada dua majelis bandongan lain selain rutinan malam Senin dan malam Kamis. Kedua majelis itu adalah malam Minggu yang diampu oleh Qori’in dengan kitab Irsyadul Ibad, lalu majelis Minggu pagi yang diampu oleh alumni-alumni pesantren yang setiap minggunya berganti dengan kitab Ta’limul Muta’allim. Sistemnya bergilir. Sistem gilirnya seperti apa untuk sekarang ini saya tidak paham.

Keempat, Metode Diskusi

Dengan berdiskusi, santri ditargetkan punya daya analisis yang tajam dan kemampuan berbicara yang mumpuni. Diskusi membuat santri berlatih berpikir secara sistematis, sehingga dapat berpendapat sekaligus kokoh dalam membela pendapatnya. Gus Faiz mengatakan, metode diskusi inilah yang juga akan memperluas cakrawala wawasan santri. Sehingga, santri bukan lagi bocah-bocah yang jauh sekali tertinggal dalam khazanah pemikiran baik klasik maupun kontemporer.

Ada beberapa diskusi yang dilaksanakan di sini. Pertama, diskusi akbar. Kedua, diskusi komplek. Ketiga, diskusi kelas. Keempat, diskusi bebas.

Diskusi akbar mencakup khalayak yang sudah tentu juga akbar, diikuti oleh seluruh santri baik putra maupun putri. Pembahasannya tematik. Biasanya mencomot isu-isu yang sedang ramai dibincangkan publik. Namun, pelaksanaan diskusi akbar semacam ini sayangnya tidak bisa terlalu sering. Belum tentu sebulan sekali.

Lain dengan diskusi komplek. Diskusi komplek rutin dilaksanakan sebulan sekali di asrama mahasiswa, setiap malam Minggu ketika santri putri sedang jatah pulang. Ada kelompok yang ditugasi mencari isu dan menjadi pemantik diskusi. Diskusi jenis ini seharusnya menjadi yang paling mentereng dan seru.

Namun ternyata, dalam pengamatan saya selama ini, masih terlalu banyak peserta diskusi yang hanya menjadi pendengar semata, dalam artian enggan mengutarakan pendapat atau mungkin sesungguhnya memang tidak ikut berpikir. Kalau saja semua peserta diskusi aktif mengutarakan pendapat, pasti akan sangat hidup suasana diskusinya. Tidak masalah kalau harus ada silang pendapat, itu hal yang biasa dalam diskusi. Justeru dengan saling mengutarakan pendapatlah nantinya silang pendapat itu bisa diambil titik tengahnya.

Lain lagi dengan diskusi kelas. Diskusi kelas dilaksanakan dengan frekuensi lebih banyak, sebab sekarang hampir semua jenjang kelas punya jam diskusi atau istilah populernya adalah syawir (musyawarah). Artinya, seminggu minimal satu kali. Itu sudah bisa dipastikan. Diskusi kelas menjadi sangat bagus karena ada Qori’ yang bertindak sebagai pemandu dan penengah di akhir sesi diskusi. Kalaupun tidak terpecahkan oleh Qori’, saya akan mengutip kalimat yang pernah diucapkan Almarhum Pak Lutfi, “Mari kita sepakat untuk tidak sepakat.”

Terakhir, diskusi bebas. Diskusi model ini, seperti sebutannya, tidak bisa ditentukan baik waktunya, tempatnya, temanya, bahkan pesertanya. Semua santri berhak duduk bersama setidaknya satu santri lain, sambil ngopi mungkin, kemudian mendiskusikan suatu hal. Diskusi ini, sekali lagi seperti sebutannya, lebih bebas. Karena tidak dalam forum yang resmi, bisa saja diselingi candaan, makan nasi kucing dari angkringan, saling tukar batang rokok, atau pergi ke toilet sebentar.

Sejauh yang saya amati, diskusi semacam ini baru berlangsung kebanyakan antara santri yang sekelas, diskusi sebagai persiapan diskusi di kelas. Memang ada yang secara khusus mendiskusikan sesuatu hal, tentang isu atau topik keilmuan tertentu, tetapi belum banyak. Sekali lagi, belum banyak.

Untuk mendukung metode pembelajaran diskusi yang diusung Gus Faiz dan Qori’in-Qori’at, sudah seyogyanya santri-santri mulai mengadakan diskusi-diskusi di luar diskusi kelas. Diskusi komplek dan diskusi bebas penting untuk juga dihidupkan secara maksimal.

Catatan: Qori’in-Qoria’at merupakan istilah yang digunakan di pesantren kami untuk menyebut ustaz-ustazah.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan