Ritual Tahunan Seorang Ibu

26 kali dibaca

1

PINTU kamar diketuk.

Advertisements

Sayup-sayup, terdengar sebuah suara memanggilku, lembut. “Ma? Mama masih tidur? Ayna boleh masuk?”

Dengan suara serak khas baru bangun, aku mempersilakan. “Jam berapa ini?”

”Sudah jam sepuluh,” jawab Ayna sambil membantuku bangkit. ”Ayo, Ma. Sarapan dulu. Mama belum makan apa pun sejak pagi.”

Aku mengangguk. Dengan sedikit tertatih-tatih, kakiku melangkah menuju ruang tengah dan duduk di sofa. Ayna mengekor di belakang. Sekilas, aku menatap cermin. Mataku tampak merah dan bengkak. Mungkin, aku terlalu lama menangis, sebelum akhirnya tertidur.

Di meja, sudah terhidang seporsi bubur ayam. Aroma lezatnya menguar. Entah dari mana Ayna mendapatkannya. Yang pasti, bukan masakannya sendiri. Mungkin, dia berinisiatif membelikan makanan favoritku itu karena khawatir melihatku sengaja mengurung diri di kamar selepas ritual itu selesai.

Ya, sebuah ritual yang tak bisa kuhindari. Ritual bertajuk perpisahan. Ritual yang mau tak mau kujalani sejak tujuh tahun lalu, sejak pertama kalinya aku melepas buah hatiku untuk hidup mandiri di sebuah pondok pesantren.

Dan hari ini, tanggal sepuluh Syawal, seperti biasa, aku baru saja merampungkannya. Lagi.

2

SUASANA begitu hening saat aku mulai menyantap sarapanku. Hanya bunyi kunyahan dan jarum jam yang terdengar. Bahkan, Ayna yang sibuk dengan gadgetnya sambil rebahan di sofa tak mengeluarkan suara sedikit pun. Telinganya disumpal dengan headset.

Aku menghela napas. Perlahan, tanpa bisa ditahan, air mataku kembali menetes. Ah, harus sesakit inikah rasanya perpisahan, Tuhan? Meski ini bukan pertama kalinya, tapi sepuluh Syawal kali ini terasa lebih berat, lebih menyakitkan, dan lebih mengiris-iris perasaan.

Bukan karena aku masih tak bisa menerima keputusan-sebelah-pihak suamiku yang ngotot memasukkan anak-anak ke pondok pesantren. Juga bukan karena aku akan kembali kesepian  di rumah, padahal baru tiga minggu berkumpul dengan anak-anak. Bukan pula karena aku harus bersabar menabung rindu setahun ke depan untuk bisa bertemu lagi dengan mereka. Melainkan, karena pagi ini, aku harus kehilangan tiga anakku bersamaan. Jika tahun-tahun sebelumnya hanya Alysa dan Ayna yang berangkat, kali ini Alwi dan Alwan juga harus berangkat. Bayangkan, tiga sekaligus. Tinggal putri keduaku, Ayna, yang ada di rumah. Itu pun hanya sebentar. Masa liburannya tersisa dua hari.

Mataku menyapu seisi rumah. Sepi, benar-benar sepi. Kemarin-kemarin, di jam-jam seperti ini, masih ada Si Kembar Alwan dan Alwi yang berisik main game, kejar-kejaran, atau berebut gadget. Lalu, biasanya Alysa, putri sulungku, datang dari dapur membawakan cemilan yang ia buat sendiri. Entah itu seblak, bakso aci, siomay, atau sekadar es kelapa muda yang cocok disantap saat tengah hari. Rumah terasa begitu hidup. Begitu hangat.

Aku menyibak gorden di sampingku. Menengok halaman rumah. Belum ada tanda-tanda Mas Arya, suamiku, pulang. Tentu saja, masih jam sepuluh. Mungkin, ia baru selesai mengantarkan Si Kembar ke terminal kabupaten, tempat bus yang akan membawa mereka ke pondok. Jauh di luar provinsi sana. Sedangkan Alysa, bisnya dijadwalkan datang jam dua siang. Kemungkinan Mas Arya baru pulang menjelang magrib. Itu berarti, aku hanya akan berdua dengan Ayna di rumah ini. Sampai ia datang.

Melihat halaman yang lengang, ingatanku terseret pada kenangan beberapa jam lalu. Saat ritual Sepuluh Syawal– begitu aku menyebutnya-terjadi.

Mobil sudah terparkir di halaman rumah. Mas Arya  juga sudah siap di depan kemudi.

“Kak Lysa, ini buat di perjalanan,” pesanku sambil menyerahkan satu totebag besar cemilan. Alysa menerima dan segera memasukkannya ke bagasi.

Aku menyerahkan satu lagi totebag berukuran sedang. ”Kalo tas yang ini isinya nasi, untuk makan siang kamu dan ayahmu. Perjalanan kalian cukup lama. Jangan lupa ingatkan ayahmu! Dia sering lupa makan. Kalau sudah sakit, Mama juga yang repot.”

Alysa mengangguk, mengacungkan jempolnya, “Sip!”

Ah, ya! Jaga adik-adikmu juga. Takut mereka butuh apa-apa.”

Kepada Mas Arya, tak lupa aku berpesan, “Hati-hati nyetirnya! Jangan ngebut!” Ia hanya mengangguk dari dalam mobil.

”Terus kirimi Mama kabar. Jang-“

“Iya, Ma. Iya,” potong Alysia sambil meraih tanganku dan menggenggamnya erat. “Alysa udah gede, Ma. Udah paham. Mama tenang aja.”

“Mama ‘kan cuma ngingetin. “ Aku mengelak, mencoba menyembunyikan kesedihan. “Maaf Mama gak bisa nganterin kalian ke terminal,” lirihku kemudian sambil memandang perut yang sudah membesar.

“Gak usah merasa bersalah, Ma. Bahaya kalau Mama ikut. Kasihan adek bayinya,” tutur Alysa menenangkan. “Lagipula, ada Ayah yang nganterin kita. Mama di sini aja, sehat-sehat sampe lahiran nanti. Maaf Lysa gak bisa nemenin Mama.”

Aku kembali memalingkan muka, berusaha menahan air mata. Tidak! Jangan menangis sekarang. Aku harus tegar di hadapan anak-anak.

“Sudah siap, semua?” tanya Mas Arya memutus keharuan.

Alysa menggeleng pelan, meraih tanganku dan menciumnya cukup lama. Segera kurangkul putri sulungku ini erat-erat. Alwan dan Alwi yang dari tadi hanya berdiri ikut mendekat, masuk ke dalam dekapan. Untuk beberapa menit selanjutnya, kami hanya berpelukan, saling menyalurkan kekuatan.

 “Jaga kesehatan, ya, anak-anak Mama. Belajar yang rajin. Jangan nakal,” pesanku di sela-sela pelukan. Entah untuk keberapa kalinya.

Ah, tapi tak masalah. Perempuan memang diciptakan untuk cerewet. Apalagi seorang ibu jika sudah menyangkut anak-anaknya.

Dengan sangat berat, aku melepas keberangkatan mereka. Memandangi mereka memasuki mobil dan mulai meninggalkan halaman. Baru ketika sudah tak terlihat, aku masuk ke dalam rumah. Hanya satu hal yang ingin kulakukan sekarang; menumpahkan rasa sakit perpisahan yang sejak tadi tertahan. Aku hanya ingin menangis.

Dan aku benar-benar melakukannya. Untuk waktu yang lama.

3

JADWAL keberangkatan Ayna ke pondok tiba. Namun, ada suatu ketegangan tak kasat mata antara kami berdua. Sejak pagi, ia tak mau berbicara.

“Kamu tetap akan berangkat hari ini, Na?” Aku bertanya kesekian kalinya, dengan suara serak. Mataku tak henti menatap Ayna yang sibuk memasukkan barang-barang ke dalam tas.

Ayna hanya mengangguk.

“HPL Mama  tiga hari lagi, lho. Kamu gak mau melihat dulu adik bayi lahir? Bukankah kamu sangat menantikan momen ini?”

Ia menggeleng. “Nggak, Ma. Aku malu sama Pak Kiai,” protes Ayna.

Aku tak menyerah. Luka perpisahan yang kemarin masih belum kering. Hari ini, aku tak sanggup jika sudah harus menerima luka baru lagi.

“Ayolah, Na. Cuma telat sebentar.” Aku terus membujuknya. Ayna tetap menolak.

Lagi-lagi aku hanya bisa menghembuskan napas dengan kasar. Kadang aku berpikir, untuk apa punya anak banyak kalau harus tetap sendirian di rumah? Aku bukan lagi pengantin baru yang senang jika hanya berduaan dengan suami. Aku adalah ibu dari empat orang anak yang semuanya tinggal jauh, di luar kota, bahkan luar provinsi.

Tanpa terasa, air mataku kembali menetes. Namun, cepat-cepat kuhapus. Aku harus berusaha tegar di hadapan Ayna. Meski ia juga pasti tahu, kemarin-kemarin aku menangisi keberangkatan tiga saudaranya yang lain.

“Kamu takut didenda, ya?” Aku menebak asal-asalan. “Kalau memang benar, Mama tak masalah, Na. Mama sanggup, kok, membayar satu sak semen per hari sebagaimana peraturan pondokmu itu. Asalkan kamu mau menemani Mama barang sebentar.”

Untuk beberapa detik, Ayna hanya mematung. Ia tampak kaget mendengar kata-kataku barusan. Entahlah, aku juga bingung. Keputusasaan telah membuatku tak bisa berfikir jernih.

“Bukan begitu, Ma.” Ia akhirnya angkat suara. “Ayna hanya tak ingin melanggar aturan pesantren. Ayna ingin mendapat keberkahan ilmu. Lagipula, Ayna tak akan banyak membantu meskipun ada di rumah. Masih ada nenek atau tante-tante lain yang akan membantu Mama mengurus adik.”

Mendengar penjelasan itu, aku menyerah. “Ya sudah, tak apa. Mama paham. Maafkan Mama memaksamu berbuat tidak baik,” bisikku lirih. Dalam pelukan, aku bisa merasakan Ayna mengangguk. Sepertinya, ia juga terisak. Aku semakin merasa bersalah.

Tiba-tiba, Ayna melepas pelukan. Dengan suara bergetar, ia berkata tegas. “Ma, masih banyak cara lain kalau memang ingin bersedekah ke pesantren. Jangan lewat jalan ini. Ayna mohon,” pintanya sungguh-sungguh.

Kali ini, giliran tubuhku yang mematung. Teringat semua cuplikan memori tentang anak-anakku yang luput dari perhatian. Kedewasaan Alysa; kepedulian Ayna; hingga perubahan drastis sikap Alwi dan Alwan. Dari yang susah diatur menjadi penurut dan bahkan … cukup romantis. Aku masih ingat, ucapan terakhir mereka sebelum masuk ke mobil dua hari lalu. Alwan masih kangen sama Mama. Alwi juga. Kami sayang Mama.

Air mataku mengalir deras mengenang semuanya.

Detik itu, aku sadar, aku telah kalah berdebat dengan putriku sendiri. Detik itu pula, aku sadar, aku tidak menyesal menanggung semua rasa sakit perpisahan ini. Aku tidak akan menyesal, bahkan kalau harus melewati puluhan kali lagi ritual Sepuluh Syawal. Asalkan anak-anakku jadi orang yang berguna, aku sudah sangat bahagia.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan