Kadang dengan dilagukan, beberapa baris kalimat menjadi mudah dihafalkan. Tak terkecuali yang viral hari-hari ini, lagu religi Aisya yang begitu hits dan popular. Banyak penyanyi, musisi, dan grup yang meng-cover lagu Aisyah. Irama yang syahdu dipadu vokal merdu dan iringan musik yang mendayu, semakin membuat pendengar menikmati lagu tersebut.
Terlepas dari pro-kontranya, teks yang terkandung di dalam lirik lagu Aisyah telah membuat jamak masyarakat, khususnya kawula muda, semakin mengidolakan sosok baginda Nabi dan istrinya, Siti Aisyah.
Sayidati Aisyah. Kini lebih banyak kalangan yang menjadi tahu dengan nama perempuan cantik nan cerdas ini. Beliau adalah putri Abu Bakar, sahabat terdekat Nabi, yang dinikahi Nabi setelah Siti Khadijah wafat, yang 28 tahun lamanya menjadi istri Nabi. Relasi Nabi dan Siti Aisyah sangat menarik dan mesra. Nabi memanggilnya “Si Humaera”, si kecil cantik dengan pipinya yang kemerah-merahan, bagai buah ranum.
Kisah romantis pertama tergambar pada salah satu hadits dalam Shohih Ibn Hibban. Suatu ketika Siti Aisyah, istri Nabi, mengatakan: “Manakala aku melihat Nabi sedang senang, aku mengatakan: ‘Duhai Nabi, tolong doakan aku, ya?’ Lalu Nabi mengatakan: “Ya Allah, ampuni dosa-dosa Aisyah, yang dulu maupun yang akan datang, yang tersembunyi maupun yang tampak.”
Mendengar doa suaminya itu, Aisyah tertawa terkekeh-kekeh, sampai kepalanya jatuh ke pangkuan Nabi. Nabi kemudian mengatakan: “Apakah kau senang dengan doaku tadi?” Aisyah menjawab: “Bagaimana mungkin aku tidak senang didoakan olehmu?” Nabi mengatakan lagi: “Itulah doa yang aku panjatkan kepada Allah untuk umatku pada setiap shalat.”
Ekspresi kemesraan muncul dalam peristiwa lain, yang boleh jadi bisa menimbulkan kontroversi. Suatu saat Rasulullah Saw hendak shalat. Nah, sebelum keluar kamar beliau mencium kening istrinya. Sesudah itu, beliau langsung menuju mushala/masjid, tanpa wudhu lagi. Ini diceritakan oleh Siti Aisyah. Katanya:
يتوضا ولم ةالصل الى خرج ثم نساءه بعض النبى قبل
“Nabi Saw mencium salah seorang istrinya kemudian keluar menunaikan shalat tanpa berwudhu dahulu.” (HR Ahmad).
Siti Aisyah menyebut “salah seorang istrinya”, padahal yang dimaksud adalah dirinya sendiri. Ia tak ingin “ge-er”.
Peristiwa lain yang lebih menarik dan lebih mesra adalah saat Nabi mandi bersama istrinya. Lagi-lagi, Siti Aisyah menceritakan peristiwa kemesraan ini. Siti Aisyah berkata:
جُنُب وَنَحْنُ إِنَاءٍ وَاحِدٍ مِنْ وسلم عليه للَّهِ صلى للَّهِ وَرَسُولُ أَنَا أَغْتَسِلُ كُنْتُ
“Aku dan Rasulullah Saw mandi bersama dalam suatu wadah air/satu kamar mandi. Waktu itu kami berdua mandi besar (junub).
Dalam riwayat An-Nasa’i disebutkan:
Siti Aisyah mengatakan: “Aku dan Nabi mandi bersama. Kami saling menuangkan air. Nabi bilang: ‘biar aku yang memandikanmu’. Aku bilang: ‘biar aku saja yang memandikanmu.” Kedua suami istri itu berebut ingin memandikan pasangannya. Aduhai.
Kemesraan lain Nabi dengan istrinya juga terjadi pada saat makan dan minum. Nabi minum air bekas istrinya. Beliau meletakkan bibirnya di bagian gelas di mana bibir istrinya diletakkan di sana.
Ini disampaikan Siti Aisyah: “Aku minum. Lalu Nabi mengambil gelasku dan meletakkan bibirnya di tempat bibirku diletakkan di gelas itu, dan makan sisa daging yang aku makan dengan meletakkan mulutnya di bekas gigitanku.”
Lomba Balap Lari
Kemesraan atau romantisme Nabi juga terjadi dalam peristiwa lomba balap lari. Sayyidah Aisyah menceritakan: Aisyah ra, berkata: “Suatu ketika, aku dan Rasulullah dalam sebuah perjalanan bersama beberapa orang sahabat. Saat itu tubuhku masih ramping. Rasulullah Saw berkata kepada rombongan: ‘Ayo kalian maju!’. Mereka semua berjalan duluan. Setelah itu beliau berkata, ‘Hai Aisyah, sayang! Ayo, aku akan mengalahkanmu.’ Aku pun berlari dan berhasil mencapai finish lebih dahulu. Aku menang. Beliau senyum-senyum saja.”
“Pada kesempatan lain dalam perjalanan yang sama, Nabi mengajak lomba lari lagi. Saat itu badanku sudah lumayan berat. Beliau mengatakan kepada rombongan, ‘Ayo Maju!’. Mereka semua berjalan duluan. Setelah itu beliau berkata padaku, ‘Ayo kita mulai, aku akan mengalahkanmu.’ Aku pun mengejar beliau tapi beliau lebih dahulu sampai finish. Aku kalah. Beliau tertawa berderai-derai sambil berkata: Nah, kita draw ya sayang, 1-1. (HR. Ahmad (VI/39). An-Nasa’i dalam As-Sunan Al-Kubra, sanadnya shahih).
Nikah di Tengah Wabah
Kisah asmara Nabi dengan satu-satunya istri beliau yang masih gadis ketika dinikahi, Siti Aisyah, memang pantas dijadikan suri tauladan, khususnya bagi suami istri yang tengah mengarungi bahtera rumah tangga. Untuk yang masih menjomblo, ya jangan berlebihan dalam menjiwainya, jangan baper. Jangan putus ikhtiar dan berdoa!
Dalam pernikahan yang harus dipenuhi selama akad nikah adalah (1) suami (2) istri (3) wali (4) dua orang saksi, dan (5) sighot atau redaksi ijab kabul. Khusus yang bagian redaksi akad nikah ini menurut para ulama Syafi’iyah memiliki syarat-syarat:
وشروط فيها ايجاب من الولي وهو كزوجتك او انكحتك وقبول متصل به كزوجتها او انكحتها او قبلت او رضيت نكا حها
- Penyerahan dari wali nikah seperti “saya nikahkan kamu”.
- Penerimaan secara langsung (tersambung tanpa jeda) dari suami, seperti “saya menikahinya”, “saya terima nikahnya,” dan “saya ridha menikahinya.” (Fathul Mu’in)
Berjabat tangan saat akad nikah antara wali dengan mempelai pria adalah untuk menunjukkan makna langsung dari penyerahan dan penerimaan. Kalaupun tanpa jabat tangan oleh wali setelah mengucapkan lafal akad, kemudian segera dijawab oleh calon suaminya dengan penerimaan, maka sudah sah.
Sejauh ini saya belum menemukan kitab yang menjelaskan tata cara akad nikah ditandai dengan salaman ini. Artinya, berjabat tangan saat akad nikah lebih bersifat tradisi saja. Karena tradisi/ kebiasaan, maka boleh saja bila tidak dilakukan karena alasan tertentu. Mana dalilnya?
Zaman sekarang, kan, kurang keren kalau tidak disebutkan dalilnya. Imam Nawawi menjelaskan perihal kebiasaan Rasulullah ketika membaiat:
وروي جاء رجلا ال النبي ليبايعه فاخرج يده فاذا هي جذماء فقال له النبي ضم يدك قد بايعتك وكا ن من عادته النبي المصاحفة فامتنع من مصاحفته لاجل الجذام
Diriwayatkan bahwa ada seorang laki-laki datang kepada Nabi shalallahu alaihi wasallam hendak berbaiat. Ternyata tangannya ada penyakit judzam/ kusta. Nabi bersabda: “Masukkan tanganmu. Aku sudah membaiatmu.” Nabi memiliki kebiasaan berjabat tangan, namun Nabi tidak berkenan karena ada penyakit kusta (Al-Majmu’, 16/268)
Menghindar berjabat tangan karena penyakit menular dan virus sudah ada fatwa secara khusus dari ulama Al-Azhar, yaitu oleh Syekh Hasanain Makhluf pada tahun 1947. Berikut kutipan fatwanya:
سالني كثيرا من الناس بمناسبة تفشي وباء الهيضة الكوليرا في البلادي عن الحكم الشرعي في ترك المصاحفة عند اللقاء فاجبتهم بان دفع الضرر ودرء الخطر عن النفس واجب لقوله تعالى ولا تلقو باءيديكم ال التهلكة
“Banyak orang bertanya kepada saya perihal penularan wabah kolera di beberapa negara terkait hukum meninggalkan jabat tangan saat bertemu. Saya jawab bahwa menghindarkan keburukan pada jiwa adalah wajib, karena firman Allah: ‘Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan…’” (Al Baqarah 195).
Setiap hal yang menjadi perantara pada kebinasaan maka wajib dihindari. Di antaranya berjabat tangan saat bertemu atau sesudah shalat. Terkadang tangan masih kotor kemudian menular dan menyebarkan wabah penyakit karena salaman. Maka kewajibannya adalah menghindari penyebaran itu dengan meninggalkan salaman untuk keselamatan jiwa dan mencari aman (Fatawa Al-Azhar, 7/240).