Saat Dunia Terlalu Sunyi

124 kali dibaca

Langit senja di Surabaya memantulkan warna merah keemasan yang menyelimuti gedung-gedung pencakar langit di pusat kota. Di kawasan elite Darmo, sebuah rumah megah berdiri mencolok dengan arsitektur modern dan kaca besar yang memantulkan kilauan lampu-lampu kota. Di dalam rumah itu, di sebuah ruangan luas dengan jendela yang menghadap ke panorama kota, Herman duduk di kursi malasnya. Kopi mahal di tangannya nyaris tak tersentuh. Angin sepoi-sepoi dari laut di Tanjung Perak menyelinap masuk melalui celah jendela, namun tidak cukup untuk meredakan rasa tegang yang merayap di dada Herman.

“Kenapa semua ini terjadi padaku?” gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada dunia di luar sana. Segalanya telah hancur, dan kini rumah megah itu hanya menyisakan bayang-bayang kenangan manis yang perlahan memudar.

Advertisements

Di luar, suara klakson kendaraan, deru motor, dan gemuruh kota yang tak pernah tidur menderu tanpa henti. Herman menutup matanya sejenak, mencoba menghalau kenyataan yang menyakitkan. Keluarganya—istrinya, Diana, dan anak-anaknya, Anya dan Bimo—telah pergi meninggalkannya. Ia tak menyalahkan mereka. Bimo, anak sulungnya, terseret dalam skandal kriminal yang menguras habis segala yang dimilikinya, baik kekayaan maupun kehormatannya.

Ia mengingat saat telepon dari polisi itu datang, di tengah malam yang sunyi. “Pak Herman, anak Bapak terlibat dalam pencurian mobil mewah,” kata suara dingin di ujung sana. Jantung Herman hampir berhenti berdetak. Bimo? Mencuri? Itu mustahil!

Namun kenyataan tak dapat ditolak. Bukti-bukti menguatkan bahwa Bimo terlibat dalam kejahatan itu. Herman habis-habisan berusaha menutupi masalah itu dengan uang—mengupah pengacara terbaik, menyuap polisi, dan mengganti kerugian. Tapi akhirnya semua itu sia-sia. Kasus Bimo terkuak ke publik, reputasi keluarga mereka hancur, dan semua aset Herman terkuras habis. Tak hanya kekayaannya yang hilang, tapi juga keluarganya.

Diana tak bisa lagi menerima kenyataan hidup tanpa kemewahan. Dengan air mata yang menetes di pipinya, ia berkata, “Aku tak bisa hidup seperti ini, Herman. Kita tak lagi sama.” Anya dan Bimo berdiri di belakang ibunya, memandang Herman dengan tatapan dingin. Seperti sebuah vonis, keluarganya meninggalkannya malam itu.

Herman membuka matanya, kembali ke realitas yang menyakitkan. Ia tahu, hidupnya di Surabaya kini tak lebih dari sekadar bayangan masa lalu.

***

Langkah Herman menyusuri trotoar Jalan Tunjungan terasa berat. Deretan toko-toko dan kafe mewah yang dulu sering ia kunjungi sekarang seperti dunia lain. Suara tawa dan obrolan para pengunjung terasa begitu jauh, seolah hidup orang-orang itu tak pernah bersentuhan dengan kehidupannya yang penuh kehancuran. Ia mengenakan sandal jepit usang, dan pakaiannya lusuh, jauh dari citra pria sukses yang dulu kerap menjadi sorotan media.

Surabaya malam itu tak peduli dengan kesedihan Herman. Ia terus berjalan melewati gemerlap lampu-lampu neon hingga akhirnya sampai di sebuah taman kecil dekat Jembatan Merah. Taman itu, dengan bangku kayu yang sudah tua, menawarkan tempat yang tenang di tengah hiruk-pikuk kota. Herman duduk di sana, memandangi sungai yang mengalir di bawah jembatan, merenung dalam sunyi. Suara bising kota seolah lenyap, hanya tersisa angin malam yang berdesir lembut dan gemerisik daun-daun di sekitar.

Dari kejauhan, Herman mencium aroma jagung bakar. Bau itu langsung membawanya ke masa kecil, ketika kebahagiaan terasa begitu sederhana. Ia mengarahkan pandangannya ke arah penjual jagung yang sedang sibuk memanggang di atas arang yang membara. Pria tua itu mengenakan topi lusuh dan baju yang sudah memudar warnanya. Namun, senyum ramah di wajahnya seolah menerangi kegelapan malam.

Kini sepekan dari penyitaan aset karena dirinya habis-habisan mengeluarkan harta untuk memulihkan citra dirinya, yang ternyata semua telah usai. Apa yang terjadi? Semua sia-sia. Kini Herman tak lebih dari tunawisma yang nampak gurat kelaparan di wajahnya. Sama sekali tak nampak lagi wajah angkuh yang khas darinya. Wajah cerah, optimistik, dan culas tak lagi berbekas, sebagaimana gambar-gambar di koran.

Dari dekat gerobak jagung bakar, sang penjual merasa ada yang memerhatikan. Dirinya paham, kalau ternyata pria lusuh yang duduk di bangku taman tak jauh dari tempatnya berjualan, dari tadi terus mengamatinya. Penjual itu beberapakali melihat gelagat pandangan nanar Herman yang menatap sayu ke arah jagung-jagung yang dibakarnya.

Merasa risi terus diperhatikan, akhirnya sang penjual menghampiri Herman sambil membawa sebilah jagung bakar yang masih panas. “Mas, lapar? Makan dulu aja, nggak usah bayar,” katanya lembut.

Herman menatap jagung itu dengan ragu, tetapi akhirnya menerimanya dengan tangan gemetar. “Terima kasih,” ujarnya pelan, suaranya nyaris tak terdengar.

Dengan lahap Herman nampak rakus memakan jagung bakar yang hanya seharga sepuluh ribu rupiah. Sebuah makanan yang selalu ia hina saat kementerengan masih ia jajagi. Kini, dirinya baru merasakan esensi kenikmatan dari sebuah sajian sederhana. Setiap gigitan jagung itu membangkitkan kenangan masa lalu, masa ketika hidup terasa lebih sederhana, lebih bermakna. Saat Herman masih anak-anak, kebahagiaan datang dari hal-hal kecil, bukan dari kekayaan atau prestise. Malam itu, di taman kecil di Surabaya, Herman merasakan perasaan damai yang sudah lama hilang dari hidupnya.

***

Waktu berlalu. Malam semakin larut, namun Herman masih duduk di sana. Pikiran-pikirannya melayang jauh, merenungkan sikap buruk yang telah khatam diperbuatnya. Keadaan ini seolah membayar impas atas keculasan, kerakusan, dan ketamakan yang ia lakoni. Pria penjual jagung kembali menghampirinya, kali ini membawa secangkir teh hangat.

“Hidup memang keras di kota besar ini, Mas, apalagi kalau kita udah nggak punya apa-apa,” ucap pria tua itu sambil duduk di samping Herman.

Herman hanya bisa mengangguk. Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya jatuh juga. “Dulu aku punya segalanya,” bisiknya, “tapi aku nggak pernah benar-benar bahagia.”

Pria itu tersenyum, senyum yang penuh kebijaksanaan. “Harta itu cuma alat, Mas. Yang penting adalah bagaimana kita menggunakan alat itu buat membantu orang lain. Hidup ini soal kebahagiaan yang kita bagi, bukan yang kita timbun.”

Kata-kata itu menusuk hati Herman. Ia terdiam, menatap pria itu dengan mata penuh pertanyaan. “Kenapa kamu begitu baik padaku?” tanyanya.

Pria itu menatap Herman sejenak, lalu membuka topinya, memperlihatkan wajah yang ternyata tak asing bagi Herman. Herman terkejut saat mengenali pria itu—Pak Sumadi, mantan sopir pribadinya yang pernah ia pecat tanpa perasaan ketika perusahaannya sedang berada di puncak kejayaan.

“Pak Sumadi?” Herman tergagap. “Kenapa kau tidak marah padaku setelah semua yang aku lakukan?”

Pak Sumadi hanya tersenyum kecil, “Saya sudah lama memaafkan, Mas Herman. Dendam itu berat, dan nggak ada gunanya. Kebaikan, seperti yang saya bilang tadi, bisa menular. Kalau kita bisa berbagi, kenapa harus menyimpan semuanya sendiri?”

Herman terdiam, terpaku oleh kebijaksanaan yang keluar dari mulut pria sederhana itu. Ia menyadari bahwa selama ini, ia telah hidup dalam bayang-bayang keserakahan, tanpa pernah benar-benar memahami makna kebahagiaan yang sejati.

Sleman, 12 Agustus 2024.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan