Sabuk Pemberian Kiai Ghofar

828 kali dibaca

Mungkin hanya sedikit orang yang percaya dengan ceritaku ini. Maukah kau mendengarkannya?

Dia hanya mendengus, lalu menggoyang-goyangkan ekornya, kemudian menggelendot ke lengan kananku. Bulu-bulunya tampak bersih dan dia terlihat semakin gemuk.

Advertisements

Matanya menatapku dengan penasaran. Itu artinya dia ingin mendengarkan ceritaku. Dia pun semakin larut, di tengah-tengah gempuran dingin. Hujan semakin deras. Aku melihat cahaya-cahaya kilat menjilat-jilat dari jendela kaca, disusul dengan suara guntur yang menggelegar.

“Baiklah akan aku ceritakannya untukmu.”

Waktu itu tak ada satupun orang yang bisa menolongku saat aku terlilit akar pohon yang sangat besar. Akar itu dapat menjadi panjang. Terkadang menjadi pendek dengan ukuran besar.

Aku juga tidak tahu makhluk apa gerangan. Namun, percayalah padaku bahwa jika seseorang dalam keadaan di alam bawah sadar, seolah-olah seperti mimpi, namun begitu mengerikan. Nyaris aku dibuat mati olehnya.

Namun aku berusaha untuk melepaskan diri dari lilitannya dan berusaha untuk hidup. Jika aku tidak bisa melepaskan diri dari cengkeramannya, mungkin aku sudah mati. Ini perkara takdir bukan?

Aku berlari semampuku dari kejaran akar pohon itu. Beberapa kali tersandung. Namun, untuk menyelamatkan hidupku, aku berusaha mati-matian dengan terus berlari. Aku berlari seperti tidak berujung. Napasku tersengal-sengal seperti mau putus. Untung saja, akar pohon itu tidak mengejarku lagi.

Namun saat aku beristirahat dari kejaran makhluk mengerikan itu, aku mendengar suara tangisan perempuan. Tidak salah lagi itu adalah suara tangisan ibuku.

Aku memanggilnya. Namun ibu seperti tidak mendengarnya dan terus terisak. Entah apa yang terjadi pada ibu. Tangisannya seperti memendam kesedihan yang begitu dalam. Aku tidak tega mendengarnya.

Namun saat itu, pohon-pohon rindang dan jalan setapak tampak berubah menjadi serba putih, ada sinar yang tak begitu menyilaukan. Tubuhku terasa terangkat, melayang-layang, seperti tidak ada gaya gravitasi. Aneh betul. Tetapi tangisan ibu masih terdengar lamat-lamat. Seperti tangisan orang yang kalah dan pasrah.

“Ibu, aku di sini!” teriakku.

“Ibu di mana?”

Aku juga tidak bisa melihat ibu. Aku pun juga sempat berpikir apa yang terjadi di dalam diriku. Hal ini tak pernah tercatat dalam sejarah hidupku. Aku merasa seperti terkurung di dalam labirin tak bertepi yang penuh dengan jalan terjal.

Tiba-tiba aku teringat masa kecilku bersama ayah. Aku melihat bayangan yang nampak seperti senter besar. Ya, setelah aku ingat-ingat, bayangan itu seperti sokle.

Tiba-tiba, aku masuk ke dalam bayangan itu dan bertemu dengan ayah. Sungguh bahagia rasanya, melihat ayah dengan senyum tipis. Raut wajahnya berseri-seri. Kumisnya dicukur bersih. Wajahnya bercahaya, mengenakan baju yang indah gemerlapan.

“Apa itu ayah? Mengapa ayah menjadi muda dan tampan seperti itu?” pikirku.

Lalu ayah memelukku dengan hangat dan sesekali tersenyum kepadaku. Tetapi, ayah tak banyak bicara, seperti tidak ingin mengetahui kabar anaknya. Tidak ingin tahu bagaimana dia bisa bertemu dengan anaknya setelah berpisah selama bertahun-tahun. Namun, aku cukup bahagia bisa bertemu dengannya. Setidaknya aku bisa melepas dahaga kerinduan yang selama ini aku tanggung.

Aku seperti dibonceng ayah menggunakan motor yang dia beli dengan menjual beberapa lembu beberapa tahun yang lalu. Aku tidak menanyakan akan dibawa ke mana. Bagiku momen itu terasa sangat membahagiakan.

Selang beberapa waktu, di tengah perjalanan yang aku sendiri tidak tahu kenapa ayah mengajakku pergi, tiba-tiba ibu datang mengejar kami. Ibu berlari semampunya.

“Ayah, mengapa ayah tidak mengajak ibu?” tanyaku.

Tetapi tak ada jawaban dari mulutnya.

Ibu terus memanggil namaku dan terus mengejar kami.

“Ayah!”

Ayah tetap membisu. Aku terus menengok ibu dari belakang dengan perasaan resah. Tiba-tiba tenggorokanku seperti tersumbat, mataku panas dan aku tidak bisa menahan air mataku untuk tidak jatuh. Hatiku seperti tersayat mendengar ibu terus memanggil-manggil namaku.

“Aku ingin bersama ibu,” kataku kepada ayah.

Meskipun aku berteriak, tetapi tetap saja tidak ada jawaban dari ayah. Dia terus melaju. Aku melompat dari motor karena aku kasihan dengan ibu. Aku ingin segera memeluk ibu.

Kemudian entah mengapa ingatanku memberikan kesadaran bahwa sebenarnya ayah telah mati sejak aku berusia tujuh tahun yang lalu.

Setelah aku berhasil mendarat ke tanah akibat melompat ke motor ayah, dan bergegas menghampiri ibu, tiba-tiba ibu telah menghilang. Entah bagaimana ibu bisa menghilang dalam sekejap mata, bahkan bayangannya pun telah menghilang bersama angin.

Tentu saja aku sedih dan kecewa. Aku berusaha mencarinya. Entah mengapa ada kangen yang begitu dalam kepada ibu, seolah-olah hatiku seperti kering ingin segera memeluknya. Bahkan pada saat itu, aku berjanji, jika aku bisa menemukan ibu, aku tak akan lagi membentaknya. Aku berjanji tidak akan pernah lagi melakukan hal yang membuat ibu sedih. Aku akan berbakti kepadanya. Tetapi bagaimana aku bisa keluar dari labirin ini?

Tak berselang lama, ada selembar kain jarit terbang meluncur ke arahku. Seketika, aku berlari dari kejaran kain jarit itu. Namun untung ada seseorang yang menolongku. Orang itu kemudian memberiku sabuk berwarna hitam dari gedebok pisang yang dibuat seperti tali. Seperti halnya ayah, dia juga tak banyak bicara dan pergi begitu saja.

***

Jam dinding mengalun pelan, terpasang di lorong rumah sakit. Dengan posisi duduk di kursi panjang di ruang tunggu ruang gawat darurat, ibu tak henti-hentinya melapalkan sesuatu di dalam mulutnya. Tatapannya sayu.

Sementara itu, pamanku yang menemani ibu sedang melakukan perjalanan menuju rumah sakit. Dia baru saja mendatangi seorang kiai untuk meminta doa dalam rangka kesembuhanku. Sebuah buntalan berisi garam kasar dia bawa. Kiai tersebut menyuruh pamanku untuk memberikan garam itu ke makanan dan mengusapkan ke bagian tertentu pada tubuhku.

“Kau tahu bahwa aku pernah mengidap penyakit yang mengharuskan aku operasi di bagian kepala?”

Dia hanya diam. Sesekali matanya terpejam dan mengeong. Dia mendengarkan ceritaku tanpa membantah apalagi tidak percaya.

“Baiklah aku akan melanjutkan ceritaku.”

Aku baru tersadar jika aku sedang berada di rumah sakit. Ketika aku sadar dari koma, pertama kali yang terucap dari mulutku adalah kata ibu.

Saat mataku masih berkunang-kunang akibat koma berhari-hari, aku teringat pada seseorang yang telah menolongku dari kejaran kain jarit dan memberiku sabuk. Setelah sadar, aku ingin bertemu ibu dan menayakan di mana sabuk itu?

Setelah aku sadar sepenuhnya, aku baru mengetahui bahwa sabuk itu memang tidak ada, tetapi aku baru ingat bahwa seseorang yang menolongku dari kejaran kain jarit itu adalah orang yang sama dengan kiai yang didatangi oleh pamanku, yaitu Kiai Ghofar yang sering ayah putar pengajiannya di radio saban bakda subuh dan pukul lima sore.

Setelah aku sembuh dari sakitku, saat itulah aku kepikiran bahwa aku ingin nyantri di pesantrennya. Meskipun aku belum pernah bertemu langsung, tetapi aku sudah tahu sosok dari  Kiai Ghofar, sebab dulu ayah selalu memajang fotonya di ruang tamu hingga saat ini.

ilustrasi: lukisan vincent van gogh.

Multi-Page

One Reply to “Sabuk Pemberian Kiai Ghofar”

Tinggalkan Balasan