Sadikin bersandar di tembok musala menanggung gelisah. Setelah mengumandangkan azan maghrib dan dilanjutkan mengimami dengan makmum yang hanya istrinya seorang, dia terkantuk-kantuk menunggu santri-santrinya yang tak kunjung datang.
Sekitar dua minggu yang lalu dia mulai mengajar ngaji di musala, menggantikan Haji Dasuki yang telah tiada. Namun, pikirannya terbebani lantaran tiap hari santri warisan Haji Dasuki itu satu per satu mulai menghilang. Dan puncaknya adalah hari ini, tak ada satu pun bocah-bocah itu yang datang mengaji.
“Sudah waktunya isya, Mas. Anak-anak tak ada yang datang. Tak ada yang azan.”
Suara istrinya lembut membangunkan Sadikin. Lelaki itu tergeragap bangun. Matanya dikucek-kucek untuk mengusir kantuk. Sebenarnya tubuhnya capai sekali, namun kiainya dulu berpesan untuk nasrul ilmi, menyebar ilmu, maka amanat untuk melanjutkan perjuangan Haji Dasuki itu ia sanggupi dengan senang hati.
Sadikin melongok jam yang menempel erat di tembok di atas mihrab. Beberapa ekor cecak berlari ke belakang jam dinding itu setelah berhasil menangkap seekor laron. Dan jarum jam telah menunjuk jam tuju lebih sepuluh menit, waktunya salat isya. Sadikin bangun menuju mikrofon. Ia kumandangkan azan dengan nada sendu.
“Hayya ala shalaah…,” suaranya mendayu menembus sudut-sudut desa. Dan batinnya berkata-kata meresapi seruan azan itu. Ke mana orang-orang kampung ini? Kenapa mereka semakin jarang menyapa musala sepeninggal Haji Dasuki?
“Hayya alal falaah…,” pekik Sadikin.
“Mari jemput kemenangan, kawan. Akh, mungkin mereka tak mau menggubris seruanku, bagaimana akan terpanggil padahal yang memanggil tak pernah menjadi pemenang dalam gelanggang kehidupan?” desis Sadikin dalam hati.
Usai salat qobliyah, Sadikin bersenandung puji-pujian.
“Tombo ati iku limo perkarane.
Kaping pisan moco Qur’an lan maknane.
Kaping pindo sholat wengi lakonono.
Kaping telu wong kang sholeh kumpulono.
Kaping papat kudu weteng ingkang luwe.
Kaping limo dzikir wengi ingkang suwe.
Salah sawijine sopo bisa ngelakoni.
Mugi-mugi gusti Allah nyembadani.”
Sadikin iqomat setelah tiga kali reff pujian itu tak ada makmum yang datang. Ia menjadi imam lagi.
Sepulangnya dari musala, kedua anaknya yang masih balita itu telah terlelap. Ia pandangi istrinya yang bergerilya mengusir nyamuk di sekitar tempat tidur dengan menepuk kedua belah telapak tangannya. Sadikin lantas berjalan ke dapur menengok bubuk kopi dan gula. Sayang, keduanya telah habis tak tersisa. Perutnya pun lapar, tapi sama sekali tak ada makanan untuk mengganjalnya. Sadikin kemudian kembali ke tempat tidur, ternyata anak dan istrinya terlelap. Salah, rupanya istrinya masih terjaga.
“Besok waktunya bayar iuran pipa air, Mas,” ucap istrinya seraya menangkupkan selimut.
Seketika rasa kantuk Sadikin lenyap. Ia ingat sekali uang lima puluh ribu di dalam lemari adalah jatah untuk membeli lauk seminggu ini, sedang tanaman brokolinya telah rusak diterjang hujan deras beberapa hari yang lalu.
Sadikin menghela napas panjang. Terasa berat sekali hari-hari yang ia lalui semenjak mengarungi biduk rumah tangga sepulang dari pesantren lima tahun lalu. Teringatlah ia pada kiainya di pesantren. Mungkin gurunya itu akan memberinya petuah yang dapat mencerahkan kegelisahannya.
Dan benar, uang lima puluh ribu itu ia bawa untuk membeli bensin dan oleh-oleh ala kadarnya. Ia berangkat sendirian tanpa mengajak istrinya. Setibanya di pesantren, Sadikin berdebar-debar. Telah lama ia tidak sowan pada kiainya. Dan hari ini tiba-tiba ia datang ingin mengadukan keluh-kesah, bagaimana cara mengatakannya?
“Maaf, Kiai, kedatangan saya ke sini hendak silaturrahmi. Selain itu, ada yang ingin saya sampaikan,” tutur Sadikin dengan bahasa yang sangat hati-hati.
“Apa, Kang? Sepertinya ada hal penting yang mau dikatakan,” sahut kiainya.
“Lama saya ngaji di sini, Kiai. Mempelajari berbagai disiplin ilmu agama dengan susah payah serta menjalani laku prihatin yang melelahkan pula. Saya yakin, inna ma’al usri yusro. Sesungguhnya setelah kesulitan ada kemudahan, bukankah begitu janji Tuhan, Kiai. Namun, ketika pulang kampong, sepertinya apa yang saya cari dengan susah payah itu berhamburan seperti debu,” keluh Sadikin.
“Maksudmu apa, Kang Sadikin?” tanya kiai sepuh itu lembut.
“Untaian doa fid dunya hasanah wa fil akhiroti hasanah selalu saya munajatkan setiap waktu, tapi sepertinya doa itu tak pernah dikabulkan. Hidup saya susah, dalam mencukupi kebutuhan rumah tangga selalu ada cobaan. Pun demikian, ketika mengajak masyarakat untuk mendekat pada akhirat, ucapan saya tak dihiraukan. Bagaimana akan dihiraukan, doa orang yang mengajak ini saja tidak mustajab. Perilaku taat agama yang saya contohkan ternyata tak menjanjikan kemudahan-kemudahan hidup. Rasanya ada hijab yang menghalangi saya mendekat pada-Nya. Ajakan yang saya lakukan pun akhirnya tak membuat mereka tertarik,” Sadikin meluapkan ganjalan hatinya.
Kiai sepuh itu menghela napas berat, ia lantas terdiam tak segera menyahut pertanyaan santrinya itu. Sadikin pun merasa canggung dan bersalah, mungkin apa yang diucapkannya ini tidak pantas ataupun kliru.
“Bagaimana bisa santriku yang lama menuntut ilmu ini punya pikiran sempit seperti ini?” gumam sang kiai. “Agama yang suci telah berubah menjadi nafsu dalam pikiran dan hatimu yang kotor. Seolah kau berhak menuntut Tuhan dengan usaha-usahamu itu.”
Sadikin terperanjat.
“Yang kau maksud ibadah adalah pengaruh dalam masyarakat. Padahal dianggap manusia apa tidak, ibadahmu sama sekali bukan masalah, asal niatmu lillah, hanya mengaharap rida Allah. Tapi jikalau harapanmu keridaan manusia; ridhonnaasi ghooyatun laa tudrok, keridaan manusia adalah kemustahilan yang sulit diraih.”
Kiai itu menghela napas.
“Pulanglah, tata niatmu, dan biarkan Tuhan yang menata hidupmu. Tak perlu kau campuri urusan-Nya,” tegas sang kiai.
Seketika dada Sadikin berdesir. Pikirannya bergelayut penuh penyesalan. Hatinya dipenuhi istighfar. Akhirnya dia pulang dengan diantar oleh rasa malu yang sangat.