Kota C sudah menjadi rimba dengan ribuan binatang yang saling memangsa. Yang paling lemah hanya bisa menerima nasib dimangsa tanpa daya.
Kota ini, kini, juga dipenuhi reklame dengan gambar orang-orang yang sedang berebut takhta dan kuasa, dengan deretan kata-kata janji yang nampak basi. Karena, nyatanya dalam rimba kota ini, hukum pun sudah terkapar diinjak-injak binatang liar dan liarnya kehidupan pun tercipta dengan wajah menjijikan yang penuh bualan.
Nasib sial dialami Kusno, warga kota ini. Atas sebuah peristiwa, Kusno harus menjadi saksi mata untuk kasus pembunuhan.
Memang naas dia. Saat itu niatnya hanya memotong jalan agar bisa cepat tiba di rumahnya. Tapi di pinggir jalan yang lampunya temaram, dia melihat seorang wanita ditembak dari jarak dekat oleh seorang lelaki. Usai meletuskan pistolnya, lelaki itu bergegas pergi memasuki mobil yang terparkir dekat tiang listrik. Mobil itu melaju cepat hingga hilang di belokan jalan Wanita yang menjadi korban penembakan terkapar meregang nyawa, dan Kusno hanya bisa berdiri mematung menatapnya.
Sesaat kemudian rang-orang yang dikagetkan suara tembakan berdatangan, berkerumun. Kusno pun langsung menjadi narasumber bagaimana kronologi peristiwa itu terjadi. Sejenak dia pun merasa jadi pahlawan, di kala para wartawan menjadikannya narasumber utama.
Tapi setelah polisi datang ke tempat kejadian perkara, keadaan seketika senyap. Semua terdiam. Bahkan ada beberapa orang yang memilih meninggalkan lokasi. Mereka takut dijadikan saksi mata. Di negara yang sistem dan penegakan hukumnya bapuk, terlibat dalam soal hukum adalah mimpi buruk. Tapi Kusno tak bisa menghindar karena berada di lokasi saat peristiwa pembunuhan itu terjadi. Dia harus mau dibawa ke kantor untuk dimintai keterangan.
***
Kusno sudah memberi keterangan sesuai yang dia lihat, termasuk ciri laki-laki yang melakukan penembakan. Namun, sketsa wajah yang muncul di media tak sesuai yang dia utarakan. Penembak yang dia lihat berwajah bulat dengan hidung besar, kulit putih dan berbadan gemuk. Tapi yang digambarkan polisi, tersangkanya seorang laki-laki usia tiga puluhan, berhidung bangir dengan rahang kuat, alis tebal dan sorot mata tajam.
Tak lama kemudian laki-laki pembunuh versi polisi itu tertangkap. Tersangka itu ditampilkan televisi, lengkap dengan motif pembenuhuannya. Menurut keterangan polisi kepada media, laki-laki itu sakit hati karena ditolak cintanya, merasa direndahkan ketika cintanya ditolak oleh seorang perempuan malam.
Hanya itu motif yang diungkap polisi ke media. Tapi Kusno tidak percaya; bagaimana bisa percaya pada motif, sedangkan pelakunya sendiri palsu.
Kusno pun kembali dipanggil untuk datang ke kantor polisi guna melengkapi berkas pemeriksaan. Kusno pun datang karena memang tidak ada pilihan. Menolaknya akan dianggap sebuah pembangkangan dan bisa masuk jeruji tanpa pengadilan. Ternyata, maksud dari “melengkapi berkas pemeriksaan” adalah Kusno harus mau mengiyakan kalau pembunuhnya adalah laki-laki yang ditangkap polisi itu, lebih tepatnya disiapkan polisi.
“Kamu hanya membenarkan saja kalau laki-laki itu yang melakukan penembakan. Dia sudah mau mengakui. Jadi tidak aka ada masalah!”
“Kenapa bisa begitu pak!”
“Kamu tak perlu tahu, kecuali ingin terlibat lebih jauh dengan masalah ini dan ingin merongrong wibawa polisi dan negara!”
Kusno langsung bungkam. Nyalinya semakin menciut.
***
Hari memberi kesaksian di pengadilan pun tiba. Setelah duduk beberapa menit di ruang tunggu, Kusno diminta memasuki ruang sidang.
Dia berjalan perlahan dengan jantung berdetak cepat. Ini pengalaman pertamanya mengikuti sidang. Bayangan akan dicecar beragam pertanyaan membuat nyalinya ciut juga.
Dan ketika tiba di pintu ruang sidang, dia berhenti sejenak. Dilihatnya para pengunjung begitu banyak dan tatapannya tertuju padanya. Kusno langsung menunduk, dan polisi yang mengawalnya memintanya untuk masuk dan duduk di kursi saksi yang sudah menunggu.
Dengan perlahan dia letakan pantatnya sambal menghela napas panjang. Sejurus kemudian Kusno mengangkat muka, matanya menatap hakim yang sudah duduk di hadapannya. Kusno langsung tersentak dan gemetar. Dia merasa pernah melihat sosok sang hakim.
“Saudara saksi, apa Saudara siap memberi keterangan di bawah sumpah!”
Kusno terdiam, badannya gemetar. Kusno berusaha meredakan detak jantungnya yang cepat bertalu.
“Saudara saksi, apa Saudara siap memberi keterangan di bawah sumpah!”
Kusno tergeragap oleh suara hakim yang menggelegar. “Siap, Yang Mulia Hakim!”
Sang hakim langsung tersenyum sambil menatap Kusno, sementara badan Kusno semakin gemetar. Dia ingat benar, bahwa sang hakim itulah lelaki yang disaksikannya menarik pelatuk yang menewaskan perempuan di malam naas itu.