Salma dan Micinnya

44 views

Ini kisah tentang Salma dan micinnya. Lebih tepatnya tentang seorang khadimah dan bumbu masaknya. Sumber cerita dari kisah yang sudah terjadi sepuluh tahun lalu tak lain adalah di empunya cerita, Salma, dan seorang santri putrid lain, Widad El Harizah.

Sebagai orang yang pernah mondok selama sepuluh tahu, dengan perincian 8 tahun di Pondok Pesantren Annuqayah daerah Lubri dan 2 tahun di daerah Kusuma Bangsa Sumenep, penulis mempunyai banyak sekali cerita menarik perihal kehidupan santri putrid. Cerita-cerita itu masih segar dalam ingatan, ditambah lagi adanya sosial media yang telah menjamur, hingga mempertemukan penulis dengan banyak sekali alumni untuk menjalin komunikasi lewat grup-grup percakapan semisal WhatsApp dan Telegram serta media sisoal lainnya seperti Facebook, Twitter, dan Instagram bahkan di kanal Youtube.

Advertisements

Hingga suatu hari, Jumat 13 Agustus 2001, secara tidak sengaja penulis bertemu dengan kakak senior di kanal Facebook bernama Salma. Banyak teman seperti Widad, Alya, dan Tien memberikan komentar (comment) di postingan penulis sambil me-mention Salma —yang menggunakan nama berbeda di akun Facebook. Lalu terjalinlah komunikasi dengan penulis hingga sampai pada permintaan izin penulis untuk menulis kisah kocak Salma di zaman mondok dulu.

Siapa yang tidak tahu Salma. Sebab, dia merupakan salah satu khadimah, sebutan untuk santri yang hampir 24 jam bantu-bantu pengasuh (masuk dalem). Mulai dari masak, menyuci pakaian, dan lain sebagainya, ia lakukan bersama rekan-rekannya yang lain dengan nyaris sempurna.

Selain pembawannya yang ramah, humoris dan bersuara nyaring, dia suka memberikan makanan kepada santri-santri lain. Hal itu tentu menarik perhatian santri, terutama santri baru untuk mengajaknya berkenalan dan berteman dekat dengannya, termasuk penulis.

Biasanya, sekitar jam 4.30 pagi suaranya sudah terdengar melengking seakan-akan sengaja  membangunkan santri yang masih terkantu-kantuk sehabis melaksanakan salat subuh berjamaah dan mengaji Al-Quran dan kitab-kitab lainnya.

Dalam urusan masak, menurut Widad sebagai orang yang sangat dekat dengannya, Salma sangat profesional di antara juru masak yang melayani KH Abdul Warits Ilyas dan istrinya, Ny Hj  Nafisah yang biasa disapa Nyi Toan/Ibu Nyai. Karena itu, dulu almarhumah Nyi Toan selalu   memanggil nya untuk memasak, sambil selalu berpesan jangan membubuhi micin (penyedap rasa dengan merek Ajinomo, Masako, Royko, Sasa, Miwon) dan penyedap-penyedap.

Alasannya, bumbu masak itu mengandung MSG (Monosodiun Glutamat) dengan sederet Ingredient dan cara pengolahan yang menurut dr. Zaidul Akbar memang sama sekali tidak  menyehatkan.

Apalahi, saat itu, sekitar tahun 2001, micin banyak dipergunjingkan masyarakat Indonseia karena dianggap mengandung enzim babi. Sampai ada pemboikotan micin yang dalam hal ini bermerek Ajinomoto setelah keluar fatwa MUI yang mengharamkan micin.

Oleh sebab itu, Nyi Toan selalu mengontrol dan mengingatkan para juru masak di dapur agar penyedapnya memakai gula saja. Bukan hanya menu masakan pengasuh yang tidak boleh dibubuhi micin, tapi juga para juru masak sebaiknya tidak menggunakannya juga. Namun, pelarangan tersebut tidak untuk santri secara umum, termasuk penulis.

Namun, larangan tersebut ternyata tidak diindahkan oleh Salma dan kawan-kawannya. Seperti biasa, Salma memasak bersama juru masak yang lain sambil sesekali celingak celinguk melihat ke pintu luar, khawatir kalau-kalau ada Nyi Toan. Setelah dirasa aman, maka Salma mulai mengeluarkan sesuatu dari dalam gulungan sarungnya yang tidak lain adalah micin. Salma pun berembuk dengan teman-temannya agar hal itu jangan sampai ketahuan Nyi Toan. Dengan jadwal yang telah ditentukan bersama, maka saat memasak, salah satu dari mereka harus ada yang menjaga pintu luar dan bertugas memberi aba-aba kalau Nyi Toan datang mengontrol.

Sebenarnya Salma tidak membubuhi micin kepada menu masakan untuk pengasuh, karena taat dan takut etolaeh (kualat). Oleh karena itu, dia hanya membubuhi micin pada menu masakan untuk diri sendiri dan tentu juga diikuti oleh teman-teman sesama khadimah lainnya. Mengingat, dia juga sudah membaca di koran bahwa Gus Dur telah membolehkan masyarakat mengkonsumsi Ajinomoto.

Salma pun merasa aman karena praktik sembunyi-sembunyi tersebut tidak diketahui oleh Nyi Toan, hingga ia pun lalai dan mulai sembarangan menaruh micinnya. Suatu hari ia tidak terlalu kencang membuntel micin saat ke dalam lipatan sarungnya. Suatu pagi, Nyi Toan memanggil Salma, dan ia pun sontak bediri lalu tergopoh-gopoh menghampirinya. Yang tanpa ia sadari micinnya lepas dari buntelan sarungnya dan jatuh ke lantai dapur. Tanpa ia sadari, Nyi Toan yang sudah di dalam dapur memunguti micin dari lantai tersebut lalu keluar lagi.

Sambil membolak-balik masakan yang hendak ia makan sendiri di atas penggorengan, ia pun bersiul santai karena ia tahu Nyi Toan sudah keluar dari dapur. Namun, saat ia akan membubuhi micin ke dalam masakannya, ia kaget karena micinnya tidak ada dalam buntelan sarungnya.

Semakin bertambah kekagetannya saat ia mendengar teriakan Nyo Toan, “Salma! Micin ini milikmu ya?”

Untungnya, sambil tersenyum, Nyi Toan menambahi perkataannya, “Pantesan setiap saya mencicipi makananmu, ternyata lebih lezat dari pada makananku.”

Bak disambar petir di siang bolong, Salma pun merasa tubuhnya enteng seakan-akan hendak roboh saking kagetnya. Dan wajahnya pun berubah pucat pasi sambil tertunduk menahan pilu.

Multi-Page

2 Replies to “Salma dan Micinnya”

Tinggalkan Balasan