Sami`na wa `Ashoyna

273 kali dibaca

Moralitas dan intelektualitas adalah komoditas utama di dalam pondok pesantren. Semua pesantren tanpa terkecuali akan mengajari peserta didiknya untuk menjadi manusia yang bermoral sekaligus berakal. Semua bentuk moralitas dan beragam macam keilmuan yang berbau agama diajarkan dalam kurikulum pembelajaran pesantren, mulai dari sopan santun kepada sesama manusia bahkan kepada seluruh makhluk hidup.

Jadi, sudah jelas goal dari pesantren adalah kaderisasi manusia yang bermoral tanpa meninggalkan akal. Sekilas nampak indah, namun tak jarang hasil yang diperoleh tidak sesuai dengan ekspektasi yang diharapkan.

Advertisements

Dua komoditas tadi, moralitas dan intelektualitas, harus berjalan secara berdampingan. Masing-masing dari keduanya seyogyanya tidak saling mendahului dan saling sikut. Masing-masing dari keduanya harus saling melengkapi. Karena, ketika terdapat ketimpangan di antara keduanya, maka akan menimbulkan problem atau masalah.

Orang yang mengunggulkan moral tanpa intelektual menjadikannya manusia yang kolot, kaku, atau terlampau lurus. Sedangkan, intelektual tanpa moral jatuhnya akan memiliki sifat tinggi hati dan licik. Jadi, mengawinkan moralitas dan intelektualitas adalah sebuah pekerjaan rumah dari semua orang, terkhusus yang berada di lingkungan pendidikan pondok pesantren.

Sami`na wa Atho`na

Ungkapan sami`na wa atho`na bukanlah hal yang asing di dunia pesantren. Ungkapan yang berartikan kesiapsediaan seorang santri dalam menjalankan apa yang diperintahkan kepadanya. Salah satu bentuk moral yang diajarkan dalam dunia pesantren adalah patuh terhadap orang yang lebih tua atau lebih atas dari padanya. Sifat ini tentunya sangat mengagumkan.

Atmosfer pesantren yang serba peraturan membuat santri dilatih untuk menjadi pribadi yang hormat dan patuh terhadap regulasi dan peraturan, dengan harapan latihan ini berbuah pada kapabilitas santri dalam mengekang hawa nafsunya .Dan santri yang tidak mau mengikuti aturan dan melanggarnya akan mendapatkan konotasi dari lingkungannya sebagai pribadi yang nakal dan bandel, sehingga santri yang tahu akan hal ini lebih memilih “sami`na wa atho`na” (oke, kami dengar dan laksanakan!)

Budaya Bisu

Paulo Freire, bapak revolusi pendidikan Brazil, mengenalkan istilah “budaya bisu”, yaitu sebuah anomali dalam kehidupan masyarakat, khususnya dalam pendidikan. Freire mendefinisikan “budaya bisu” ini sebagai keadaan sosio-kultural sebuah komunitas yang bercirikan ketidakberdayaan (incapacity) dan ketakutan umum untuk mengutarakan pendapat dan perasaannya. Sehingga, “membisu” nyaris dianggap sesuatu yang sakral, sikap yang sopan, dan harus ditaati. Budaya ini masih sangat mengakar dalam kehidupan masyarakat di era modern ini.

Budaya ini memiliki pengaruh yang besar dalam psikologi masyarakat yang terjerat dalam praktik kebudayaan bisu ini. Seperti, mereka beranggapan bahwa mereka tidak memiliki kapabilitas secara intelektual dalam mengungkapkan dan mengutarakan pendapat. Pada akhirnya mereka lebih memilih diam yang menurutnya tidak berisiko sebagai jalur alternatif dari pada mengutarakan pendapat dan akan disalahkan dan dijelek-jelekkan.

Salah satu lahan subur tumbuhnya budaya ini adalah pesantren. Para santri kerap kali terjebak dalam anomali ini. Mereka beranggapan tidak sepantasnnya untuk menkritik atau membuat sebuah penilaian terhadap orang yang berwenang dalam birokrasi pesantren, yang dalam hal ini adalah kiai dan seluruh kaki tangannya yang bertugas sebagai legislatifnya pesantren. Para santri akan lebih memilih diam atau patuh terhadap apa yang terjadi, walau terkadang hal itu mencerabut haknya. Daripada mengutarakan isi hatinya dengan risiko mendapat konotasi sebagai santri yang tak tahu diri atau nakal.

Sami`na wa `Ashoyna

Konsekuensi logis dari masuknya “benalu” tersebut pada sistem pendidikan pesantren adalah lahirnya manusia-manusia yang serba patuh, taat, takut, dan memiliki mental pengecut, pemikiran tidak kritis, serta tidak memiliki prinsip diri yang kuat. Semuanya tergantung dengan superior, dan semua ini bukanlah goal atau tujuan dari pesantren.

Maka dalam hal ini, kita tersadar bahwa moral dan logika (intelektual) harus berjalan secara bersamaan. Salah satu tertinggal, maka kesenjangan itu akan berakibat pada anomali.

Seorang santri sah-sah saja patuh terhadap birokrasi pesantren, dan itu merupakan sifat yang terpuji. Namun, harus tetap meletakkan akal pada tempatnya. Ketika aturan atau perintah tidak sesuai dengan isi hatinya, santri juga punya hak untuk mengutarakan pendapatnya. Maka ada istilahnya yang berbunyi; “Sami`na wa `Ahoyna” (Iya, kami dengar tapi mohon maaf ya, saya punya pendapat yang berbeda).

Multi-Page

Tinggalkan Balasan