Sang Muazin Turun Gunung

50 views

Mbah Azwan adalah seorang muazin yang sangat dikagumi masyarakat desa. Dia memang berasal dari luar desa Kaligadung, dan sengaja datang ke sana untuk berguru pada Kiai Marzuki. Asal-usulnya tak jelas, bahkan pada Kiai Marzuki beliau hanya menjawab, “Saya seorang pejalan yang ingin belajar mengaji.”

Pada awal kedatangannya, beliau tak bisa mengeja huruf dalam bahasa Arab sama sekali. Tapi satu yang dia hafal di luar kepala adalah kalimat azan. Sejak saat itu beliau dijadikan sebagai seorang muazin. Suaranya merdu dan lantang, lengkap dengan langgam Jawa yang begitu menyentuh.

Advertisements

Setelah sekian tahun di sana, Mbah Azwan muda menjadi sangat akrab dengan masyarakat desa. Tindak tanduknya yang penuh dengan budi begitu menyentuh hati masyarakat. Meski masih belum bisa mengaji dengan lancer, ketekunan Mbah Azwan dalam beribadah dan etos kerjanya tak bisa diremehkan. Dia yang masih muda saat itu menjadi abdi dalem. Bayaran hanya boleh mengaji pada Kiai Marzuki, yang namanya sudah dikenal bahkan ke berbagai kecamatan sebelah. Selain ditugaskan untuk menggarap lahan milik pesantren, dia juga harus mencari pakan untuk ternak-ternak di sana. Mbah Azwan juga mudah bergaul dengan para santri lain yang ada di sana.

Banyak jemaah pengajian yang meminta Mbah Azwan muda untuk menjadi menantunya. Namun saat ditanya, jawabannya pun sama. Dia menyerahkan semua hal itu pada Kiai. Baginya hanya ada satu niat kenapa jejaknya terhenti di desa itu.

“Kamu ini gimana toh, Wan? Sudah ditawari anak gadis orang berulang kali, kok kamu tolak,” ujar Najib, teman Mbah Azwan dalam mencari rumput.

“Aku ini malu, Jib.”

“Lah kenapa?”

“Aku ini orang luar, niatku ke sini cuma buat bisa ngaji.” Najib hanya bisa menggelengkan kepala.

Selang beberapa tahun, Mbah Azwan sudah mulai mahir dalam mengaji. Bahkan sudah beberapa surat dia hafal. Kiai Marzuki juga telah menyuruhnya untuk niteni anak-anak usia dini yang mulai belajar mengaji. Namun sebelum itu terlaksana, ada beberapa kesepakatan yang diminta kepada sang guru.

“Saya mau mengajar anak-anak untuk mengaji, asal tugas saya untuk ngarit dan azan tidak diberikan kepada orang lain,” pintanya di hadapan Kiai Marzuki dan para santri yang lain.

Banyak yang tidak percaya, karena sebelumnya tak pernah ada yang berani menyanggah dawuh Kiai. Hingga beberapa santri sedikit geram, karena kelakuan Mbah Azwan muda itu. Tapi saat itu Pak Kiai malah terkekeh, dan balik bertanya, bagaimana bisa anak muda itu menebak pikirannya.

Setelah itu, Mbah Azwan muda semakin rajin untuk menjalankan tugas yang dia minta sendiri dari Pak Kiai. Tanpa ada pikiran yang lainnya, Mbah Azwan hanya ingin menjadikan ilmunya berguna. Seiring dengan niat dan sikapnya untuk menjalankan segala kemampuannya, tawaran yang datang ke Mbah Azwan semakin sering berdatangan. Pak Kiai yang mulai tak tahan akhirnya bertanya langsung.

“Begini saja, kamu mau memilih salah satu dari tawaran jamaah, atau…?” Pak Kiai menghentikan ucapannya.

“Iya, saya memilih yang kedua.”

“Oh begitu, baiklah,” sahut Pak Kiai dengan senyum lega.

Kisah itu sudah 30 tahun berlalu. Saat ini, Mbah Azwan lebih memilih menghabiskan hidupnya di sebuah gubuk yang ia bangun di lereng bukit, menyepikan diri. Sesekali anaknya mengirim bekal makan untuk muazin tua itu. Berkat Mbah Azwan, akhirnya posisi muazin di desa Kaligadung tak diremehkan lagi. Hanya orang-orang terpilih yang bisa mengisinya. Dan masyarakat desa selalu menaruh hormat pada orang yang menjabat posisi tersebut.

Suatu ketika, anak Mbah Azwan ingin mengirim sebuah perbekalan. Dalam perjalanannya, ia sering disapa oleh orang-orang yang kebetulan sedang mengumpulkan kayu di hutan, atau sedang menuju ke ladang.

“Nis, mau antar makanan ke Abah?”

“Iya, buat berbuka nanti sore.”

“Oh iya, hati-hati.”

Biji jatuh memang tak jauh dari pohonnya. Nisa juga menjadi primadona desa seperti orang tuanya dulu. Sikapnya yang santun, suaranya yang lembut, wajahnya yang manis, membuat tiap orang di sana ingin menjadikannya bagian dari anggota keluarga mereka. Namun, kembang desa itu diisukan tengah dekat dengan Fajri, muazin saat ini. Dia adalah lulusan dari Kairo, sekaligus menjadi seorang dosen di universitas yang ada di kota madya.

Dalam perjalanan Nisa bertemu Bahru, seorang berandal yang terkenal menyukai minuman keras dan kekerasan. Orang-orang kampung tak pernah menyukainya. Terlebih wataknya yang tak suka diperintah. Dia juga terkenal suka membawa anak gadis orang. Sejenak langkah Nisa terhenti. Bahru menatapnya dalam keadaan sedikit mabuk. Dan Nisa mematung karena imajinasinya sendiri. Tak lama, Pak Sobar yang sedang mengumpulkan kayu melihat mereka. Dia menghampiri Nisa.

“Ayo, Ning, lewat saja.”

“Baik, Pak,” tapi sejenak pandangan Nisa masih tertuju pada pemuda itu.

Nisa datang ke sekian kali untuk bertemu dengan ayahnya. Dia disambut dengan senyum sumringah Mbah Azwan. Mereka bercerita berbagai hal, termasuk keadaan anak gadisnya itu di kota. Mereka berdua sampai lupa waktu. Tak terasa maghrib akan tiba. Tapi Nisa ingin sedikit lebih lama menghabiskan waktu dengan ayahnya.

Nyai Khumairah sedikit mengkhawatirkan anaknya yang tak kunjung pulang. Kebetulan beliau berpapasan dengan Pak Sobar. Dia menceritakan apa yang dia lihat tadi sebelum petang. Rasa khawatir Nyai Khumairah semakin menjadi. Dia mengumpulkan beberapa warga untuk mencari keberadaan Nisa yang saat itu sudah berjalan pulang. Termasuk, Fajri yang telah menyiapkan pentungan dan senter untuk berjaga-jaga. Kumpulan warga itu bertemu Bahru yang sedang mematung di depan masjid. Alhasil, warga yang mendengar cerita dari Pak Sobar menuduh Bahru melakukan sesuatu pada Nisa.

“Apa yang kamu lakukan dengan Nisa?”

“Ah, peduli setan. Aku tak melakukan apa pun.”

“Kamu pasti bohong, kan!”

Warga yang gelap mata melayangkan pukulan terhadap pemuda itu. Tak terkecuali dengan Fajri, yang menyangka bahwa wanita idamannya telah dinodai.

Pemuda itu terkungkung di depan masjid dengan luka lebam dan kepala bocor. “Tuhan, apa salah saya. Bahkan bertobat pun tak kau perbolehkan,” gumamnya.

Warga yang masih tak mendapat jawaban terus saja melayangkan pukulan. Sampai tubuh pemuda itu tak lagi bergerak. Napasnya mulai tersengal, dan warga meninggalkannya.

Bayangan Nisa mulai terlihat dari balik hutan. Langit juga mulai membiru, maghrib mulai mendekat. Warga lega karena Nisa telah ketemu. Saat warga akan kembali ke rumah mereka dan melintas di depan masjid, ada sosok yang duduk di samping tubuh Bahru yang terkapar. Saat mereka mendekat tampaknya sosok itu tak asing.

“Siapa yang menyuruh kalian melakukan hal ini,” mereka terkaget. Mbah Azwar tiba-tiba muncul di sana.

“Bila tak ada yang bersaksi pada pemuda ini, aku yang akan jadi saksinya!”

Ucap Mbah Azwan terdengar lantang. Emosinya tak terbendung lagi. Semua tersirat di nada suaranya. Belum pernah masyakarat melihatnya semarah ini. Tak ada yang berani menatapnya, bahkan menyanggah omongannya. Dia lalu berbalik arah membopong jasad pemuda itu sendirian.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan