Kenalkan! Aku bagian dari rombongan santri yang dikirim untuk membantu Arek-arek Suroboyo. Berkat kuasa Allah aku masih selamat. Betapa dahsyat perang di Surabaya pada Sepuluh November.
Tak sedikit nyawa para santri gugur di medan pertempuran. Tak luput kelima temanku, Shalihin, Sabir, Ridwan, Rahmat, juga Thaha yang dikirim dari Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo asuhan KHR As’ad Syamsul Arifin. Dua di antaranya, Ridwan dan Thaha, tak kujumpai jasadnya. Sementara Shalihin, Sabir, dan Rahmat meninggal di tempat saat agresi di Jembatan Merah.
Meski wajah dan tubuhnya bersimbah darah, sebagai teman seperjuangan, aku tetap mengenali mereka. Di balik wajah yang berlumur darah, tampak bibir mereka menyisakan selaksa senyum. Senyuman yang menyiratkan ruh tenang di petala langit. Subhanallah!
Aku juga masih ingat, kala itu Kiai As’ad bermarkas di rumah Kiai Yasin di Blauran. Sementara kiai-kiai lain yang memiliki ilmu kanuragan tinggi, seperti Kiai Gufron, Kiai Muhammad Sedayu, Kiai Maksum, Kiai Mahrus Ali Kediri, dan lainnya memberi ilmu kekebalan kepada barisan laskar Sabilillah dan Hizbullah.
Pada muktamar NU se-Jawa tahun 1945, Hadratusysyaikh Kiai Hasyim Asy’ari mengumandangkan resolusi jihad, yang kemudian lahirlah semboyan: Merdeka atau mati!‘Isy kariman aw mut syahidan, hidup mulia atau mati syahid.
Sejak resolusi jihad dikobarkan, para santri berbondong-bondong ke Surabaya bagai serombongan burung hendak kembali ke pertapaannya. Kedatangan kami tak ada niat dan maksud lain, selain dan melainkan; mempertahankan KEMERDEKAAN REPUBLIK INDONESIA.
Berbekal kekuatan dari Allah, semangat dan tekad kami, para pejuang, tak pernah surut sekalipun jauh dari persediaan senjata. Kami tak gentar. Maju pantang mundur. Sambil lalu, kalimat Allahu Akbar! kian mengobarkan api semangat. Bambu runcing yang kami riyadlahi dengan suwuk Ya Allah Ya Qahhar Ya Qawiyyu Ya Matin senantiasa erat tergenggam di tangan. Tak elak, pertempuran sengit terjadi. Kami bagai anak panah terlepas dari busur. Melesat gesit. Dan meski barisan kami banyak tertembak, pihak sekutu pun juga tak sedikit kehilangan pasukan. Bahkan, atas bantuan Allah, puncak perjuangan itu, kami telah menewaskan jendral besar Inggris; Mallaby. Sorak-sorai merdeka!!! kembali menggema di langit Surabaya.
***
Situbondo, Juli 1947
Belanda sudah sampai di Panarukan, demikian kabar yang aku terima.
Aku bergegas pamit pulang kepada kepala pondok. Segera aku ingin menemui ibu di rumah. Perempuan tua yang kurang lebih sudah dua tahun menjalani hidup tanpa kehadiran sang suami itu selalu merindukan kepulanganku. Kata ibu, memandang wajahku meski barang sesaat telah mampu membayar setandan kerinduannya terhadap mendiang ayah. Untung, jarak pesantren ke rumahku tak begitu jauh. Hingga dalam waktu yang diperlukan aku bisa menemui ibu.
Dan kini aku harus jujur. Harus mengatakan dengan sebenar-benarnya kepada ibu. Sebab, aku tak ingin mengulangi kesalahan dan dosa yang kedua kali. Dosa yang menyebabkan ayah meninggal dunia.
Sebagaimana kisah yang kutangkap dari Paman Karmin, tetangga sebelah kanan rumah, yang kini anaknya diangkat menjadi Koordinator Ubudiyah di pesantrenku,
“Tumben Kang Mas lama jenguk Mus, sampai lewat tengah hari gini.” Ibuku khawatir, tak biasanya ayah ke pesantren begitu lama. Ibu mengerutkan dahi. Ayah tampak lunglai.
“Aku nyari Mus, Bu. Tanya ke teman kamarnya tak ada yang tahu. Aku nyari ke musala, kamar mandi, asta (makam kiai), tempat masak, tak juga ketemu. Baru tahu saat dalam perjalanan pulang barusan. Zuhdi bilang kalau Mus keluar sama santri lain sejak bakda Subuh kemarin. Katanya naik truk tebu milik Pak Anwar,” sanggah ayah sambil berselonjor. Dibukanya dua kancing bagian atas baju ayah agar tak menghalangi angin yang hendak menyegarkan. Kopiahnya dicopot, diletakkan di samping lutut kanan.
“Pergi kemana Mus, Mas?”
“Aku kurang paham. Biasanya dia kan memang sering diundang acara pertemuan santri untuk mengkaji kitab kuning. Kadang di Situbondo, pernah juga ke lain kabupaten.”
“Itu namanya Bahtsul Masa’il, Mas.”
“Ya wis, intinya begitu. Aku tak ngerti, tak pernah nyantri.”
“Alhamdulillah,,, Mus sudah banyak perkembangan. Keilmuannya sudah tinggi. Sudah menguasai ilmu syariat. Dibutuhkan orang banyak,” tandas ibu yakin. Gurat senyumnya melambangkan kebahagiaan. Pun demikian dengan ayah. Rona bangga tersirat di wajahnya.
Dua hari kemudian, ayah kejang-kejang di kala Zuhdi memberi kabar kalau aku beserta rombongan teman santri belum pulang ke pesantren. Dan saat matahari tenggelam, di hari itu juga, seusai menelan kabar bahwa satu truk santri Sukorejo asuhan Kiai As’ad dikirim ke Surabaya sebagai pejuang Indonesia dan lima di antaranya telah gugur, bersamaan dengan akhir kalimat LailahaillaLlah yang dikumandangkan muazin salat Maghrib di masjid depan rumah, saat itulah ayah menghadap ke hadirat Allah.
Di Surabaya aku berteriak kemenangan. Manakala tiba di rumah aku luruh dalam tangis. Larut dalam sesal. Aku berdosa. Bahkan, aku merasa dirikulah yang membunuh ayah. Meski sudah takdir, aku tetap seolah tenggelam dalam lautan dosa. Seandainya aku mohon izin sebelum berangkat ke Surabaya, mungkin semuanya akan baik-baik saja. Tapi, inilah kehendak takdir. Suratan dari-Nya yang tak bisa dimungkiri. Dari sini kumunajat, semoga dosa ayah diampuni, amal baiknya diterima dan ditempatkan di surga-Nya.
Demi mendasari hal tersebut, kini aku tak ingin kehilangan orang tersayang yang kedua kali. Hanya ibu harta terindahku. Dialah perempuan yang tiap hari tiada lelah mencari kayu bakar untuk dijual, lalu uangnya buat hidupku di pesantren. Ibu selalu tabah menjalani hidup. Beliau pula yang mengajariku tak goyah diterjang ombak. Beliau yang selalu mensirrikan tangisnya. Segera mengusap air mata di pipinya, dan langsung menebar senyum, sambil lirih mengatakan bahwa matanya agak lama menjaring aroma bawang merah, terkadang juga bilang terkena asap tungku yang kayunya masih basah. Demikian gelagat ibu saat tak sengaja kutemui berurai air mata di dapur.
Setibanya di rumah, setelah uluk salam dan mencium tangan ibu, aku memeluknya. Memohon maaf dari kedalaman hati.
“Cangkolang (maaf, tidak sopan). Abdina (saya) mohon izin. Minta doa dan restu ibu. Abdina hendak ke Panarukan. Belanda sudah sampai di sana. Khawatir keburu menyerang perumahan warga dan pesantren,” pamitku di samping rak piring bambu. Ibu lalu duduk di bibir lincak, mengeringkan tangannya pakai bekas baju seusai mencuci piring seng.
Ibu terpejam sesaat, mengatur napas.
“Sudah minta petunjuk kepada Allah?”
Aku terperanjat dengan pertanyaan ibu, kurang paham.
“Sudah istikharah?” ibu memperjelas.
Aku diam sebentar. Sambil memandang tanah yang menjadi alas dapur, lalu perlahan menggeleng. Sangkaanku sementara, ibu agak berat melepas kepergianku.
“Taruhannya adalah nyawa. Meski jika gugur menjadi syahid,” ucap ibu dengan pandangan kosong. “Tapi, apakah sopan jika kamu belum minta petunjuk Gusti Allah? Ibu takut kita dicap penentang rencana Allah. Karena Allah mungkin masih ingin melihat tangisan rakyat Indonesia. Masih senang mendengar rengekan kita. Masih ingin terus menguji. Sebab kondisi inilah yang mungkin menurut Allah terbaik bagi kita. Biar kita tambah dekat kepada-Nya. Agar setiap saat tak lupa menguntai doa yang dipanjatkan dengan deraian air mata. Kita menjadi tambah khusuk. Betul-betul menyatu dengan-Nya.”
Ibu menghela napas. Sesekali pergelangan tangannya terangkat, mengusap keringat di dahinya yang hitam bekas sujud. Sesekali pula terdengar bunyi tonggeret di dahan pohon jati belakang dapur. “Dengan dibayang-bayangi kematian, lantaran khawatir diserbu Belanda, keimanan kita makin meningkat. Sebab pada dasarnya tak ingin kita mati tanpa membawa iman,” lanjut ibu sambil menunduk. Matanya sembab.
Lalu ibu beranjak ke kamar mandi di belakang dapur. Rupanya beliau berwudhu. Lantas menuju kamar agak sempit yang sedari dulu dikhususkan untuk tempat salat. Ibu terbiasa salat sunat, malam maupun siang di rumah dan salat fardhu di masjid depan rumah. Demikianlah kata ibu yang utama, sebagaimana ajaran sang guru.
Tak lama kemudian, suara ibu memanggilku. Aku memenuhi.
“Ibu sebenarnya ingin engkau pegang pena, bukan bambu runcing. Ibu ingin kelak melihatmu menjadi ulama, bukan tentara. Namun, karena hasil istikharah, salat dan bacaan Al-Quran, bagus, silakan lanjutkan! Ibu merestuimu demi tegaknya Indonesia Merdeka,” gumam ibu dengan mukena putih di badan dan Al-Quran di tangan. Kecemasan sudah tak kujumpai lagi di wajahnya. Aku lega sudah mendapat restu.
“Baik bagi kita, belum tentu baik menurut Allah. Dengan memohon petunjuk kepada-Nya, insyaallah kita tak akan salah dalam bersikap,” imbuh ibu sembari melucuti mukena.
“Mohon tunggu sebentar!” aku menahan ibu. Lari ke dapur. Mengambil air di gentong dan sebuah mangkuk besar di rak piring bambu. “Aku hendak minta air basuhan kaki Ibu, biar keridaan Ibu melebur menjadi satu keutuhan dengan darah dagingku.”
Usai meminum air basuhan kaki ibu, kusisakan untuk membasahi muka dan kepala. Kemudian kumenyalami ibu. Kucium luar dan dalam telapak tangannya. “Aku pamit, Bu! Aku akan kembali dan hidup bersama Ibu,” ucapku di depan teras.
“Oh, tunggu sebentar! Ada yang tertinggal,” ingat ibu, lalu masuk lagi ke dalam rumah. “Barangkali dapat membantumu. Ini azimat dari Kiai Jakfar, guru alif almarhum ayahmu dulu. Taruh saja di lipatan peci atau saku bajumu.” Tangannya mengelus bahuku.
“Baik, Bu. Terima kasih. Assalamu’alaikum….”
“Wa’alaikum salam. Doa Ibu menyertaimu. Kembalilah bersama kemenangan!”
***
Sehabis salat Subuh. Kiai As’ad mengumpulkan para pelopor. Masing-masing mereka tampak membawa sebilah keris, belati dan celurit yang menyembul di balik pakaian hitamnya. Beliau bersama mereka menyusun taktik untuk menghadapi Belanda dengan bergerilya. Aku yang bersenjata selonjor bambu runcing berada tak begitu jauh dari mereka. Hingga begitu jelas kudengar percakapan beliau bersama para pelopor.
“Belanda kembali memperkuat markas yang sebelumnya telah dikuasai Jepang.”
“Betul. Mereka membawa kapal perang, tank, truk, dan panser.”
“Kita ambil saja senjata Belanda di gudang Dabasah Bondowoso.”
“Baik. Karena Belanda sudah berada di Pasir Putih dan sedang menuju kemari. Kita tak mungkin lewat jalan raya. Kita harus menerobos ke dalam hutan. Kita menyamar. Ayo kita berangkat! Bismillah, Allahu Akbar!” ujar Kiai As’ad mengakhiri percakapan.
Kami bersama Kiai As’ad berangkat dari Sukorejo, Asembagus, ke Desa Bayeman, melewati beberapa dusun, curah, lereng, menyeberangi sungai yang deras, lantas menerobos hutan sampai ke Puloagung, terus ke Desa Dabasah di Bondowoso, gudang mesiu Belanda, dekat alun-alun kota.
Kami melewati seratus desa. Namun, tak lupa kami istirahat sejenak dan menunaikan salat. Dalam perjalanan yang ditempuh saat bulan Ramadhan tersebut terlalu banyak rintangan. Harus lewat tebing yang curam, kandang binatang buas. Sempat pula menjumpai ular piton besar. Bahkan, sebagian kami mendapat perlakuan kasar dari penduduk setempat lantaran dicurigai pencuri ternak.
Setelah kami tiba di Desa Dabasah, Kiai As’ad mengadakan rapat di kebun tebu demi mengatur strategi. Beliau mulai membagi tugas dan menyebarkan azimat agar kami mudah menyelinap ke gudang mesiu. Tak lupa beliau mengedarkan minyak kidang kencana agar kami kebal dari senjata api dan senjata tajam.
Serta berkat sepotong lidi pemberian Kiai As’ad, aku beserta anggota pelopor yang hendak mendekati gudang tak mampu dilihat pasukan Belanda. Beliau juga memberi azimat kepada sebagian kami untuk membuka kunci gembok gudang, sekaligus untuk menidurkan pasukan Belanda yang sedang berjaga.
Misi pun tercapai tanpa aral yang berarti. Aku dan para pelopor telah mengambil dua puluh empat senjata api dan amunisi, termasuk senapan jenis bren, mortir, serenteng peluru tajam dan granat. Sebagian pejuang pelopor lalu menghabisi para penjaga gudang senjata. Mereka histeris sebab menyangka bahwa temannya telah dibunuh hantu. Mereka pun menembak dan melemparkan granat secara membabi buta, tak tentu arah, karena mereka tak kuasa melihat segelintir pun dari kami.
Dari balik pohon dekat alun-alun aku berlari bersama barisan pelopor. Aku berupaya melaju cepat meski sedang puasa, walau sahur hanya seteguk air. Terus terpacu sekalipun penglihatan mulai memudar. Tak kuhiraukan meski peci yang kupakai copot dari kepala. Aku ingat, di peci ada azimat dari ibu. Peci itu sudah jauh terempas. Tiba-tiba bayangan ibu menggelayut dalam pikiran. Firasat buruk dan rasa iba akan ibu merasuki jiwa. Sesuai berita yang beredar sebelum aku berangkat, Belanda hendak mengepung pesantren dan bermaksud membakar rumah warga sekitar dengan dalih mencari gerilyawan. Wajah dan air mata ibu kian lekat dalam benak. Aku makin berlari kencang hingga tanpa sadar tubuhku ambruk, kepala perih, tulang-tulang ngilu, dan pandangan mataku pun tiba-tiba gelap. Sontak, kelebat bayangan ibu lenyap.
***
“Di manakah aku? Tempat apa ini? Tak pernah sebelumnya kulihat, kudengar dan kurasa tempat sedemikian indah di dunia.”
“Hai jiwa yang tenang, perjuanganmu diterima. Di sinilah tempatmu. Ibumu bangga dengan semangat patriotmu. Kiai dan teman santrimu telah ikhlas. Namamu tertancap di bumi dan terukir di langit. Maka, nikmatilah suguhan kami!”
“Mana Ibuku?”
“Ibumu sedang membaca surah Yasin atas kepulanganmu. Dia selamat. Dia tetap bahagia meski tanpamu. Dan, coba kau lihat di sana! Siapa lelaki bersurban yang sedang menunggangi kuda putih itu? Siapa lima sahabat yang tengah asik bermain di taman bersanding bidadari itu?”
“Subhanallah! Itu ayah. Dan, itu Shalihin, Sabir, Ridwan, Rahmat, juga Thaha. Tak salah lagi. Itu mereka.”
***
Qarnul Islam, 10 September 2021
Kualitas cerpen yang sangat dahsyat, sudah sangat pantas untuk dipublikkan di harian Kompas, misalnya. Mantabbbb!
Masih jauh dari sempurna itu, Gus.
Maklum, saya masih belajar.
Afwan…