Beberapa hari belakangan, di laman media sosial saya banyak berseliweran akun pondok pesantren yang memposting informasi Penerimaan Santri Baru (PSB). Masing-masing pesantren itu mem-branding secara distingsif. Ya, tujuannya, tidak lain dan tidak bukan, dalam rangka menarik minat umat untuk mukim di pondok menjadi santri. Keberadaan santri memang sangat penting. Adanya santri berimplikasi pada lembaga pesantren dapat bertumbuh lebih besar dan berkembang dengan jaringan yang lebih luas.
Namun, ada catatan yang perlu diperhatikan dan ditanamkan bila berminat nyantri. Yaitu, menjadi santri bukan perkara mudah. Pasalnya, di dalamnya pasti menjumpai serangkaian dinamika; psikologis, pengembangan intelektualitas, dan masalah-masalah praktis lain. Karena itu, dibutuhkan keyakinan, keteguhan, dan kesiapan matang sebelum terjun nyantri. Ketika seorang santri sudah memutuskan untuk hidup sehari-hari hingga bertahun-tahun di pesantren, itu artinya ia harus siap menjadi pribadi yang lebih mandiri dan bertanggung jawab.
Pesantren sendiri memiliki berbagai tradisi yang berkembang di lingkungannya, yang kemudian pelbagai tradisi tersebut disebut sebagai ‘budaya’. Kita tahu, antara budaya pesantren dan sekolah pada umumnya, terdapat perbedaaan yang cukup kentara. Jika menilik lingkungan pesantren, manajemen kegiatan proses belajar mengajar dialokasikan hampir 24 jam tiap hari, serta 7 hari setiap pekan. Berbeda jika penuntut ilmu di sekolah umum, kegiatan belajar mengajar rata-rata hanya 6 jam setiap hari dan 6 hari setiap minggu, bahkan ada yang 5 hari.
Bagi beberapa santri, terutama yang baru pernah nyantri, berjumpa dengan kondisi jadwal padat nonstop dapat menimbulkan distraksi dan ketidaknyamanan. Itulah seperti yang dirasakan oleh saya, dan saya rasa para pembaca juga mengalami hal serupa sewaktu awal-awal mondok, dulu. Intinya, ia berubah merasa cemas dan tertekan akibat lingkungan yang dihuni memiliki budaya berbeda dengan lingkungan sebelumnya. Keadaan ini yang kemudian dikenal dengan istilah culture shock (gegar budaya).
Sabrina Hasyyati Maizan dkk, dalam artikel jurnalnya Analytical Tehory: Gegar Budaya (Culture Shock) (2020) mendefinisikan, culture shock adalah reaksi individu yang timbul ketika memasuki lingkungan yang memiliki budaya berbeda dari budaya asalnya. Reaksi itu menampilkan perasaan cemas, bingung, ketidaknyamanan, dan tertekan karena mereka tidak tahu bagaimana seharusnya berperilaku di lingkungan baru tersebut. Individu itu kemudian menarik diri dari interaksi sosial dan memandang lingkungannya secara negatif.
Hal ini selaras seperti uraian Zahrotus Sa’idah dalam bukunya, Komunikasi Antar Budaya: Pemahaman dan Teori (2023), ketika seseorang mengalami culture shock, maka akan memunculkan reaksi-reaksi dari dirinya; pertama, rasa penolakan; kedua, merasa kehilangan arah; ketiga, memusuhi lingkungan baru; keempat, gangguan lambung dan sakit kepala akibat stress; kelima, rindu rumah atau lingkungan lama (homesick); keenam, rindu teman atau keluarga; ketujuh, merasa hilang status; dan terakhir, kedelapan, menarik diri dari lingkungan baru.
Seperti yang telah dijelaskan di atas, culture shock muncul saat masuk di lingkungan budaya baru yang kontras dari tempat muasal. Menghimpun pendapat para ahli dari berbagai sumber, setidaknya terdapat enam jenis/kategori musabab terjadinya culture shock; pertama, kategori bahasa; kedua, kategori makanan; ketiga, kategori cuaca; keempat, kategori sikap; kelima, kategori ekonomi; dan, keenam, kategori ketertiban atau peraturan.
Faktor bahasa merupakan pemicu paling dominan yang menjadikan individu mengalami culture shock. Misalnya, orang yang berasal dari Sunda dan lazim berbahasa Sunda, ketika pindah ke lingkungan baru maka ia harus menyesuaikan lagi dengan bahasa daerah setempat. Selanjutnya, bentuk culture shock-nya karena persediaan makanan, beda tempat maka akan beda pula jenis makanan yang disediakan. Kemudian dari segi cuaca juga menyebabkan culture shock, individu yang biasa berada di dataran rendah (cuaca panas) kemudian migrasi ke dataran tinggi yang notabene cuaca dingin, akan menimbulkan ketidaknyamanan pada diri.
Lebih lanjut, bentuk culture shock selain di atas juga terkait masalah sikap, ekonomi, dan ketertiban/peraturan. Dari masalah sikap, cara individu di suatu lingkungan bersikap dan bertingkah laku tentu berbeda, hal ini pula akan terjadi culture shock ketika menginjak di lingkungan baru dan bertemu orang dari berbagai daerah. Kategori ekonomi juga dapat menjadi salah satu aspek yang menyebabkan seseorang mengalami culture shock. Perihal kategori peraturan pun demikian, setiap lingkungan punya peraturan masing-masing, maka itu peraturan di lingkungan baru bisa dipastikan berbeda dengan lingkungan lama yang bisa membuat culture shock.
Kehidupan pesantren yang amat kompleks dan majemuk, berpotensi besar untuk menyebabkan culture shock. Hal ini dikarenakan, para santri yang datang menuntut ilmu berasal dari berbagai daerah, suku, dan ras yang berbeda secara sosiologis. Karakteristik santri pun beragam; ada yang egois, usil, peduli, hingga cuek. Di samping itu, peraturan yang diberlakukan pondok cenderung ketat. Pola makan juga dibatasi dan seadanya. Belum lagi, jika posisi pesantren terletak di datatan tinggi, bagi santri yang terbiasa hidup di dataran rendah mesti timbul kekagetan dan tidak nyaman.
Sebetulnya, bila di awal tumbuh kemantapan nyantri dari diri sendiri, itu merupakan modal yang bagus. Orang yang demikian cenderung lebih siap menghadapi segala macam risiko dan konsekuensi yang mungkin timbul sebagai akibat dari keputusannya. Senapas kaidah fikih, ar ridha bisy syai’ ridha bima atawalladu minhu, rida dengan sesuatu maka juga rida terhadap konsekuensi dari sesuatu tersebut. Dalam konteks ini, menghadapi dinamika pesantren.
Namun kembali lagi, orang yang mampu menumbuhkan rasa kemantapan nyantri dari diri sendiri itu tidaklah banyak, cuman segelintir. Karena itu, sangat penting bagi para calon santri dibekali pemahaman tentang perbedaan budaya dan kesiapan mental-emosional. Santri tidak boleh ada lagi yang mengalami problem culture shock. Sebab, hal itu dapat mengganggu konsentrasi, produktivitas, dan menghambat proses ta’lim di pondok.