Semua bermula ketika aku sempat menikmati rasanya mondok di Suci. Waktu itu aku kebetulan masuk di jurusan keagamaan, MAK (Madrasah Aliyah Keagamaan). Ada banyak kisah menarik ketika aku pertama kali bersentuhan dengan dunia pesantren. Lebih-lebih di sini akan kita bahas pula Pondok Suci.
Ya, pondok pesantren ini terletak di kota pudak Gresik. Letaknya yang tidak terlalu jauh dengan kawasan pabrik membuat Pondok Suci banyak dipenuhi oleh santri yang orang tuanya adalah buruh. Pondok ini sebenarnya bernama Mambaus Sholihin. Sumbernya orang-orang yang sholeh, begitulah doa yang diharapkan dari nama pondok pesantren ini. Nama pondok ini diberikan oleh salah satu waliullah, yakni KH Ustman al-Ishaqi Kedinding Surabaya. Lebih dikenal dengan sebutan Suci karena bertempat di Desa Suci, Kecamatan Manyar.
Pengasuh Pondok Pesantren Mambaus Sholihin ini adalah KH Masbuhin Faqih. Beliau adalah alumnus Pondok Pesantren Langitan. Romo Kiai Masbuhin dulu mondok di Langitan selama 17 tahun. Beliau juga pernah mencicipi Pondok Pesantren Gontor, tapi tidak lama.
Kembali ke cerita, saat aku tiga tahun menghabiskan hari-hariku di MAK. Banyak hal yang aku dapatkan di sana, terlebih pengalaman. Jadi, saat masuk ke jenjang Aliyah, semua santri diwajibkan untuk menghafalkan nadzom Alfiyah Ibnu Malik yang jumlah keseluruhan baitnya 1002. Selama tiga tahun itu aku bertemu dengan manusia-manusia aneh yang juga hebat.
Kenapa aneh, bayangkan saja jadwal kegiatan pondok yang hampir menguras habis waktu sehari semalam itu harus dibebani pula dengan rutinitas setoran nadzom sehari minimal lima bait.
Keanehan-keanehan yang kusaksikan di pondok saat itu contohnya adalah ada santri yang ketika antre mengambil jatah makanan di dapur itu sambil mendendangkan hafalan Alfiyah. Tak jarang juga para santri yang memang diwajibkan memakai kopiah ketika keluar kamar menyelipkan kitab Alfiyah dilipatan songkok hitam guna menjalani aktivitas sambil tetap menjaga hafalan. Seakan ke mana pun pergi atau beraktivitas, tak boleh lupa untuk membawa Alfiyah bersama.
Setoran Alfiyah sendiri dilaksanakan pada malam hari setelah diniyah selsai. Itu sekitar jam sepuluh malam. Adapun, santri yang tak mampu menghafal 5 bait nadzom dalam sehari akan dikenai takzir, para santri dulu lebih sering menyebutnya tahkim. Hukuman bagi siapa yang melanggar peraturan pondok, termasuk ketika tidak mau menghafalkan Alfiyah.
Hari-hari bersama Alfiyah Ibnu Malik saat itu kulalui dengan cukup sulit. Maklum, ketika Tsanawiyah aku belum terlalu mengenal dengan Nahwu Shorof. Tapi di Mambaus Sholihin aku sungguh bahagia, aku bisa mengenal Alfiyah, Imrithi, Nahwu, Shorof, dan sekian pelajaran gramatikal bahasa arab.
Sungguh, kegigihan santri begitu tampak kusaksikan. Siang malam mereka membawa kitab dan buku, kadang juga kumpulan kitab wirid harian pesantren. Ketika selesai sholat dhuhur, tak jarang aku melihat banyak santri yang masih di mushola akbar tertidur dengan kitab berada di pangkuan. Ya, mereka bisa tidur dengan tetap bersila. Wajah tertunduk dan tak bersandar.
Kadang yang paling kurindukan setelah menjadi alumni adalah suasana malam hari di pondok ketika kami bersama-sama mengulang hafalan Alfiyah secara serentak dan diberi alunan nada dari meja boks kotak yang memang disediakan untuk mengiringi kami.
Lalaran, ya kami menyebutnya lalaran. Duh, sungguh rindu. Apalagi ketika lampu pendopo dimatikan, otomatis kemeriahan semakin memekik terdengar. Entah disebabkan suara asal saja dari kami yang belum benar-benar hafal, atau dari suara kami yang sungguh-sungguh berusaha mengingat dan menjaga urutan nadzom. Sesekali perlu kiranya Anda melihat suasana tersebut. Ada keharuan yang membahagiakan juga keseruan yang terselip dalam kesederhanaan santri. Duh, bergetar tubuhku menceritakan ini.
Begitulah, hari-hari kami selalu dikejar-kejar oleh date line setoran, sementara kegiatan pondok sudah sedemikian padatnya. Tak jarang ada santri yang boyong karena tak kuasa menanggung banyak kewajiban yang harus dijalani dan diselsaikan.
Tapi, sungguh banyak pula keasyikan-keasyikan yang kami temukan ketika menjalani topo ngrame di pondok itu. Rasanya akan menyesal jika terlalu dini boyong dan belum sempat mengetahui nikmat sebenarnya dari perih-bahagia dunia pesantren. Demikianlah.