Bom bunuh diri meledak ketika umat Kristiani beribadah Minggu Palma di Gereja Katedral Makassar, Jalan Kajaolalido-MH Thamrin, Kota Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel), Minggu (28/3/2021). Minggu Palma adalah hari peringatan dalam liturgi gereja Kristen yang selalu jatuh pada hari Minggu sebelum Paskah.
Tragedi ini menciderai nilai persatuan dan kesatuan umat di dalam Negara Kesatuan Ripublik Indonesia (NKRI). Harus ada tindakan preventif dari pemerintah khususnya, dan dari semua pihak pada umumnya. Ada tindakan tidak bertanggung jawab yang ingin membuat kerukunan beragama menjadi saling berseteru. Semua pihak harus menahan diri untuk tidak melakukan tindakan-tindakan yang lebih memperparah keadaan.
Tragedi bom bunuh diri tidak terjadi hanya kali ini saja. Dari sejak dulu, tindakan terorisme dan radikalisme menjadi pemicu terjadinya berbagai kekisruhan yang melahirkan sikap saling curiga di antara para penganut agama. Kondisi ini terjadi karena adanya sesat logika, menafsir kebahagiaan hidup dengan perbuatan mengancam ketentraman sekelompok orang. Atau bisa sangat mungkin, menafsirkan dalil agama dengan cara yang salah dan sesat serta tidak bertanggung jawab.
Dalam Al-Quran Allah menjelaskan, “… barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya …( QS. Al- Maidah: 32).
Dalam ayat ini nampak jelas bahwa membunuh termasuk perbuatan zalim dan mendapat ancaman balasan siksa di akhirat kelak. Sebaliknya, memelihara kehidupan akan mendapatkan kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat.
Dalam ayat lainnya, Allah menjelaskan, “Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. Dan barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS. Annisa’: 29-30).
Bunuh diri termasuk perbuatan yang diharamkan dalam Islam. Maka bunuh diri tidak boleh dilakukan oleh orang-orang yang memiliki logika kemanusiaan.
Akhlak Santri
Sebagai seorang santri, menyikapi persoalan terorisme, radikalisme, dan ekstremisme merupakan bagian dari nilai akhlak. Santri yang dalam keseharian bergelut dengan nilai-nilai dasar Islam, tidak akan mendapatkan paparan tindak kekerasan terhadap orang lain. Bahkan, sekalipun orang lain tersebut adalah nonmuslim. Karena, hakikat hidup dan berkehidupan adalah saling menjaga dan saling menghargai tanpa batasan keyakinan. Santri diajarkan untuk menghargai siapa saja dalam interaksi sosial.
Di dalam akhlak santri tidak ada perintah ataupun anjuran untuk bersikap radikal. Ekstrem kiri yang dipandang sebagai bentuk penyerangan, baik fisik maupun psikis, dan tidak ada dasar hukumnya. Islam adalah agama damai. Sama dengan agama-agama lainnya, tidak ada suatu agama yang mendorong terjadinya perseteruan di dalam kehidupan. Maka sangat tidak logis jika kemudian muncul anggapan bahwa Islam mendorong pergolakan dalam kehidupan sosial. Istilah jihad yang kemudian disalah-fungsikan sebagai pembenar untuk melakukan suatu kemunkaran. Hal ini yang harus kita waspadai.
Santri memiliki etika kasih sayang. Artinya, seorang santri yang sesungguhnya tidak akan melakukan tindakan radikal dan kekerasan. Karena sejak dari awal, santri telah diajarkan untuk melakukan hal-hal yang berdampak positif. Jika kemudian ada yang beranggapan bahwa melakukan bom bunuh diri merupakan suatu jihad, maka santri tersebut telah terpapar oleh virus radikalisme. Sikap radikal merupakan sebuah sistem, yang telah disengaja untuk menimbulkan kegaduhan. Dengan berbagai tujuan dan keinginan, baik yang bersifat pribadi maupun kelompok.
Santri Radikal?
No way! Sangat tidak mungkin santri bersikap radikal, kecuali kalau terpapar oleh radikalisme dan ekstremisme setelah keluar dari pesantren. Visi dan misi sebuah pondok pesantren tidak bermuatan pengajaran tindak kekerasan. Secara umum, Al-Quran mengajarkan kedamaian. Dalam setiap aspek kehidupan dibangun suatu perbedaan sehingga perputaran kehidupan berjalan secara normal.
Dalam Al-Quran, Allah berfirman, “Dan jikalau Rabbmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?” (QS. Yunus: 99).
Stereotip Islam sebagai agama yang dibangun di atas bilah pedang merupakan legitimasi logika yang kebablasan alias absurd. Persoalan ini sudah seringkali dibahas dan dijelaskan secara gamblang oleh kalangan ulama. Jika kemudian masih ada seseorang yang melakukan tindakan radikal, itu menjadi tanggung jawab pribadi dan tidak terkait dengan Islam. Muhammad membawa risalah Islam ini dengan membangun etika kedirian tanpa adanya celah untuk merumuskan permusuhan.
Jadi tidak ada istilah santri radikal. Yang ada adalah santri yang berakal. Menggunkan logika etik untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat baik bagi diri sendiri, orang lain, maupun lingkungannya. Santri dan radikalisme bagaikan dua aspek yang saling bertentangan. Tidak akan terjadi koneksi di antara keduanya, karena hal tersebut tidak logis dan merupakan suatu kemustahilan. Santri adalah santri, dengan akhlakul karimah, sementara radikal adalah golongan kiri yang tidak mungkin berkelindan dalam kesantrian.
Saling Menahan Diri
Jika kemudian masih terjadi tragedi terorisme, itu merupakan suatu tindakan yang ilegal. Tidak ada dalil syari ataupun alibi sosial yang dapat dijadikan dasar atau dalil. Maka kita harus saling menahan diri untuk tidak melakukan tindakan yang justru akan lebih memperparah suasana. Kita harus tetap menjaga persatuan dan kesatuan, karena NKRI merupakan harga mati.
Jika kemudian muncul kegaduhan yang semakin meluas, terjadi gesekan-gesekan yang disebabkan oleh langkah radikal oleh sebagian orang yang tak bertanggung jawab, maka hal tersebut merupakan suatu kekalahan. Jangan sampai terjadi permusuhan hanya karena ulah ektremis dan radikalis. Kita harus tetap membangun kebersamaan demi kemajuan bangsa yang damai. Teroris merupakan musuh kita bersama, dan jika kita bersama-sama menghadapi orang-orang radikal, dapat dipastikan kita akan mendapatkan kemenangan.
Kita tidak boleh terprovokasi. Apalagi jika kemudian muncul gagasan culas yang mengatasnamakan kelompok (misalnya, ulama). Hal itu merupakan bagian dari jaringan teroris yang mesti kita waspadai. Jangan sampai terjadi saling curiga antara satu orang dengan orang lainnya. Karena hakikat kekerasan tidak boleh berkembang di lingkungan negara demokrasi. Kita harus merapatkan langkah untuk bersama-sama mengahdapi terorisme agar kegiatan teror ini tersingkirkan dari kehidupan ini. Wallahu A’lam!